Beberapa waktu silam, saya pernah menulis di media ini tentang carok. Dalam tulisan itu, dilukiskan tentang perilaku carok secara umum. Saya menulis carok terinspirasi oleh buku tentang carok : konflik kekerasan dan harga diri orang Madura, ditulis oleh A. Latief Wiyata. Buku itu kubaca karena pinjam teman.
Saya juga sedikit membaca tulisan sejarah Madura. Ketemu lagi dengan istilah carok. Banyak yang beranggapan bahwa Madura identik dengan carok yang mengarah perilaku kekerasan dan karapan sapi. Anggapa itu tidak salah. Karena trade mark Madura salah duanya carok dan dan karapan sapi. Masih banyak ditemukan hasil karya atau budaya Madura yang bisa dijadikan rujukan khasanah budaya nusantara. Ada banyak hikmah yang dapat ditarik dari perilaku orang Madura.
Seperti halnya di Jawa atau Bali, Madura terdiri dari beberapa kerajaan yang saling bersaing. Di antaranya kerajaan itu adalah Arosbaya, Blega, Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Kerajaan tersebut sangat eksis sebelum abad 18. Mereka bersaing dalam hal tata kerajaan, adu kekuatan dan pamer kekuasaan.
Kerajaan Madura dipimpin Prabu Cakraningrat pada abad ke-12 Masehi. Carok belum dikenal. Pada abad ke-14 Joko Tole, laku carok juga belum dilakukan oleh masyarakat Madura. Bahkan sewaktu pemerintahan Panembahan Semolo, istilah ini belum memasyarakat. Budaya carok baru dikenal pada masa pemerintahan Belanda.
Sumber lain mengatakan, bahwa budaya carok muncul pada zaman legenda Pak Sakera. Seorang mandor tebu dari Pasuruan untuk mengawasi para pekerja. Celurit bagi Sakera merupakan simbol perlawanan rakyat jelata. Setelah ditelusuri lebih mendalam, ternyata rakyat jelata yang dimaksud adalah masyarakat yang melawan tindakan sewenang-wenang pemerintah belanda.
Dalam perkembangannya, carok sebagai jalan akhir dalam pertikaian memperebutkan kedudukan dalam kraton, rebutan tanah atau warisan, dendam turun-temurun, dan juga perselingkuhan.
Tidak sedikit, kasus perselingkuhan dijumpai dalam masyarakat Madura. Orang Madura merasa malu karena kehormatan istrinya dirusak. Muncullah istilah "lebbi bagus pote tollang atembang pote mata" atau lebih baik mati daripada menanggung malu karena istri adalah landasan kematian (bhantalla pate). Mengganggu kehormatan selalu dimaknai arosak nyawa (merusak tatanan sosial).
Pertikaian pribadi, dapat pula merembet ke pertikaian antar keluarga. Bahkan dapat juga menimbulkan perkelahian antar kampung. Mengapa demikian? Padahal orang Madura lebih senang dipanggil ksatria. Satu lawan satu. Huru hara antar kampung, bisa disebabkan karena dendam turun-temurun. Tidak ada habisnya. Sangat sulit memutus mata rantai yang terurai dari darah.
Dengan pendekatan sosial dan pendidikan, budaya carok berangsur-angsur dapat dikendalikan. Tindakan perubahan masyarakat lewat pendekatan budaya, bisa membuka mata dan wawasan bahwa menyelesaiakn masalah yang diakhiri dengan kekerasan akan merugikan semua pihak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H