Berbicara tentang pondok pesantren di Pulau Jawa, itu sudah hal yang lumrah alias biasa. Lalu bagaimana halnya dengan keberadaan pondok pesantren di Pulau Dewata, tentu ini menjadi hal yang luar biasa. Kedua-duanya membawa tujuan yang sama, membangun sumber daya manusia yang tangguh, tahan banting, menyebarkan misi damai dalam Islam, dan menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta. Namun, tantangan yang dihadapi sangat berbeda.
Ponpes Thoriqul Mahfudz, salah satu ponpes di Bali berdiri sejak tahun 1996 tepat di tepi jalan utama Bali, yaitu Jalan Raya Gilimanuk - Denpasar Km 12, Sumbersari Melaya, Jembrana, Bali. Perbincangan dengan Kyai Marzuki, pengasuh Ponpes Thoriqul Mahfudz berjalan ke belakang menembus ruang waktu, menuju kenangannya di masa lalu, masa awal embrio ponpes ini muncul. Awalnya, bangunan ponpes yang sekarang ditempati sekitar 70-an santri putra-putri ini hanya berupa gubug bambu dan bangunan yang ala kadarnya saja, tempat mengaji sederhana sekaligus tempat beristirahat para santri ponpes yang mengusung metode sistem tradisional (salaf) ini.
Pengasuh yang merupakan alumni Ponpes Salafiyah Syafi’iyah Asembagus, Situbondo, menceritakan bahwa pada awal pendirian ponpes ini menghadapi banyak tentangan dari masyarakat sekitar yang tidak beragama Islam, dan juga cibiran pesimis akan keberlangsungan ponpes ke depannya.
Penentangan masyarakat pada dasarnya karena belum tahu visi dan misi ponpes sebagai lembaga pengembangan kualitas sumber daya manusia, utamanya yang beragama Islam. Mereka menganggap bahwa ponpes adalah lembaga berbahaya yang mengancam kehidupan masyarakat di sana, dalam filosofi Arab diterangkan “Al Insaanu A’daau maa jahiluu” (manusia akan memusuhi apa yang tidak diketahuinya).
Ditambah dukungan dari pemerintah daerah yang sangat kurang, semakin membuat pertumbuhan ponpes ini terseok-seok dan berjalan lamban. Akan tetapi hal itu semua tidak membuat Sang Kyai berputus asa, beliau sangat yakin bahwa mendakwahkan Islam tidak bisa ditempuh dengan instan, memaksa masyarakat, akan tetapi dengan kelembutan, contoh yang baik, kesabaran, pendekatan sosial-budaya, serta memaksimalkan semua ilmu yang sudah dipelajarinya.
Kondisi masyarakat Bali yang multi kultural, pergaulan bebas yang terkenal, paha-paha mulus dan dada putih yang banyak berseliweran memang menjadi hal yang layak diwaspadai oleh orang tua manapun. Karena sedikitnya santri, pengasuh pondok terjun langsung ke masyarakat dan mengumpulkan anak-anak yatim/piatu, pemuda yang tidak mampu mondok di Jawa atau sekolah umum, pengguna narkoba yang menginginkan sembuh akan tetapi malu ataupun tidak mempunyai biaya rehabilitasi, dapat belajar ilmu agama secara gratis di Ponpes Thoriul Mahfudz.
Hal ini bukan berarti kyai menginginkan punya santri, atau kepengen diakui sebagai tokoh agama, akan tetapi menunjukkan kesungguhan dan keikhlasan seorang kyai untuk menyelamatkan putra-putri bangsa dari pergaulan yang salah, untuk mengarahkan pemuda dan pemudi bangsa ke arah masa depan yang cerah.
Sistem ngaji atau sistem belajar menggunakan kitab kuning sebagai mana yang jamak dilakukan di Jawa tidak serta merta bisa dilakukan di sini. Pada tahap awal santri diajari dasar-dasar agama, penanaman nilai-nilai tauhid (ketuhanan), dan pengetahuan agama secara umum. Mayoritas santri yang baru masuk masih asing dengan huruf serta tulisan Arab, kalau langsung diajari kitab kuning yang tanpa tanda baca, bukan pemahaman yang akan santri dapatkan, melainkan tambahan mumet, tidak mengerti, dan malah akan menjauh dan membenci belajar. Sebagai solusinya Santri menerima pelajaran berdasarkan catatan-catatan Pak Kyai merujuk pada kitab kuning.
