Mohon tunggu...
Bagas De
Bagas De Mohon Tunggu... -

Buruh sosial. Tinggal dan bekerja di Slovakia-Eropa Tengah. Aslinya, Anak Kampung, dari Nehi-Enoraen, ntt. Laman blog pribadi: www.confessionoflife21.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Adu Mentalitas Politik Ahok, Anies dan Agus

8 Januari 2017   16:50 Diperbarui: 8 Januari 2017   16:55 1635
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah mental dan laku-politik semua calon gubernur DKI Jakarta cukup sehat jelang Pilkada DKI Jakarta di 15 Februari 2017? Tentu saja ya. Mental dan laku-politik Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dan Anies Baswedan (AniesB), diyakini sangat sehat. Siapa yang dapat membantah hasil rilis RS Angkatan Laut Mintoharjo tentang kesehatan para calon? Tidak seorangpun.

Dalam perjalanan waktu, akurasi Surat Keterangan Kesehatan itu benar-benar digugat dan dipertanyakan publik. Gugatan dan pertanyaan publik itu cukup beralasan mengingat 'perubahahan' mental dan laku-politik para calon gubernur - termasuk dengan calon wakil gubernurnya masing-masing - selama ini, di jelang 15 Februari 2017.

Mulanya, Ahok terlihat begitu energik penuh blak-blakan dalam setiap interaksi publiknya dengan masyarakat sipil, media publik atau pun dengan laku lawan tanding politik. Tetapi belakangan ini, Ahok tampaknya sudah jauh lebih lembut dan halus dalam setiap interaksinya dengan publik.

Sedang AniesB mulanya terlihat begitu sabar dan selalu positive thingking dalam setiap interaksi publiknya entah dengan masyarakat sipil, media publik atau pun dengan laku lawan tanding politik. Tetapi belakangan ini, AniesB tampaknya jauh lebih reaktif dan sense positve thinking yang khas AniesB seolah sudah digeser oleh - sebut saja - sense nyinyir yang kian menguat.

Dan AHY, dalam setiap interaksi publiknya dengan masyarakat sipil, media publik termasuk dengan laku lawan tanding politik di awal mulanya, tampak begitu opened. Ia membuka diri kepada semua dan secara militan berjuang demi merebut publik dengan berbagai kategori sebanyak mungkin. Tapi belakangan ini, AHY tampaknya mulai closed dan membentengi diri terhadap publik, termasuk dukungan dari simpatisan atau pun kelompok-kelompok ormas.

Tentu ada banyak faktor yang mempengaruhi 'perubahan' mental dan laku-politik para kontestan Pilkada DKI Jakarta 2017.

Namun, hemat saya, (1) demo berjilid dengan pijakan prasangka penistaan agama, (2) rekam tingkat popularitas dan elektabilitas pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang dirilis lembaga-lembaga survei, (3) absurd dan hiruk pikuknya kesaksian para prajurit lapangan, dalam hal ini kelompok-kelompok ormas radikal, yang ditugasi 'melawan' Ahok di pengadilan dugaan penistaan agama, termasuk (4) mulai disingkap/diurainya alur jaringan suporter utama dalam demo dan dugaan makar 212 oleh kepolisian - sedikit banyak - menjadi pemicu 'perubahan' mental dan laku-politik Ahok, AniesB dan AHY.

Apakah perubahan mental dan laku-politik konstestan Pilkada DKI Jakarta tersebut layak dimasukkan dalam label revolusi mental?

Jika ditautkan dengan konteks politik perebutan tahta DKI Jakarta saat ini maka revolusi mental sebagai simpulan dari perubahan mental dan laku-politik para kontestan Pilkada Jakarta menjadi stagnan dan cenderung hambar makna. Sebab, sekali lagi, ini soal politik perebutan tahta kekuasaan DKI Jakarta.

