Menjadi aku, tak semudah itu. Dua puluh dua tahun dihadapkan pada bayangan titik paling sempurna. Benar, seperti yang sudah kalian baca pada judul --- ibuku sendiri. Bayangan kesempurnaan itu nyatanya malah mengantarkanku pada titik paling buruk, paling rendah, paling hancur dan paling tidak dapat aku definisikan lagi.
Ini merupakan kali pertama aku membuka racun yang selama ini selalu aku telan mentah-mentah, sendirian. Aku tahu ini bukan solusi terbaik, bukan pula penyembuhan terbaik. Cerita ini mungkin akan terlihat salah dimata mereka yang memiliki ibu maupun ayah baik-baik dengan segala perlakuan sempurnany. Tapi aku percaya cerita ini akan mendapat banyak pembenaran untuk mereka yang memiliki kisah serupa atau bahkan jauh lebih menyakitkan.
Sebelum jauh bercerita, ada baiknya jika kalian mengenal sedikit siapa aku. Sebut saja aku Annelies, gadis 22 tahun yang baru saja menyelesaikan kuliahnya. Aku gadis biasa, tidak ada yang istimewa. Lapar ya makan, ngantuk ya tidur, sakit perut ya ke belakang, galau ya dengerin lagu mellow, suka makanan pedas, suka es teh manis, bisa overthinking, bisa marah, bisa nangis, kadang ngeluh, kadang pesimis, iya sama saja. Yang sedikit membedakan mungkin perihal ketertarikanku perihal sastra, lebih memilih hati ketimbang daging, tidak suka ikan-ikanan tapi pecinta tongkol dan pindang, tidak suka kacang tanah kecuali dalam bentuk bumbu sate, phobia kupu-kupu, takut lihat adegan luka dan melukai, takut menyalakan korek api, itu saja dulu sisanya kapan-kapan yang tak tahu kapan.
Aku lahir pada keluarga yang biasa-biasa saja, punya satu ayah, satu ibu dan satu kakak laki-laki yang berbeda usia tujuh tahun. Aku tumbuh menjadi gadis kecil yang lagi-lagi aku bilang biasa saja. Sekolah, main, punya banyak teman, kadang berantem karena hal sepele, tapi bisa cepat lupa seolah tak pernah terjadi apa-apa. Berjalan seperti template anak-anak pada umumnya dan semestinya.
Hidup mulai berubah saat usiaku enam tahun atau lebih tepatnya saat aku masih duduk di bangku taman kanak-kanak. Tahun 2004, kakak laki-laki ku yang baru saja naik kelas dua SMP meninggal karena lemah jantung yang memang sudah dia bawa sejak kecil. Si pintar, si baik, si penurut dan si pendiam itu ternyata tak di izinkan Tuhan tinggal lebih lama di keluarga ini. Semua merasa kehilangan, termasuk aku yang waktu itu mungkin belum mengerti arti sebuah kehilangan. Satu hal yang paling aku sesali, pagi sebelum dia meninggal aku menolak sewaktu dia meminta untuk menciumku. Siangnya, keadaan berubah dan aku masih membawa sesal itu sampai detik ini.
Tahun 2005 aku punya adik laki-laki, anggaplah pengganti kakakku yang diambil Tuhan. Aku kembali menjalani hidup dengan satu saudara laki-laki, bedanya kini aku yang menjadi kakak. Hidup kembali berjalan, aku tidak bisa mengatakan apakah bisa disebut baik-baik saja atau tidak, sebab nalar dan nurani anak usia tujuh tahun belum mengenal rasa sakit.
Rasa sakit pertama yang aku tau hanya sewaktu aku membuat kesalahan kemudian ibuku marah dan membentak. Dulu aku kira itu hal yang wajar, sebab aku mendapati anak-anak tetangga juga diperlakukan sama oleh ibunya. Sampai aku hidup di 2021 ini, marah dan membentak sepertinya masih dianggap wajar, lumrah bahkan menjadi salah satu metode yang dianggap instan dalam menjalani pola asuh orangtua ke anaknya. Orangtua selalu benar, jika orangtua salah kembali ke kalimat sebelumnya. Sepertinya VOC harus bertanggung jawab akan prinsipnya yang kian populer dan terus bertransformasi menjadi banyak hal.
...
Terimakasih telah memberi ruang akan perkenalan singkat yang kebablasan terlalu banyak ini. Jujur aku bingung mulai darimana, sebab ingatanku seperti lampu Tumblr yang terpajang pada dinding kamar-kamar anak perawan. Kadang bisa kita bikin terang, kedap kedip, silang warna atau bahkan redup seperti lilin angkringan. Kata orang aku termasuk pengingat yang baik, sebenarnya tidak juga sebab aku sering lupa dengan hal-hal kecil yang baru terjadi. Hanya saja otakku terlalu rajin menyimpan detail kejadian lengkap dengan tanggal bahkan jumlah hari paska hal itu terjadi.
Punya ingatan yang baik itu mungkin menyenangkan, namun jika ingatan itu terlalu baik bisa saja malah berdampak buruk jika filter yang kita pasang terlanjur rusak. Ingatan buruk yang harusnya kita buang, kadang malah bermetamorfsa menjadi racun yang merusak diri. Mungkin bukan sakit fisik, tapi naluri dan nurani.