Kini, dengan dalilnya masing-masing tiap kelompok yang sudah "di/terpisah" itu - tampaknya - berjuang keras membuktikan kebenaran tuduhan atau prasangkanya atas laku Ahok kepada penegak hukum, masyarakat umum atau pun konstituen Pilkada DKI Jakarta 2017. Dan mereka tahu konsekuensinya: jika Ahok "kalah" maka mereka akan "dibenarkan", tetapi jika Ahok "menang" maka wajah mereka akan "ditampar" publik.
Dengan pijakan di atas kita, masyarakat umum, sedikit dibantu untuk memilah secara tepat dalam setiap penilaian kita atas kasus dugaan penistaan Agama oleh Ahok yang kebetulan bertepatan dengan momen Pilkada DKI Jakarta: atau masalah politik atau masalah agama, atau keduanya. Â
Aktus mencintai agama dan Tuhannya adalah sesuatu yang baik. Juga aktus mencintai sesama dan menaruh respek pada keberagaman adalah sesuatu yang baik pula. Siapa pun berhak untuk memperjuangkan dan berkewajiban untuk menjaga atau menghargai kebajikan-kebajikan itu.
Tetapi kebajikan-kebajikan itu tidak bisa diperjuangkan atau dijaga dengan cara-cara misalnya ceramah penuh hasutan dan provokasi rasialis-politis; atau berupaya merecoki proses hukum dugaan penistaan agama yang sedang berlangsung dengan berbagai novum dalil yang dipaksakan; atau berupaya "memeras" dan menuntut ganti rugi material dan imaterial hingga miliaran rupiah dari "tersangka" dengan dalil untuk membangun rumah Allah; termasuk kesenangan sweeping ala ormas tiap jelang hari raya keagamaan; atau mendiskreditkan agama tetangga berdasarkan pola laku anomal dari kelompok massa atau oknum tertentu; dan sejenisnya. Mengapa?
Sebab, pola perilaku di atas tidak hanya aproduktif sebagai "morphine" bagi nalar publik tetapi sekaligus ia menjadi bumerang di jalan yang umumnya dipakai seseorang ketika ia mencari/menuntut sebuah kebenaran dan keadilan di hadapan - hukum Ilahi pun - hukum positif.Â
Sebagai catatan penutup, masalah sosial-politis termasuk dengan paket dalil propagandanya yang timbul atau sengaja diciptakan melalui kasus Ahok sekiranya tidak membuat kesadaran kritis kita mati total layaknya pasien anestesi. Sebab, ini bukan soal Pilkada DKI Jakarta semata.
Ini juga tentang tuntutan dan tanggung jawab etis kita "atau membangun dan memperkuat fanatisme kelompok atau mempertegas dan menghargai keberagaman" di hadapan ke-Bhinneka Tunggal Ika-an bangsa Indonesia. Mampukah kita mewujudkannya? John F. Kennedy bilang, "If we cannot end now our differences, at least we can help make the world safe for diversity."Â Itu saja dulu deh. Wasalam (bagas de')
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H