Anda tentu masih ingat peristiwa 23 Maret 2016 kemarin. Petang itu, di halaman belakang Gedung Arsip Nasional, Jalan Gajah Mada, Jakarta, diadakan peluncuran buku dengan judul "Megawati dalam Catatan Wartawan: Menangis dan Tertawa Bersama Rakyat". Dalam acara itu, banyak tokoh politik dan pejabat publik yang hadir, termasuk Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
Pada sesi sambutan, Megawati Soekarno Putri (Megawati), Ketua Umum PDI-P, berbicara banyak hal tentang pengalaman dan pergumulan politiknya dalam dunia demokrasi di Indonesia.
Juga dalam sambutannya kala itu, Megawati sempat membuat satu guyonan kecil untuk para hadirin. Dalam banyak tafsiran publik, guyonan itu dilihat sebagai sindiran politik, dan ditujukan kepada Gubernur Ahok. Megawati bilang, "Ahok, Yang Jantan Dong!" Sindiran politik ini kemudian menjadi viral di mata media dan telinga publik.
Juga oleh publik, sindiran politik itu ditafsir sebagai reaksi ketidaksukaan/ketidaksetujuan Megawati atas pilihan dan pola laku politik seorang Ahok. Lantas, apa pilihan dan pola laku politik Ahok yang memicu sindiran politik Megawati?
Sindiran politik Megawati dipicu oleh: (1) Ahok terlalu cepat meminta kepastian dukungan politik dari PDI-P dalam rangka Pilkada DKI Jakarta, (2) Ahok meminta restu PDI-P agar Djarot Saiful Hidayat, kader PDI-P plus Wakil Gubernur DKI Jakarta, mendampinginya dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 lewat jalur perseorangan.
(3) Ahok memutuskan maju lewat jalur perseorangan dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 dengan pendamping bukan dari kader PDI-P, dan (4) Ahok selalu berbicara kepada publik bahwa sekalipun ada gesekan dengan partai PDI-P namun secara personal ia punya hubungan yang baik dengan Sang Ketua Umum, Megawati.
Di tengah kasuk kusuk politik dan perang dingin antara Ahok dan PDI-P, lahir dan terbentuklah relawan Teman Ahok (TA). Kemudian disusul dengan bergabungnya partai Nasdem dan Hanura. Ketiganya, TA, Nasdem dan Hanura, menjadi pendukung sekaligus kekuatan politik bagi Ahok yang memilih jalur perseorangan jelang Pilkada DKI Jakarta.
Konsolidasi politik dan militansi dukungan atas Ahok dari TA, Nasdem dan Hanura berjalan dengan baik, dan semakin menguat dari waktu ke waktu. Celakanya, publik dan separuh rakyat DKI Jakarta mengapresiasi dan menanggapi secara positif niat independensi Ahok dalam politik, termasuk usaha pengumpulan KTP dari barisan pendukung Ahok.
Militansi, konsolidasi politik dan hasil positif yang dicapai barisan pendukung Ahok sejauh ini - mungkin - tak sempat diperkirakan PDI-P sebelumnya. Kemudian, dimunculkanlah gagasan deparpolisasi lewat kader PDI-P Eddy Prasetyo Marsudi. Lalu, menyusul gagasan pilihan jalur perseorangan sebagai manifest nafsu seseorang atas jabatan politik lewat kader PDI-P Tri Rismaharini. Namun, isu-isu pembendung tersebut tidak cukup mempan dan sudah lama menguap.
Kini, kondisi dan tambatan politik Ahok sudah banyak berubah, bahkan lebih kuat dari sebelumnya. KTP warga tercatat sudah terkumpul lebih dari satu juta. Dengannya, jalur perseorangan bukan lagi beban tak tertanggungkan bagi niat politik Ahok. Pun partai Golkar sudah secara resmi mendukung Ahok. Dengan total 24 kursi dari partai-partai pendukung, Nasdem (5 kursi), Hanura (10 kursi) dan Golkar (9 kursi), Ahok juga bisa di-maju-kan sebagai calon gubernur lewat jalur partai politik (parpol).
Dengan perkataan lain, saat ini bersama dengan TA, Nasdem, Hanura dan Golkar, Ahok sudah berada pada zona aman jelang pendaftaran bakal calon gubernur di KPU DKI Jakarta. Â Â Â Â Â