Kemarin, 23 Mei 2016, saya mengunjungi teman lama saya di Sint Gabriel, Mödling-Austria. Dari Nitra-Slovakia, tempat tinggal saya saat ini, ke Sint Gabriel tidak begitu jauh. Kurang lebih dua jam perjalanan dengan kereta api. Untuk sampai ke Sint Gabriel, saya melewati kota Vienna. Mumpung ada kesempatan, saya memutuskan untuk turun di stasiun Düsseldorf dan mengunjungi beberapa tempat menarik di kota Vienna.
Di kota Vienna, ada begitu banyak tempat eksotis. Saya sebut beberapa tempat yang sempat saya kunjungi. Graben dan Kohlmarkt, Katedral St. Stephen (Stephansdom), Istana Schonbrunn (Schloss Schonbrunn), Kebun Istana Schonbrunn, Museum dan Istana Belvedere Stephansplatz, Istana Keadilan (Justizpalast) dan Universitas Vienna (Universität Wien).
Soal Universitas Vienna. Universitas Vienna merupakan almamater dari Karl Raimund Popper (1902-1994). Karl Raimund Popper (Popper) dikenal luas publik sebagai seorang filsuf dan penggagas prinsip falsifikasi dalam ilmu pengetahuan.
Prinsip falsifikasi adalah metode pengujian dan pembuktian kebenaran hipotesis tertentu dengan cara mencari data-data yang bisa meruntuhkan atau membuktikan kesalahan hipotesis tersebut.
Kebenaran sebuah hipotesis menjadi sahih bila berhasil melewati proses "dapat dibuktikan salah". Konsentrasi dari peneliti dengan prinsip falsifikasi adalah mengobservasi fakta-fakta anomali.
Jauh sebelum prinsip falsifikasi lahir, sudah ada prinsip verifikasi yang dikembangkan kelompok positivistik (JS Mill, August Comte, Saint Simon, dll). Dalam prinsip verifikasi, seorang peneliti menguji kebenaran hipotesis tertentu dengan cara mencari data-data yang mendukung kebenaran hipotesis tersebut. Dengan perkataan lain, peneliti dengan prinsip verifikasi tidak menghiraukan fakta-fakta anomali melainkan pada fakta-fakta pendukung hipotesis.
Untuk membedakan verifikasi dan falsifikasi, kita ambil contoh berikut. Pak Bagas memiliki sebelas orang anak, hasil dua kali menikah. Di sini, kita sebut saja hipotesisnya: Semua anak Pak Bagas berambut Keriting. Untuk menguji kebenaran hipotesis ini, seorang peneliti dengan prinsip verifikasi akan mendata anak-anak Pak Bagas yang berambut keriting saja. Tidak yang lain. Anak-anak Pak Bagas yang berambut keriting dijadikan sebagai data yang mendukung sekaligus membenarkan hipotesis Semua anak Pak Bagas berambut keriting.
Sedang bagi peneliti dengan prinsip falsifikasi, ia akan berusaha mencari tahu anak Pak Bagas yang berambut lurus. Katakan saja, peneliti menemukan salah satu anak Pak Bagas, sebut saja Hendra, dari perkawinannya yang pertama, berambut lurus. Jika demikian, maka hipotesis di atas telah "dibuktikan salah".
Sebab, Pak Bagas juga memiliki anak yang berambut lurus, meskipun hanya satu saja. Jadi, hipotesis itu perlu direformulasi supaya kebenarannya bisa dipertanggungjawabkan. Reformulasi hipotesis itu berbunyi: Anak-anak Pak Bagas berambut keriting kecuali Hendra. Itu cerita di depan Universitas Vienna-Austria.
Dalam sistem pembuktian terbalik, sebagaimana terjabar dalam UU No. 31 Tahun 1999 atau UU No. 20 Tahun 2001, hak dan kewajiban seorang tertuduh tidak hanya diakomodir tapi juga diatur.
Hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak korupsi, dan kewajiban untuk memberikan keterangan atas seluruh harta yang ia miliki, termasuk harta dari semua pihak yang diduga memiliki hubungan dengan perkara dari yang bersangkutan. Inikah yang dimaksud Ahok tentang pembuktian terbalik? Bisa jadi.
Pada suatu kesempatan, tepatnya sewaktu adanya perdebatan soal penggunaan dan penyerapan dana APBD 2015 dengan lawan politiknya di DKI Jakarta, Ahok bilang: "Buktikan harta yang kamu dapat, gaji yang kamu peroleh, dan pajak yang kamu bayar...dst."
