Sedang, sapi-sapi penghasil susu selalu terlihat bergerombol sibuk memamah rerumputan hijau di alam terbuka. Rupanya, bawaan musim semi belum mau berlalu di tengah paparan musim panas yang sudah berjalan separuh.
Juga tren dan mode busana masa kini khas kota Milan urung memamerkan diri. Lagi, kebiasaan himpit-himpitan rumah-rumah hunian penduduk khas kota-kota padat penduduk nampaknya belum mau memajang di sini.
Kalau saja anda berkesempatan melawati kota ini, janganlah lupa mampir di rumah Josef Freinademetz atau Fu Shen Fu (1852-1908).
Fu Shen Fu tidak hanya dikenal dan dihormati di tanah kelahirannya, Oies. Ia juga dikenal dan dihormati dalam Gereja Katolik dan Komunitas Serikat Sabda Allah sebagai imam dan misionaris sejati yang telah mempersembahkan seluruh dirinya untuk orang-orang di Shandong Selatan-Cina.
Di sini, di atas tepian bukit ini, berdiri rumah kelahiran Fu Shen Fu atau - oleh keluarga dan orang-orang Oies ia dipanggil dengan nama - Giusseppe Freinademetz dengan sentuhan arsitektur Cina yang khas. Rumah Giusseppe mungkin merupakan satu-satunya rumah penduduk Oies yang sepenuhnya khas model Cina di bentangan kaki pegunungan Alpen. Atau? Ah...Entahlah.
Kepada keluarganya, Giusseppe menulis, “Vi dico la verità: io amo la Cina e i Cinesi e vorrei morire mille volte per loro, e voglio restare cinese anche in Cielo” (Aku berkata kepadamu, sesungguhnya: Saya mencintai Cina dan orang-orang Cina, dan saya akan mati seribu kali untuk mereka, dan bahkan di surgapun saya ingin tetap menjadi seorang Cina).
Sejenak, diam. Tinggal detak jarum jam di dinding itu yang masih terdengar.
Sinar matahari menyusupi kisi-kisi jendela. Sedang kabut tipis perlahan meninggalkan perbukitan. Namun, aroma pegunungan Alpen yang masih terasa dan bawaan musim semi di tengah musim panas yang berjalan separuh tetap diam membisu.