Anwar menjamah koran harian langganannya sembari menyeruput kopi tanpa gula buatan Rahayu. Entah pahit kopi atau headline pada koran yang tengah dibacanya, Anwar mendadak meradang mengingat si bungsu yang sudah dua minggu tidak ada kabar.
"Yu... Rahayu...Yuuuu..." Teriak Anwar memanggil istrinya.
Rahayu datang dengan daster basahnya. "Opo to Pak."
"Kowe ki gek ngopo. Tak panggil-panggil kok tidak jawab."
"Umbah-umbah ning mburi Pak."
"Telfon anak lanangmu. Aku masih ndak bisa terima, sampai kapanpun aku ndak terima."
Rahayu menghela nafas. "Mbok sudah to Pak sudah, sing ikhlas."
Anwar yang masih terduduk di kursi rotan mulai tidak terkontrol, wajahnya memerah, nafasnya tersenggal, urat di sekujur tubuhnya sudah seperti cacing yang siap berkeluyuran.Â
Melihat suaminya seperti itu, Rahayu segera masuk ke dalam rumah mengambil inhaler dalam laci dekat televisi. Rahayu tahu benar kondisi laki-laki yang sudah dinikahinya tiga puluh tiga tahun tersebut.
 Anwar memiliki asma akut, dua minggu terakhir ini asmanya sering kambuh terlebih saat mengingat si bungsu. Disaat seperti ini hanya ada Rahayu yang begitu telaten merawat dan mendampinginya. Ketiga anaknya sudah memilih pergi dengan caranya masing-masing.
...