Disinggung mengenai penamaan 'ponpes kesehatan mental', Pak Kyai gagah berkumis lebat ini tersenyum sambil menjelaskan bahwa ponpes sering didatangi orang untuk berkonsultasi dan berobat gangguan kejiwaan. Yang menjadi 'dokter' penyakit jiwa di ponpes ini adalah Pak Kyai, asatidz (guru-guru), juga para santri. Bagi santri, hal ini merupakan bekal berharga bagi mereka setelah terjun ke masyarakat nantinya. Metode pengobatan dilakukan menggunakan air yang diberi nama 'hydro teraphy' dilakukan dengan membaca doa dan dzikir.
Pasien yang beragama Islam diajak berdzikir dan berdoa bersama, sementara itu yang beragama selain Islam atau bahkan tidak beragama dipersilakan untuk berdoa sesuai dengan keyakinannya. Setelah pembacaan doa, air yang sudah diberi doa diminumkan dan dimandikan kepada pasien.
Pengobatan juga dengan diskusi serta motivasi untuk menggugah jiwa supaya kembali normal. Penyakit kejiwaan yang biasa ditangani adalah stres, gila, kecanduan narkoba/obat-obatan terlarang, anak ndableg/nakal, dll. Pengobatan jiwa dilakukan dengan berobat jalan, pasien datang ke pondok dan setelah itu dibawa kembali pulang, lalu beberapa waktu kemudian datang lagi melakukan tahapan pengobatan selanjutnya, begitu dan seterusnya hingga kondisi jiwanya dapat disembuhkan. Banyak permintaan kepada kyai untuk membangun asrama bagi pasien gangguan jiwa, namun sayangnya permintaan tersebut masih belum bisa dilaksanakan, kendala biaya merupakan faktor utama.
Perpustakaan yang mestinya ada untuk para santri dengan buku-buku memadai justru belum ditemui di sini. Kekurangan fasilitas tidak membuat pengurus ponpes lemah, pengajuan bantuan kepada pemda yang tidak kunjung dipenuhi semakin membangkitkan semangat mereka untuk mandiri, menghidupi ponpes dan santri bersama para donatur yang ikhlas memberikan bantuan dalam bentuk apapun. Donatur bukan hanya dari dalam negeri, melainkan juga dari mancanegara.
Pernah ada turis dari Amerika yang menderita suatu penyakit tak kunjung sembuh, oleh guide-nya dibawa berobat ke ponpes kesehatan mental Thoriul Mahfudz, dan setelah seminggu kepulangannya ke Amerika ternyata penyakitnya sembuh. Sebagai balas jasa, turis yang merasa kasihan dengan kondisi rumah kyai tersebut menyumbangkan dana untuk pembangunan rumah kyai yang dipakai sebagai penerima tamu dan beberapa infrastruktur ponpes.
Tidak semua santri menginap di ponpes. Beberapa santri yang rumahnya dekat dengan ponpes diberi kelonggaran untuk pulang setelah semua kegiatan selesai. Kyai Marzuki sempat mengatakan bahwa jumlah 70 santri untuk ukuran ponpes di Bali merupakan jumlah yang sangat banyak. Beliau menukil ungkapan gurunya, Kyai Haji Raden As’ad Samsul Arifin yang mengatakan bahwa satu santri di Bali, nilainya sama dengan 1.000 santri di Pulau Jawa.
Ungkapan gurunya itu menjadi salah satu motivasi penyemangatnya untuk terus berjuang menghidupi ponpes dan menabur kebermanfaatan bagi umat manusia. Ke depannya, semoga segera terwujud asrama santri yang memadai, asrama untuk panti asuhan, dan asrama untuk pasien gangguan kejiwaan. Semoga Pemda Bali segera turun tangan membantu memenuhi fasilitas dan sarana prasarana di lembaga pendidikan yang masih masuk dalam wilayahnya.
Anda merasa mengalami gangguan jiwa? silahkan segera berobat ke sana. Anda mempunyai kelebihan harta? Silakan jika ingin mendermakannya. “Tidak penting apapun agama dan sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk orang lain, mereka tidak akan bertanya apa agamamu,“ –Gus Dur--
Semua agama 'pasti' memerintahkan pemeluknya agar mengajak manusia untuk bersama memeluk agamanya, tidak menjadi masalah.
Yang menjadi masalah adalah memaksa orang lain untuk memeluk agama yang dipeluknya, mempercayai Tuhan yang dipercayainya, menghalang-halangi orang lain untuk menjalankan ibadah yang diyakininya, dan menebar permusuhan kepada yang berlainan agama dengannya. Always be one, peace in diversities.
Amir El Huda
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H