Mohon tunggu...
AMIR EL HUDA
AMIR EL HUDA Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Laki-laki biasa (saja)

Media: 1. Email: bangamir685@gmail.com 2. Fb: Amir El Huda 3. Youtube: s https://www.youtube.com/channel/UCOtz3_2NuSgtcfAMuyyWmuA 4. Ig: @amirelhuda

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Baru! Bedadung Water Tubing Sebagai Wisata Ekstrim di Tengah Kota Jember

17 April 2016   20:36 Diperbarui: 17 April 2016   20:47 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

15 menit berenang membuat lelah dan lupa tujuan utama. “Saya juga hampir lupa kalau mau menulis tentang water tubing sungai bedadung”. Segera dengan semangat kami mengangkat ban hitam besar yang sudah menanti di atas tumpukan pasir tepi sungai, entah ban ini milik siapa. Ban ini sudah kami incar sejak dua minggu yang lalu, untuk bertubing ria, bergembira dan berolahraga. Permainan-permainan ekstrim seperti ini  selalu menggoda. Keyakinan saya: dengan melakukan hal-hal ekstrim maka limit dan batas kemampuan dalam diri akan terdobrak. Rasa takut dalam diri akan terkalahkan. Batas kemampuan yang mengganjal akan disingkirkan. Potensi dalam diri akan ditingkatkan. Namun ada yang perlu diingt bahwa berani bukan berarti nekat.”orang yang berani tidak akan melompat turun dari sebuah tebing curam dengan membabi buta, akan tetapi dengan perencanaan, mengukur kedalaman, lalu menuruninya perlahan dengan kehati-hatian maksimal”.

[caption caption="Lhooo... malah ketiduran bro.... Foto: Dokumen Woro Ritno"]

[/caption]

Ban kami angkat bertiga. Cukup berat karena diikat dengan jejeran bambu untuk meningkatkan keseimbangan. Tidak semua bagian sungai Bedadung dangkal. Ada bagian-bagian yang dalam dan ada bagian lain yang sangat dalam. Ban kami ikat dengan tali plastik, saya menyebutnya dengan tali “rafia” supaya tidak bablas hanyut terbawa air hingga ke muara. Konon ada beberapa titik di sungai Bedadung yang disukai untuk tinggal para buaya, pastinya di tempat yang berdekatan dengan muara, sekitar jembatan merah. Sudah tidak sabar saya menunggang kuda hitam ini.

Ban dimasukkan ke dalam air, saya dan dwi dapat giliran pertama menunggangnya. Begitu kami naik arus ombak segera menyapu dan menghanyutkan kami berdua perlahan. “wooow, arus mengeras, dorongan kepada ban semakin kuat”. Ban terapung mengalir mengikuti arus sungai. Tali kekang yang sudah mencengkeram badan ban dipegang kuat oleh oriet dari tepian. “tali merah jangan sampai lepas”. Kalau sampai tali terlepas, kemungkinan besar kami akan mendarat di perahu nelayan Puger. Sekitar 20 menit kami bermain-main, lelaki yang sedari tadi duduk memegang pancing tiba-tiba melepas baju dan mendekat ke arah kami dengan membawa cangkul”, wajah hitamnya mengkilap diterpa mentari pagi.

“Ada rasa was-was, takut. Saya tak punya keahlian berkelahi, apalagi oriet yang kutu buku. Yang kami andalkan untuk maju hanyalah dwi yang mantan preman Lumajang. Konon sering memenangi perlombaan setiap duel liar di sekitar terminal”, yaaah kok ngelantur lagi ceritanya. Hahaha

“Ternyata yang saya hayalkan terlalu lebay dan berlebihan”. Bapak pemancing adalah pemilik ban yang kami naiki. Hihihih... maluu. Segera kami memohon izin kepada beliau sembari meminta maaf karena khilaf. Beliau mempersilahkan kami untuk bermain, bertubing hingga puas.

[caption caption="Ini, penyidik menemukan penyebab kapal tenggelam. foto: dokumen Woro Ritno"]

[/caption]

Hari semakin siang. Arus semakin deras. Saya mencoba berdiri di atas ban dengan memegang kamera aksi. Di posisi tinggi kamera akan semakin bernyali. Tangkapan gambar akan melebar dan semakin banyak spot yang bisa diabadikan. Tidak dinyana posisi kami tidak lagi seimbang, laju ban menjadi oleng, ban yang kami naiki terbalik dan melemparkan penumpangnya. Kami tercebur kedalam air yang ternyata dalam. Kaki kami tidak menyentuh dasar sungai, tangan menggapai-gapai keatas mencoba melawan arus yang menerpa keras.

Berenang dengan satu tangan di arus yang tidak tenang sangat sangat menegangkan. Tangan kanan saya mengelamatkan tongsis beserta kamera yang sedari tadi saya pegang, mencoba keras berenang ke tepian. Oriet membantu dwi yang terperangkap dalam ban yang terbalik. Jandung berdenyut lebih kencang, ritmenya tak beraturan. Sungai bedadung konon beberapa kali memakan korban. Mungkin mereka tak paham medan;. Seperti kami para pendatang yang hanya bermodalkan mental dan keberanian.Di alam liar seperti ini kekompakan sangat diperlukan. Berangkat dengan bersama-sama maka pulangpun bersama-sama. Tiga detik kami terdiam merenungi kejadian barusan dan bersukur karena selamat dari tenggelam atau bahkan kematian. Beberapa air sungai yang kurang ajar curi-curi kesempatan untuk menyelinap masuk mulut dan tenggorokan tanpa sungkan-sungkan. Hasilnya, “rasa ini menyiksaku, dan kami”. Hikkkk. Detik keempat, tawa kami terlepas tak terkontrol.

[caption caption="Akhirnya saya terjatuh, Dwi di bawah saya tertimpa badan dan ban. wahahaha. Foto: Dokumen Woro Ritno"]

[/caption]

Ban kami terguling karena memang kami belum mahir mengendalikannya. Maklum, baru pertama kali ini mencobanya dan tanpa pemandu pula. Sungai bedadung harus ditaklukkan supaya tidak lagi nakal. “air yang diam sering kali menghanyutkan”, berhati-hatilah. Orang yang pandai terkadang pendiam, tak ada yang menyangka kepandainnya. Lagian mana ada pemburu yang bersorak-sorak sambil mengincar buruan dengan senapan. Pemburu akan diam sambil mengamati buruannya. “silent is gold”, kata mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun