Mudik asik
Sejak tahun 2008 saya sudah meninggalkan rumah untuk merantau menuju pulau seberang. Dari kampung halaman di Kabupaten Oku Timur bermusyafir untuk menempa diri di kabupaten Ponorogo selama lima tahun,kemudian berpindah ke Kediri selama sekitar 5 bulan, kemudian berpindah ke Jember sejak Januari 2013 hingga sekarang , Mei 2017. Setiap orang mempunyai motivasi sendiri ketika memulai langkah kaki pertama sebuah perjalanan. Ada yang berniat untuk bekerja mencari nafkah, mencari jodoh, mencari ilmu, dan lain sebagainya. Bagi saya pribadi, bermusyafir dan berkelana merupakan sebuah langkah untuk menjawab titah Tuhan.
Dalam sebuah ayat, Tuhan mengatakan, “apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”. Di ayat yang lain Tutan kembali mengatakan “Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan."
Dari tahun 2008 sampai tahun 2017 ini terhitung sekitar lima kali mudik untuk pulang ke kampung halaman, dan selama itu pula tidak pernah sekalipun pulang kampung dengan menggunakan pesawat terbang. Selain karena alasan biayanya yang besar, mudik dengan bus dan kapal laut memberikan pengalaman yang sangat mendalam. Duduk di bus selama tiga hari dua malam sudah biasa dilakukan tiap kali momentum mudik datang. Ya, saya hanya pulang kampung ketika waktu liburan lebaran saja.
Aktivitas di ranah rantauyang tidak jelas jadwalnya memaksa hati untuk menyimpan baik-baik kerinduan. Nanggung rasanya kalau pulang hanya sebentar. Lagi pula berat di ongkos. Oleh karenanya harus menunggu liburan panjang idul fitri untuk menikmati sambel terasi dan ikan asin gorengan emakdi kampung halaman.
Mudik itu asik, meskipun kadang-kadang merasa bosan ketika berlama-lama di jalan, merasa jengkel ketika berhenti di rumah makan dan tidak dibangunkan (padahal sudah dibangunkan dan tidak mau bangun karena terlalu pulas tidurnya), juga merasa marah ketika barang hilang atau tertukar dengan penumpang lain. Belum lagi jalan bus yang merayap pelan-pelan ketika mudiknya sudah kurang dari seminggu lebaran. Bukan hanya merayap pelan, pernah saya mengalami mudik yang busnya berhenti total seharian karena kemacetan jalan yang sudah tidak bisa dihindarkan.
Suatu ketika sebelum masuk kawasan pelabuhan Merak, jantung dipaksa marathon karena dipaksa lima lelaki berbadan besar untuk membayar tiket lanjutan yang harganya dua kali lipat lebih mahal. Pernah juga bus butut yang saya kendarai mendadak berhenti karena mengalami pecan ban dan harus menunggu bantuan dari rekan kondektur dan supir yang berada jauh di belakang. Dari jam sembilan-an malam hingga menjelang subuh para penumpang menunggu dengan kesabaran yang hampir hilang. Namun suasana buruk yang tidak diinginkan selalu bisa dicegah dengan guyonandan candaan antar penumpang.
Obrolan dan pertanyaan dari penumpang bus setiap tahunnya hampir selalu sama. Tidak terlepas dari pertanyaan“siapa namanya, dari mana, mau ke mana, apa aktivitasnya, kuliah dimana, berapa kira-kira gajinya?”. Dari pertanyaan-pertanyaan sederhana seperti inilah susana keakraban di bus akan terbngun, obrolan akan mengalir meskipun baru beberapa menit berkenalan di atas bus. Pertanyaan setiap tahun yang selalu saja membuat hati sedih adalah pertanyaan “Sudah menikah, mas ?”, karena jawaban yang terlontar tiap tahun masih juga sama, “belum”, sambil menunduk dan melemparkan muka ke luar jendela.
Mudik Adalah ber-Wisata (hati)
Capek kerena perjalanan selama tiga hari tiga malam akan langsung hilang ketika melihat wajah bapak dan mamakyang selalu dipenuhi senyum bahagia ketika menjemput di tempat pemberhentian bus, di BK 10 Kecamatan Belitang. Peci warna hitam yang ujungnya mulai berwarna merah karena sering terkena air wudhu dan jaket kulit tebal berwarna coklat masih selalu setia menemani kemana saja beliau bepergian. Ciuman bapak di kening merupakan welcoming greetingbagi anak lelakinya ini yang sudah lama meninggalkan rumah. Pelukan hangat mamak selalu berhasil memancing air mata saya. Sudah tidak terhitung lagi berapa gelas air mata kami bertiga yang jatuh di loket bus ini.