Revolusi mental dalam pengertiannya yang paling sederhana dipahami sebagai perubahan secara mendasar cara berpikir dan cara bertindak termasuk cara merespons situasi 'dunia luar' sebagai satu kesatuan dalam waktu yang singkat. Dan arah dari gerakan perubahan itu adalah menuju kutub yang positif, bukan sebaliknya.

Konferensi pers menepis isu tak menguntungkan ala AHY, belajar memperhalus bahasa tuturan ala Ahok, atau mempublis sisi kesantunan budi ala AniesB di satu sisi ditafsir sebagai bagian dari taktik politik demi menjaga citra diri di mata konstituen/pemilih di jelang Pilkada DKI Jakarta 2017.

Namun di sisi yang lain, apa yang dilakukan AHY, Ahok dan AniesB juga dapat ditafsir sebagai bagian dari tahapan pematangan mental dan laku-politik yang hendak direvolusi seorang - calon - pemimpin rakyat. Pada point inilah rakyat meletakkan harapannya tentang seorang pemimpin pada umumnya dan politikus pada khususya.

Pertanyaannya sekarang adalah apakah konferensi pers AHY, halusnya bahasa tuturan Ahok dan kesantunan budi yang dipublis AniesB dilakukan atas dasar itikat baik seorang - calon - pemimpin yang pro aktif ikut membantu mengkampanyekan dan mewujudkan cita-cita revolusi mental khususnya dalam kanal politik, atau hanya sekedar 'topeng' politik?

Saat tidak mengenakan Topeng Loki, Stanley Ipkiss (Jim Carrey), aktor utama dalam film The Mask 1994, adalah pria dengan kepribadian dan karakter yang sangat baik lagi menarik. Namun sebaliknya, bila Ipkiss mengenakan Topeng Loki yang ia temukan dengan tidak sengaja ia justru berubah menjadi pria dengan kepribadian dan karakter yang sangat aneh nan berantakan.

Pembalikan pemahaman umum tentang moralitas topeng dalam film The Mask sebenarnya merupakan sumbangan kritik yang positif bagi para pelaku utama politik dalam konteks Pilkada DKI Jakarta, termasuk kita masyarakat sipil, untuk tidak menjadikan 'kebaikan/kesantunan artifsial' sebagai topeng propaganda kekuasaan politis sekalipun atas nama moral, agama, atau pun kepentingan masyarakat kecil. Sebab, tabiat 'topeng' in se adalah malum juga aneh dan 'menakutkan' sebagaimana literasi film The Mask.

Respon variatif publik atas mental dan laku-politik AHY, Ahok dan AniesB membuat kita tidak sungkan untuk berasumsi bahwa menjadi seorang - calon - pemimpin tidak cukup hanya dengan prestasi kerja yang riil ala Ahok, juga tidak cukup hanya dengan laku santun ala AniesB, pun pula tidak cukup hanya dengan habitus jumpa pers untuk klarifikasi demi membersihkan atau menjaga citra diri ala dinasti Demokrat tempat AHY bernaung.

Idealnya, dengan berpijak pada respon publik dan atau rekam jejak Agus, Ahok dan AniesB, seorang - calon - pemimpin semestinya memiliki kualifikasi nilai berikut: citra diri yang kuat teruji, prestasi kerja yang riil dan budi pekerti yang luhur, dll, dan nilai-nilai itu seyogyanya disatukan/digerakkan secara sirkular untuk saling melengkapi. Mungkin dengan begitu, ekspektasi masyarakat untuk mendapatkan seorang pemimpin yang orisinal dan baik setidaknya bisa dipenuhi.

Sebagai catatan penutup, politik model Misteri Dua Dunia sudah lama tutup layar. Yang dibutuhkan masyarakat saat ini adalah politik model Mengupas Cerita dan Fakta. Jadi, biarkan dan dukunglah politik model Mengupas Cerita dan Fakta itu bertumbuh apa adanya tanpa harus dimanipulasi. Ini adalah salah satu bentuk sumbangan dan partisipasi kita sebagai rakyat dalam upaya menumbuhkembangkan revolusi mental bangsa. Itu saja dulu deh. Wasalam (bagas de')

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun