Salah satu film yang meninspirasiku saat ini adalah The Way Back. Film yang rilis pada tahun 2011 ini menceritakan tentang narapidana yang mengambil jalan kebebasan secara diam-diam. Mereka melewati pagar kawat dengan cara memotongnya dan berlari jauh dari penjara yang terletak di pegunungan. Para narapidana yang melarikan diri tersebut pun harus menempuh jalan beribu-ribu milmeter untuk menuju kebebasan yang hakiki. Aral rintang pun telah mereka lalui. Dari pegunungan bersalju hingga gurun pasir, mereka pun tak lepas dari kejamnya badai salju dan badai di gurun pasir yang pernah menyapa mereka selama perjalanan.
Tak luput dari rasa lapar dan haus, mereka pun harus bertahan hidup di tengah perjalanan mereka yang hanya bermodalkan fisik saja. Untuk makan pun mereka harus seadanya dengan apa yang mereka temui. Binatang-binatang pun tak luput jadi santapan mereka. Namun, di tengah rasa lapar yang mendera tersebut pernah terlintas di salah satu otak narapidana untuk memakan temannya sendiri. Saking laparnya, ia pun berencana keji untuk membunuh salah satu kawan perjalanannya. Tapi itu hanya rencana, sebab salah satu narapidana lain pun mengingatkan akan pentingnya pertemanan ini.
Di perjalanan, egoisme terkadang muncul di tengah keadaan yang mendesak. Dan itu membutakan mata hati. Bertahan hidup dan kebersamaan dengan kawan seperjalanan adalah hal yang paling utama. Saling membantu sama lain dan saling mengingatkan akan mempemudah perjalanan yang dilalui. Dari perjalanan yang hanya menggunakan kekuatan kaki, menerjang badai, menahan rasa lapar dan haus, rasa dingin dan kejamnya matahari, mereka pun harus bertahan dengan itu semua. Demi tujuan yang mereka galakan dan sematkan pada pundak, untuk mencapai tujuannya tersebut yang harus dilakukan adalah “berjuang”.
Sampai pada akhirnya para narapidana tersebut harus kehilangan beberapa kawan perjalanannya karena ia tak kuat menahan ganasnya alam sehingga kematian dalam perjalanan menjadi cerita tersendiri. Saat itu, terbukti kesetia kawanan mereka yang ditinggalkan, harus menelan kesedihan. Namun tak elok rasanya bila bersedih terus-terusan, karna perjalanan masih panjang dan untuk bermuram durja saja rasanya tak patut dilakukan. Semua diserahkan pada Tuhan, hidup dan mati. Perjalanan terus dilakukan, gunung didaki, gurun pasir di pijakki. Hawa dingin yang menusuk harus ditahan dan sengatan matahari yang ganas harus di rasakan. Semua karena tujuan “bebas dan kembali”. Dan perjalanan yang menguras tenaga, hati dan fisik tersebut berakhir pada kebebasan yang mereka dapatkan. Akhirnya bisa bertemu dengan orang dicintainya.
Film ini mengajarkan tentang makna bertahan, berjuang dan setia kawan. Dalam melakukan perjalanan hal itu sangat diperlukan. Kita harus mampu bertahan dengan apapun yang terjadi. Jangan biarkan diri ini lemah oleh keadaan yang memilukan. Jangan terlalu hanyut pada rasa yang tak mengenakan diri kita.
Lalu berjuang, sepatutnya kita berjuang untuk mengalahkan diri sendiri yang terkadang lelah dengan semua yang dialami. Dengan berjuang kita dapat terlepas dari kesengsaraan. Hempaskan segala rasa capek dan ingin menyerah yang terkadang datang dalam pikiran kita. Ingat-ingat kembali tujuan awal kita, alasan mengapa kita berjuang.
Dan dalam perjalanan bersama kawan, ada satu pelajaran yang menyenangkan untuk dikenang. Yakni, rasa setia kawan. Hal itu yang menjadi penyedap ketika melakukan perjalanan, rasa solidaritas tinggi bersama kawan dan membuang segala ego diri. Dalam film ini pun diajarkan “setia kawan” yang dilakukan oleh narapidana tersebut. Mereka pergi mengarungi waktu dan tempat dengan jarak yang tak main-main bersama kawan yang setia dikala senang dan susah. Tak ada yang tertinggal, semua saling beriringan dalam melangkah. Hal itulah yang menjadi kebutuhan dalam melakukan perjalanan bersama kawan-kawan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H