Mohon tunggu...
Bagas De
Bagas De Mohon Tunggu... -

Buruh sosial. Tinggal dan bekerja di Slovakia-Eropa Tengah. Aslinya, Anak Kampung, dari Nehi-Enoraen, ntt. Laman blog pribadi: www.confessionoflife21.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ketika SBY Pontang Panting Mencuci Wajah Demokrat

10 Juli 2016   11:15 Diperbarui: 10 Juli 2016   11:27 4152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah hampir dua tahun Susilo Bambang Yudoyono atau SBY lengser dari kursi presiden RI. Setelah kursi presiden RI dialihkan kepada Joko Widodo (Jokowi), Presiden terpilih 2014, SBY mengambil alih kursi kepemimpinan Partai Demokrat (PD).

Bagi sebagian kalangan, termasuk internal PD, pengambilalihan SBY atas kursi kepemimpinan PD merupakan pilihan politik yang tepat. Sebab, PD sedang dirundung musibah aksi korupsi yang akut. Dengan kehadiran dan pola kepemimpinan SBY, PD diharapkan bisa berevolusi dan kepercayaan publik atas PD bisa dipulihkan.

Pertanyaannya adalah pola kepemimpinan macam mana yang diharapkan dari SBY supaya bisa memulihkan moral PD di mata publik?

Tentu saja, bukan konsep kepemimpinan negeri autopilot yang dibutuhkan sebagai obat penyembuh. Juga, bukan satiran saya prihatin yang dibutuhkan sebagai tablet pemulih.

Sebab, konsep negeri autopilot atau satiran saya prihatin telah menghasilkan banyak koruptor, khususnya dari kalangan internal PD, dan pada saat yang sama, sebagai akibat, bangsa Indonesia kehilangan banyak momen dalam upaya membangun proyek infrastruktur.

Sepuluh tahun memimpin bangsa Indonesia, tentu ada banyak hal positif yang sudah dibuat atau berhasil dicapai rezim SBY. Namun di samping itu, konsep negeri autopilot dan satiran saya prihatin plus badai korupsi akut dari kalangan internal PD juga telah menjelma menjadi top branding bagi SBY dan rezimnya.

Konsep negeri autopilot dan khususnya satiran saya prihatin kemudian menjadi semacam bakat alami yang sulit ditanggalkan  SBY di mana dan kapanpun.

Dalam cara pandang tertentu, bakat alami itu bagus. Namun problemnya adalah ketika bakat alami itu masih diagungkan, atau malah dipakai sebagai topeng penutup borok minus pembangunan dan aib korupsi dari internal PD.

Bisa jadi, apa yang dilakukan SBY saat ini, dengan bakat alaminya, merupakan bagian dari aktus mencuci wajah kusam SBY dan PD di mata publik. Bagaimana tidak?

(1) Ketika semua anggota DPR RI dari PD menyatakan all out dari pemungutan suara untuk pengesahan UU MD3, SBY kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (Perppu Pilkada).

(2) Ketika separuh publik mengapresiasi lahkah berani Jokowi menghapus subsidi BBM dan mengalihkannya untuk menggenjot pembangunan infrastruktur, SBY kemudian mengeluarkan argumentasi bahwa kebijakan Jokowi itu sesungguhnya telah mengabaikan fakta lapangan tentang tertekannya perekonomian rakyat, dan oleh kebijakan itu pula utang luar negeri semakin bertambah.

(3) Ketika Tour de Hambalang mencuat ke tengah publik dengan ragam pro kontra dan interpretasi, SBY kemudian mengeluarkan cerita Jembatan Suramadu, daftar kritik dan 10 rekomendasi hasil Tour de Java untuk pemerintahan Jokowi.