Untuk sampai ke rumah, kami harus melalui jalan aspal sepanjang 10km yang kanan kirinya ditanami pohon sawit. Setiap kali mudik, jalanan ini selalu tampak dibenahi, namun selama mudik pula jalanan ini selalu tampak terluka berlobang di mana-mana. Kalau sedang musim hujan, tidak sedikit pengguna jalan yang terjebak dan jatuh ke lubang jalan. Ya,ini jalan yang bersejarah. Selalu sabar dilewati oleh kayuhan sepeda jengkisaya ketika berangkat dan pulang sekolah selama masa 3 tahun duduk di SMP.
Dari jalan utama, kami berbelok ke kanan memasuki pasar Sariguna yang merupakan pasar rakyat yang hanya buka di hari Selasa dan Jumat saja. Ini adalah jalan terobosan yang lebih dekat ke rumah. Sejak kecil mamakselalu mengajari saya untuk melepas helm ketika lewat jalan desa. Alasannya, “supaya senyum manismu terlihat ketika menyapa warga”, kata beliau yang selalu terpatri kuat dalam ingatan saya.
Malam harinya kakak-kakak yang sudah pada berumah tangga biasanya datang, kami berkumpul bersama, bertukar cerita, bercanda ria lalu diakhiri dengan tidur bersama. Aktivitas macam ini sangat langka di perantauan. Untuk saat ini hanya bisa dialami satu tahun atau bahkan dua tahun satu kali. Paginya, saya biasa berkeliling sawah, memberi makan ikan-ikan di kolam sembari bertegur sapa dengan warga desa yang berangkat ke sawah membawa cangkul di bahu mereka. Penduduk desa adalah cerminan masyarakat Indonesia yang sesungguhnya, senyumnya penuh ketulusan, sapa-annya penuh dengan kemurnian
Kebiasaan masyarakat di desa saya adalah mengunjungi tetangga dan kerabat yang merantau lama. Bukan untuk meminta jajanan dan oleh-oleh, tapi suatu bentuk uluran tangan simbol kerinduan dan rentangan tangan untuk memeluk lama anggota desa yang telah pergi lama. Kunjungan semacam ini adalah bentuk ucapan welcome, “selamat datang, kamu adalah keluargaku” atau, “selamat datang, jangan merasa sungkan, desa ini juga desamu”. yah, sangat tepat kalau mudik adalah wisata (hati).
Makna Spiritualitas di Balik Mudik
Mudik tidak hanya bermakna kembalinya seorang perantau dari bumi perantauannya. Akan tetapi lebih dalam dari sekedar itu. Manusia dilahirkan dengan keadaan "nol" dari dosa, bersih, suci, tidak mempunyai dosa sama sekali. Dalam proses proses perkembangannya manusia berhubungan dengan banyak orang yang tidak menutup kemungkinan akan terjebak kedalam perselisihan yang menimbulkan luka dan sakit hati. Dosa antara manusia dengan Tuhan bisa dihapus dengan ber-Istighfar, namun dosa antara manusia kepada manusia lain hanya akan dihapus dengan adanya maaf dari para pihak yang bersangkutan. Idul Fitri adalah proses pengosongan diri dari segala dosa yang pernah diberbuat.
Entah berapa gunung besarnya dosa bila diwujudkan dalam sebuah bentuk, ditampakkan kepada mata dan indera yang lainnya. Seandainya dosa dideretkan dengan angka, entah mau berapa kilo meter untuk menyelesaikan penulisannya. Memohon maaf adalah cara mengembalikan trilyunan digit dosa ke angka netral, nol, kosong. Mudik lebaran adalah proses perjalanan menuju kekosongan, menuju kesucian.
Mudik lebaran adalah momentum yang sangat mahal. Sangat disayangkankan kalau mengisi liburan di rumah untuk mengurung diri di kamar, bermain smartphone,hp, ataupun perangkat modern yang bersifat individual. Mudik adalah momen untuk berkumpul, bercanda tawa, dan bersilaturahmi kepada keluarga-keluarga. Mudik juga momentum untuk menchargeenergi sebagai persiapan kembali lagi ke ranah rantaunanti, menjalankan aktifitas seperti biasa sambil sesekali bercengkerama dengan alam semesta dan segala isinya.
Ini video editan kawan saya Orit dan Dwi, sisa pbeberapa puing kenangan berjlan bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H