Mohon tunggu...
Bagas De
Bagas De Mohon Tunggu... -

Buruh sosial. Tinggal dan bekerja di Slovakia-Eropa Tengah. Aslinya, Anak Kampung, dari Nehi-Enoraen, ntt. Laman blog pribadi: www.confessionoflife21.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dari Keberanian Fisik Ke Tertib Sosial (Bukan Soal Ridwan Kamil Saja)

24 Maret 2016   20:00 Diperbarui: 24 Maret 2016   20:54 585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa bulan terakhir, perang ketangkasan menjadi tema hangat di surat-surat kabar lokal. Topik adu jotos menjadi headline news malah. Antar geng, antar aparat keamanan, antara aparat keamanan dan masyarakat sipil, antar pejabat publik, pun antar masyarakat sipil sendiri. Bahwa untuk mendapatkankan hak-hak tertentu, dan atau menyelesaikan sebuah persoalan, seseorang mesti menggunakan jalan adu kekuatan otot. Dan bahkan sampai berdarah-darah. Ini namanya keberanian fisik. Tetapi apa gerangan? Ataukah memang kecerdasan budi dan kekuatan komunikasi sudah tak mempan lagi. Karena itu, bertarung secara fisik adalah pilihan bagus untuk menyelesaikan persoalan. Mestikah kita berbangga?

Berdasarkan kolom Curhat dari salah satu koran lokal, Pos Kupang (PK), edisi bulan November 2012, ditemukan kurang lebih 206 jenis curhatan/keluhan masyarakat. Dari 206 jenis curhatan masyarakat itu, pasca dikelompokan dan diberi nama masalahnya, ditemukan kurang lebih 10 jenis masalah dominan yang menjadi keluhan masyarakat. Mutu jalan, pendidikan, PDAM, rawan pangan dan kemiskinan, dana sertifikasi, kesehatan, keamanan dan ketertiban, Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN), jasa layanan publik yang tidak maksimal, politik dan hal-hal umum lainnya.

Dari 10 kategori keluhan di atas, masalah keamanan dan ketertiban berada pada urutan puncak dengan 49 keluhan dari total 206 kasus yang ada. Disusul masalah jasa layanan publik yang tidak maksimal sebanyak 45 keluhan, masalah di bidang pendidikan 29 keluhan, masalah KKN 23 keluhan. Kemudian disusul dengan masalah di bidang kesehatan dan masalah di bidang politik masing-masing 12 keluhan. Masalah di bidang mutu jalan 9 keluhan. Di urutan paling akhir adalah masalah di bidang layanan jasa PDAM, rawan pangan-kemiskinan, dan dana sertifikasi masing-masing 5 keluhan. Itu baru terbatas pada data rekaman Curhat PK. Belum terhitung di luar Curhat PK. Ini persoalan berapa tahun kemarin.

Problem itu ternyata belum juga hilang. Ia muncul lagi. Beberapa waktu kemarin, 21 Maret 2016, publik disodori berita menarik dari Kota Bandung. Bahwa, Sang Walikota, Ridwan Kamil, "terseret" kasus pemukulan atas Sopir Angkot, Taufik Hidayat. Ada banyak penjelasan yang muncul kemudian, baik dari Ridwan Kamil ataupun Sang Sopir. Apa kelanjutannya? Kedua bela pihak mungkin sudah sampai pada simpul "sepakat-damai".

Selang satu hari kemudian, 22 Maret 2016, di Jakarta, muncul kisah unjuk rasa para sopir taksi yang berujung ricuh. Miris memang. Aksi unjuk rasa yang diawali dengan tertib dan damai itu mesti berakhir dengan pertarungan fisik. Bahkan melibatkan pengemudi ojek online juga. Mungkin itu tidak sebrutal kisah Salim Kancil dalam cerita Tambang di Lumajang, Jawa Timur tahun 2015 dulu. Atau, juga mungkin itu tidak sebrutal kisah mahasiwa STMIK ASIA, Nasehon Leplepem, yang mati dibunuh oleh sesama mahasiswa di Malang kemarin, 23 Maret 2016. Namun toh beberapa di antara demonstran itu juga harus cedera secara fisik dan kemudian mendiami kamar di balik jeruji. Itu hanya sepenggal cerita yang mampu saya ingat. Apapun itu, point utama dari catatan media-media cetak dan online ini adalah kisah "keberanian fisik" anak-anak bangsa.