Hal sama, prakarsa untuk melakukan pembuktian terbalik, juga direkomendasi dan bahkan dikehendaki Ahok dalam beberapa "kekisruhan penggunaan dana" yang diperdebatkan publik belakangan ini.
Mulai dari cerita dana relokasi Kalijodo, dana pembelian RS Sumber Waras hingga dana kontribusi pengembang dalam Proyek Reklamasi. Untuk persoalan-persoalan itu, Ahok meyakini dirinya bersih dan siapa saja boleh menguji kebenarannya dengan jalan pembuktian terbalik itu.
Hipotesis-hipotesis ini perlu diuji dan dibuktikan kebenarannya. Tentu saja, data yang dipakai dalam pengujian kebenaran hipotesis-hipotesis ini adalah situasi riil di lapangan (Wilayah DKI Jakarta), plus suara dari kaum Pro-Ahok dan Lawan-Ahok yang terliterasi di berbagai media audiovisual.
Pertama, Ahok adalah Politisi Yang Bersih KKN. Pengujian kebenaran atas hipotesis ini sudah dan sedang dibuat oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dulu, BPK menyatakan ada peyimpangan dana dalam pembelian RS. Sumber Waras.
Namun sejauh ini KPK, sebagai lembaga kredibel dan pemilik otoritas untuk menyatakan seseorang korupsi atau tidak korupsi, belum sampai pada satu kesimpulan final bahwa Ahok korupsi atau tidak korupsi. Apa yang dilakukan BPK dan KPK, hemat saya, merupakan aplikasi dari prinsip falsifikasi yang dikembangkan Popper. Apakah Ahok bersih? Biarkan KPK menjalankan tugasnya.
Di sisi yang lain, Ahok telah membeberkan seluruh harta kepunyaannya ke publik. Siapa saja dapat mengakses situs Ahok untuk memeriksa harta yang ia miliki, gaji yang ia peroleh, dan wajib pajak yang harus ia bayar.
Apa yang dilakukan Ahok, hemat saya, merupakan aplikasi dari prinsip verifikasi yang dikembangkan kaum positivistik, selain sebagai upaya membantu KPK untuk menguji seberapa bersih dirinya dari praktek korupsi, sebagaimana tuduhan separuh publik dan lawan-lawan politiknya.
Kedua, Ahok adalah Gubernur Yang Sukses Membangun Provinsi DKI Jakarta. Dengan jalan falsifikasi, kebenaran hipotesis ini bisa diuji lewat daftar keluhan warga saat ini. Kemacetan belum terurai tuntas; banjir masih kerap terjadi; masih banyak warga yang belum mendapat tempat tinggal layak huni; dan lain-lain.
Sedangkan lewat verifikasi, kebenaran hipotesis ini bisa diuji dengan hal-hal berikut. Volume banjir yang menurun drastis di setiap musim penghujan; Ruang Publik Terpadu Ramah Anak dan Ruang Terbuka Hijau yang mulai ditata; rumah-rumah susun yang sudah dan sedang dibangun; armada transportasi umum yang terus ditambah dan diremajakan; transparansi penggunaan dan pengelolaan keuangan daerah; Kartu Jakarta Pintar dan Kartu Jakarta Sehat; normalisasi kali dan sungai yang kian membaik; urusan administratif di kantor-kantor pemerintah yang mulai relatif cepat; dan lain-lain.
Kalau begitu runutan kisahnya, lantas apa penilain akhir tentang Ahok sebagai simpulan? Anda bebas menentukannya. Jika hipotesis itu perlu direformulasi, lakukanlah! Atau, jika hipotesis itu perlu dipertahankan, pertahankanlah!
Kebenaran hipotesis-hipotesis di atas, Ahok adalah Politisi Yang Bersih KKN dan Ahok adalah Gubernur Yang Sukses Membangun Provinsi DKI Jakarta, akan terus diuji sepanjang Ahok tidak mundur dari dunia politik.
Inikah yang diharapkan dan dimaksud Ahok tentang pembuktian terbalik dalam karier politiknya? Entahlah. Mungkinkah model pembuktian terbalik itu mirip dengan prinsip falsifikasi Popper, cerita yang saya dengar di depan Universitas Vienna tadi? Mungkin.
Banyak pertanyaan mengalir begitu saja, namun selesai dengan titik simpul yang ambang. Toh setiap pertanyaan tidak harus atau wajib dijawab. Pun semua jawaban yang kita berikan kerap tidak menjawabi pertanyaan secara tepat. Di sini, Sint Gabriel di kota Mödling-Austria, saya sudahi cerita ini. Itu saja dulu deh. Wasalam
Bagas De'
Alumnus STFK Ledalero. Tinggal di Nitra, Slovakia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H