Aktus mengabdi dan melayani masyarakat melalui jalan demokrasi, dengan menjadi wakil rakyat (anggota legislatif ataupun eksekutif), juga membutuhkan ongkos. Pesta demokrasi kemarin, tahun 2014, bercerita banyak tentang hal itu. Biaya produksi suksesi-legislasi dan suksesi-presidensi yang habis dipakai tiap partai politik (parpol) ataupun dari masing-masing calon legislatif (caleg), juga dari calon presiden dan calon wakil presiden (capres/cawapres), tidak kurang dari angka puluhan juta, malahan menembus angka miliaran rupiah.
Kalau mau dikalkulasi semua biaya produksi suksesi-legislasi, plus suksesi-presidensi, maka bisa mencapai angka triliunan rupiah. Estimasi ongkos politik dari 12 parpol yang ikut pemilu saja, seturut data Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebelum pemilu, kurang lebih 1, 937 triliun. Belum ditambah biaya yang habis dipakai oleh para caleg dan capres/cawapres, yang lolos ataupun tidak, serta biaya operasional yang dikeluarkan Negara selama pesta demokrasi itu berlangsung. Suatu angka yang terbilang fantastis. Asumsi gampangan saya; besaran biaya itu, itupun kalau rela didonasikan, bisa mengurangi beberapa digit angka utang Negara, juga bisa menanggulangi beberapa kebutuhan riil rakyat yang ditimpa bencana, Lumpur Sidoarjo misalnya. Di pihak yang lain, besaran biaya itu setidaknya menunjukkan tren positif perihal menguatnya perekonomian rakyat, dalam sektor politik tentunya, di tengah derap nilai rupiah yang pasang surut.
Dulu, kurang lebih pada abad 17/18, pernah terjadi chaos kemanusiaan dan ekonomi di daratan Eropa. Waktu itu, Karl Marx (1818-1883) menuduh kaum borjuis, dan juga agama, yang mengendalikan kekuasaan saat itu, sebagai penyebab krisis tersebut. Tetapi oleh beberapa analis, tuduhan Marx tidak sepenuhnya benar. Sebab, penindasan struktural, termasuk kerumitan ekonomi, masih saja terjadi pasca runtuhnya rezim komunis. Demikian pula pendapat mereka tentang malaise 1998/99 di Indonesia. Bahwa sangat tidak adil kalau rezim yang berkuasa saat itu terus-menerus dijadikan sebagai kambing hitam atas chaos ekonomi-berkelanjutan ini. Rezim Orde Baru (orba) bukanlah penyebab tunggal. Sebab, mazhab orba sudah berlalu, dan kita telah mengalami beberapa periode kepemimpinan sejak saat itu. Sekalipun demikian, pelaku ataupun praktik busuk dalam demokrasi politik, seperti yang dituduhkan kepada mazhab orba, ada dan terjadi juga dalam periode-periode pasca orba. Dan para pelaku itu, termasuk praktik penyimpangan, bukanlah produk lanjutan dari masa orba, malah murni dari periode sesudahnya. Mengapa?
Ada sekian banyak cerita positif tentang pesta demokrasi 2014. Di dalamnya disusupi pula cerita pilu. Kita ambil beberapa sampel-hanya-dari suksesi-legislasi 9 April 2014. Ada beberapa calon anggota legislatif mesti masuk panti rehabilitasi, setelah gagal. Sebagian lagi menuntut para tim suksesnya untuk mengembalikan uangnya. Ada juga yang menarik kembali semua property yang telah diberikan kepada kelompok orang atau perkumpulan tertentu. Rumah ibadat misalnya. Alasan paling menonjol dari litani chaotic itu adalah suara yang “dibeli” tidak sepenuhnya didapat. Kalaupun ada, jumlah suara itu tidak cukup untuk membantunya lolos sebagai anggota legislatif. Ini bukan produk orba, tetapi produk masanya kita sekarang ini.
Pengalaman itu membuat publik hampir tidak malu-malu untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan nakal berikut. Apakah yang menang karena memang mereka memiliki dan memberi uang jauh lebih banyak? Apakah yang kalah karena memang mereka tidak memiliki, atau mereka memberi uang jauh lebih sedikit? Lalu yang memilih (konstituen), apakah mereka memilih yang terpilih saat ini karena memang mendapat lebih banyak, dan tidak memilih yang kalah saat itu karena mereka menerima uang jauh lebih sedikit, atau bahkan tidak mendapat sepeser?