 (4) Ketika nyayian M. Nazarudin, Anas Urbaningrum, Angelina Sondakh atau Sutan Bhatoegana tentang kasus Wisma Atlet Hambalang ditanggapi dan dipergunjing publik, plus cerita internal PD, I Putu Sudiartana, yang di-OTT (Operasi Tankap Tangan) KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) kemarin, SBY dan para petinggi PD kemudian berdiplomasi bahwa penanganan kasus korupsi pada rezimnya dulu jauh lebih baik dari rezimnya Jokowi sebab tidak pernah tebang pilih.

(5) Ketika jumlah pemudik dan arus mudik pada Lebaran2016 meningkat, plus kisah kemacetan Tol Brebes yang memakan korban jiwa, SBY kemudian berdiplomasi dengan statemen narsismenya bahwa pada masa rezimnya dulu penanganan arus mudik jauh lebih terorganisir ketimbang rezim Jokowi sekarang ini.  (6) Dan lain-lain.

Dengan berpijak pada uraian di atas, hemat saya, kita boleh mengatakan bahwa apa yang sedang diperagakan SBY merupakan bagian dari usaha maraton mencuci wajahnya dan wajah PD di mata publik di tengah chaos sosial yang mereka, internal PD, ciptakan sendiri.

Usaha SBY memulihkan moral PD di mata publik mengingatkan saya akan kisah Belmez dari negeri Spanyol.

Sekitar tahun 1970-an, di desa Belmez dekat Colorado, Spanyol terjadi satu fenomena aneh nan misterius di rumah keluarga Maria Gomez Pareira (Maria). Di lantai rumah itu secara tiba-taba muncul wajah angker nan menyeramkan. Kepanikan dan ketakutan melanda keluarga Maria.

Supaya tidak menjadi bahan gosip di desa Belmez, suami Maria berusaha menghapus gambar wajah itu dengan cara menghancurkan keramik di lantai dapur, tempat di mana wajah seram itu muncul, dan menutupnya dengan semen. Sekalipun demikian, wajah aneh nan menyeramkan itu selalu muncul kembali.

Otoritas setempat kemudian menyegel dapur keluarga Maria. Tetapi tidak lama setelah penyegelan dan larangan memasuki dapur diberlakukan, wajah hantu itu justru bertambah dan muncul di ruang lain di rumah itu.

Ada empat wajah lelaki dan satu wajah perempuan. Ekspresinya tampak begitu memilukan, seperti sedang menanggung derita yang sangat berat. Kemunculan wajah-wajah aneh ini terjadi berulang dalam waktu dan saat yang tidak bisa diduga.

Banyak pihak telah berusaha menyelidiki dan meneliti fenomena aneh itu, namun kisah Belmez tetap tinggal sebagai misteri dengan jawaban yang tak bisa dipecahkan oleh siapapun.

Kisah SBY dan kisah Belmez tentu sangat tidak kompatibel untuk dikomparasikan. Sebab, yang satu terjadi di Indonesia dan yang lain terjadi di Spanyol. Yang satu bersifat politis dan yang lain bersifat mitis-misterius.

Namun, di dalam dua kisah itu tersirat kesamaan usaha untuk menghapus wajah-wajah aneh nan menyeramkan yang muncul berulang dalam keluarganya masing-masing.

SBY berjuang memulihkan moral PD di mata publik oleh karena kelambanannya mengelolah bangsa dan aib korupsi di internal/keluarga PD, sedang suami Maria berjuang menghapus wajah-wajah misterius nan menyeramkan dari lantai rumahnya sendiri.

Sebagai catatan penutup, saat ini bangsa Indonesia membutuhkan revolusi mental yang konkret dari siapapun demi bonum commune. Sebab, revolusi mental untuk tidak korupsi, hemat saya, jauh lebih elegan dari pada sekedar statemen narsistis atau satiran saya prihatin. Mungkin dengan begitu, usaha SBY untuk memulihkan citra diri dan moral PD bisa lebih diterima dan dihargai di mata publik. Itu saja dulu deh. Wasalam. (bagas de')

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun