Bagi kami, masyarakat Kalibeber, sungai serayu bukan hanya sahabat. Sungai ini telah menjadi bagian dari sejarah perjalanan panjang sebuah desa yang bernama Kalibeber.Â
Secara subyektif, desa ini dan juga desaku, merupakan bentala lahan pertanian. Sebagian penduduknya merupakan petani, sebagian wiraswasta dan sebagian kecil adalah pegawai negeri.
Tanah perdikan yang ada di kaki gunung Sindoro dan gunung Petarangan, semua orang sepakat bahwa Kalibeber merupakan perkampungan santri. Tak heran bila orang yang datang dari luar, hanya untuk nyantri. Meraka datang dan pergi hanya ingin mendapatkan nurani qur'ani. Atau setidaknya, orang yang lewat dusun Kalibeber di sela-sela rambut, telah tertanam lantunan Qur'an.
Sungai Serayu yang menyusuri tepian desa kami, telah berjasa dalam meniti kehidupan Kalibeber. Entah untuk mata pencaharian, bersosialisasi antar warga disekitar desa, atau bahkan menjadi ilham budaya, dengan munculnya lagu "Di tepian sungai Serayu", ciptaan R. Sutedjo.
Mulanya hanya sebuah mata air yang mengalir dari sebuah gundukan tanah. Tepatnya di Desa Dieng. Oleh masyarakat setempat (waktu itu), tetesan air tersebut diberi nama Tuk Bima. Sebuah legenda pewayangan dari keluarga Pandawa, yang bernama Bima. Air tersebut, mengalir sejauh kurang lebih 180-an km dan masuk ke hamparan laut Samudra Hindia.
Kali Serayu, bagi kami merupakan aktivitas interaksi sosial. Orang kalibeber akan menyebut "angum" untuk kegiatan mandi di sore hari. Disana, semua orang menyatu menjadi satu. Tidak ada lapis-lapis sosial, yang ada cuma satu, wong Kalibeber. Karena disisi barat, muncul derasan air dari sebuah batu, berbau belerang dan panas. Oleh warga, dibuat kolam kecil. Disitulah kami bercengkerama. Persis seperti kaisar dan para pangeran ketika mandi bersama disebuah tempat dengan air hangat.
Bagi anak-anak, sungai serayu sebagai saksi maskulinitas. Air yang deras yang membentang dari utara ke selatan, setelah meliuk-liuk mengikuti alur sungai, ada sepenggal tempat yang cukup dalam, namun airnya deras. Tepatnya disisi timur, berhadap-hadapan dengan kolam kecil air hangat.
Disanalah setiap anak diuji nyalinya. Kami menyebutnya "Ngetan" yang artinya berenang ke timur. Menerjang air deras dan cukup dalam. Disini pula ada sebuah tebing yang cukup tinggi, tempat untuk terjun bebas, dan juga dengan gaya bebas. Kenikmatan yang mustahil kami ulangi lagi. Mereka yang belum berani berenang ke timur, belum mendapat julukan "lanang".
Kami, anak-anak memang tidak pernah kehabisan tenaga. Adanya hanya gembira dan gembira. Setelah renang dirasa cukup, kami istirahat di kolam air hangat. Kami menyebut "penganguman". Disinilah kami bercerita tentang sekolah, beternak, bertani (biasanya yang membantu ayahnya), yang dibumbui dengan "ndobos".
Disini pula kami saling berbagi tips bagaimana cara mencari jangkring dan cara membuat kandang jangkrik, nyiwil, atau bagaimana cara mencuri jeruk tetangga supaya tidak konangan. Termasuk Jeruk Bali miliknya simbah saya (Mbah Kaji Pandi). Karena saya mengetahui triknya anak-anak, saya sering memergoki mereka, sehingga mereka lari. Meskipun saya tahu siapa yang akan mencuri. Setelah bahan dongengan telah menipis, kami renang lagi, hingga sore menjelang maghrib.