Daftar pertanyaan di atas menjustifikasi stagnasi berikut: uang-lah yang menguasai jalan dan bertumbuhnya kekuasaan politik saat ini. Dalam bahasa H. Lasswell, “...kekuasaan politik telah dianggap sama dengan uang dalam ilmu ekonomi, [di mana] uang dapat membeli semua hal.” Kalau begitu, agak ironis bahkan tidak relevan bila mengatakan kita sedang dikeroposi krisis finansial. Atau dengan perkataan lain, krisis keuangan hanya boleh ada dan terjadi dalam bidang kehidupan lainnya kecuali dalam bidang politik, termasuk semua “proyek” yang bersinggungan dengan politik. Miris memang. Sebab, hampir semua bidang/proyek kehidupan di negeri ini secara niscaya saling menentukan satu dengan lainnya. Dengan demikian, kita bisa menilai dan menakar kualitas wakil-wakil rakyat pada khususnya dan demokrasi bangsa ini pada umumnya. Sebenarnya tidak ada sesuatu yang baru dari pesta demokrasi itu. Perawakannya tidak lebih baik dari yang sebelumnya.
Berhadapan dengan problem itu siapa yang pantas dijadikan kambing hitam? Sekali lagi, sangat tidak fair kalau pelaku masa orba dituduh lagi sebagai auctornya. Hanya ada perbedaan antara periode orba dan periode-periode sesudahnya. Kalau pada masa orba, pelaku deviasi politiknya adalah “pemain tunggal”, ter/di-tutup-i sifatnya, dan pelakunya tidak/sulit diadili, maka periode sesudahnya, pelakunya jamak dan berjamaah, sifatnya jauh lebih terbuka, dan pelakunya bisa diadili. Kalau pada masa orba, kebijakan dan kekuasaan politiklah yang mengendalikan dan menyebabkan krisis finansial, maka periode sesudahnya, “kebijakan dan kekuasaan uanglah” yang mengendalikan dan menyebabkan kekacauan dan krisis politik. Ironis memang, sebab itu terjadi di sepanjang masa-masa sulit bangsa. Pertanyaannya sekarang, apakah kita sedang disandera krisis politik, atau krisis ekonomi, atau krisis mental? Turner Killian menjelaskan bahwa dalam interaksi yang tidak ada aturannya sering muncul aturan-aturan baru yang diikuti oleh kerumunan. Nampaknya, lakon demokrasi politik kita seperti itu. Secara teratur terjebak dalam ketidakteraturan (yang “di-atur”), dan perlahan tidak dialami lagi sebagai anomali.
Pleno KPU sudah selesai. Hasil pileg dan pilpres sudah kita dapat. Kita telah memiliki para wakil rakyat dan presiden yang baru. Di samping itu, beberapa di antaranya telah “kembali” ke tengah-tengah kita. Merekapun tetap sebagai wakil-wakil rakyat kita juga. Sebab menjadi anggota legislatif atau presiden/wakil presiden bukanlah satu-satunya jalan untuk mengabdi dan melayani kepentingan masyarakat. Mungkin benar bahwa ongkos yang dipakai atau diperoleh di jalan ini jauh lebih murah. Bahkan kerap sampai pada apa yang disebut “pahlawan tanpa tanda jasa”. Tetapi, di sinilah hospitalitas diri dari siapa saja yang mau dan rela berjuang untuk kepentingan rakyat digugat, diuji dan dimurnikan. Mungkinkah?
Waktu demokrasi terus bergulir, bergerak menuju pemilihan gubernur (pilgub) DKI Jakarta lagi. Rupa demokrasi juga terus berproses dan dikembangkan. Sedang privatio dalam praktik politik cenderung menjadi habitus laten. Karena itu, Mochtar Lubis bilang, “Siapa gerangan orang Indonesia itu? Wajah lama kita kelihatan tak karuan di kaca, sedang wajah baru juga belum kunjung jelas.” Kalau begitu, wajar kalau kita berharap lebih. Dan sepatutnya, di akhir pesta demokrasi kali ini, pasca pilgub DKI Jakarta 2017, membuat siapapun untuk tidak hanya sekedar “menang jadi arang, [dan] kalah jadi abu”. Itu saja dulu deh. Wasalam.
Bagas De'