Lalu, apa yang mesti kita tuturkan kepada tetangga tentang kisah ini? Kisah Heroik? Tragedi? Atau Kisah Misteri? Memang agak membingungkan. Sebab hal itu terjadi di tengah-tengah masyarakat yang nota bene memakai asas kekeluargaan sebagai bingkai budayanya. Kalau begitu, atas nama prinsip kekeluargaan, semua mesti mengambil dan memikul tanggungjawab itu. Problem tersebut bukan lagi milik orang per orang, atau kelompok tertentu, melainkan problem bersama yang mesti diurai tuntas. Menjadi janggal manakala "penjamin keamanan" pun terseret ke kursi pesakitan. Alasannya, turut “mengambil bagian” dalam persoalan pelanggaran hukum, keamanan dan ketertiban. Ironis.

Tabiat ras Kaukasoid yang populer tahun 711 Masehi, di semenanjung Afrika Utara, ternyata tak dapat ditepis juga di zaman ini. Zaman di mana hukum positif sudah berlaku penuh. Prinsip legalitas yang bertolak pada aturan tertulis (UUD 1945), yang membuat hukum dipandang sebagai engine solution utama dalam mengontrol dan mengatasi banyak permasalahan yang muncul di masyarakat, nampak mentah di tengah pola perilaku main hakim sendiri. Ia kabur di tengah arena adu kekuatan fisik. Kekuatan hukum dan sanksi-sanksinya ternyata juga belum cukup sebagai sesuatu yang dapat merubah kebiasaan dan budaya negatif masyarakat. Belum lagi kalau hukum itu mulai diperjual-belikan.

Dari tidak tertib sosial lahirlah tidak tertib hukum. Dengan kata lain, tidak tertib hukum merupakan refleksi dari tidak tertib sosial yang ada dan muncul di tengah masyarakat. Untuk cara pandang ini, Akademisi Dwi Haryadi pernah bilang, "Pelanggaran hukum, pelanggaran HAM, KKN merupakan refleksi dari ketidaktertiban sosial." Jadi, lanjut Haryadi, tertib sosial perlu disadari dan dihidupi dalam setiap kelompok sosial yang kita masuki. Alasannya, tertib sosial memiliki peran penting dalam setiap upaya pencegahan kejahatan. Dengan tertib sosial, mata rantai pelbagai pelanggaran hukum, keamanan, ketertiban, dan tindakan anarkis lainnya bisa kita kurangi.

Upaya menciptakan tertib sosial bukanlah proses yang instan. Ia perlu digalakan secara kontinu. Dan kita, warga negara yang baik, diharapkan untuk tidak harus "berdarah" dulu demi selesainya sebuah persoalan. Sebab, ini bukan soal ritual yang-kerap-menggunakan/menuntut darah hewan kurban sebagai pengesah atas dimulai dan atau selesainya seremoni kultural tertentu. Perang para Matador Spanyol atau American Street Fighters memang sangat populer. Tetapi bukanlah hal yang wajib ditiru. Apalagi dihidupi.

Sambil berharap pada spirit ke-Bhineka Tunggal Ika-an, dan bersandar pada budaya ketimuran, di mana asas kekeluargaan begitu dijunjung, tabiat keberanian fisik diminimalisir. Bila perlu dihapus. Sebab cerita David dan Goliat tidak semata-mata adalah cerita tentang keberanian fisik. Di baliknya tersirat pula cerita tentang kecerdasan akal budi dan kehendak untuk berdialog secara santun. Sebenarnya, tertib sosial-tak-terlalu mahal untuk dimiliki bersama. Itu saja dulu deh. Wasalam.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun