Berjalan ke dapur sambil membaca, duduk di depan asrama sambil membaca, menuju masjid sambil membaca, antri mengambil makan sambil membaca, bahkan antri untuk mandipun sambil membaca. Prinsip yang ditanamkan oleh pengasuh pondok salah satunya adalah arrohatu fii tabaadulil A’mal (Istirahat adalah pergantian dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain), jadi bukan prinsip istirahat adalah tidur
[caption caption="BELAJAR DI GONTOR"]
- Membawa kamus dan kutaib kemana saja
Santri baru atau tahun pertama di pondok modern darussalam Gontor wajib membawa kamus kemanapun dia pergi. Tujuannya sederhana, supaya santri yang tidak tahu pengucapan suatu kata segera mencari dan mendapatkannya di kamus yang dibawa. Sehingga setiap harinya selalu bertambah jumlah kata yang dihafalkannya. Kewajiban membawa kamus ini hanya berlaku bagi santri baru saja, sedangkan semua satri (yang baru maupun lama) wajib membawa kutaib. Kutaib adalah buku kecil (buku saku) yang menjadi catatan harian bahasa. Kata-kata baru yang paginya sudah diberikan oleh pembimbing di asrama wajib hadir dan tertulis di buku saku ini.
Tujuannya supaya para santri bisa segera mengetahui kosa kata yang wajib dihafal pada hari itu ketika lupa. Selain itu kutaib berfungsi sebagai buku kecil yang digunakan untuk menuliskan kata baru atau kalimat baru yang tidak dimengerti, sehingga sesampainya di asrama para santri bisa menanyakan bahasa arab/inggris yang benar terkait dengan kata tersebut kepada para pembimbing asrama atau mencarinya sendiri di kamus pribadi.
- Hukuman atau sanksi
Paling tidak enak memulai pembahasan tentang hukuman dan sanksi, namun adanya sanksi sangat penting sebagai lantaran atau perantara intropeksi diri dan perbaikan diri. Begitu juga di Gontor memberlakukan sanksi bagi pelanggar disiplin bahasa dengan berbagai hukuman atau sanksi sebagai pemicu gelora semangat berbahasa santri. Pelanggaran bahasa yang biasa dilakukan seperti tidak hafal kosakata yang sudah diberikan pada pagi hari, tidak menuliskan kosakata yang sudah diberikan di kertas yang sudah ditempelkan di depan pintu lemari, tidak membawa kamus (bagi santri baru), tidak membawa buku saku, berbicara tidak dengan bahasa yang seharusnya berlaku pada hari itu, berbicara dengan bahasa Nasional selain Arab dan Inggris, Berbicara menggunakan bahasa Indonesia, dan berbicara menggunakan bahasa daerah.
Hukuman yang diberikan beraneka ragam; mulai dari menghafalkan kosa kata tambahan sebanyak 10 kali atau bahkan 1000 kali (tergantung kebijakan pemberi hukuman), berlari keliling asrama beberapa kali sambil berteriak-teriak “yaa akhiii, intiquu a’robiyyatan” ---wahai saudaraku, berbicaralah dengan bahasa Arab--- atau ”my brother, speak english”--- saudaraku berbicaralah dengan bahasa Inggris--- hukuman ini diberikan bagi mereka yang tidak berbahasa sesuai dengan jadwal yang ditentukan,
atau berpidato menggunakan bahasa Arab dan Inggris di pinggir jalan pondok yang ramai dengan lalu lalang santri sambil dikalungi tulisan “I have spoke Indonesia”--- saya berbicara menggunakan bahasa Indonesia--- ataupun “antiqu jawawiyyatan”---saya berbicara menggunakan bahasa Jawa---, atau juga berpidato di dapur umum pada waktu makan siang, atau untuk kesalahan berbahasa dengan bercakap-cakap menggunakan bahasa daerah (bahasa asal) semua hukuman dijalankan ditambah dengan pembotakan rambut kepala.
Hukuman-hukuman ini selain memberikan efek jera juga berguna untuk meningkatkan kemampuan bahasa, justru terkadang saya sendiri merasa kangen dengan hukuman yang diberikan pada saat di Gontor dulu, karena tidak jarang para santri lebih akrab dan lebih bersatu setelah sama-sama menerima hukuman.
Orang yang dihukum bukan berarti orang yang ndablek atau bandel. Bisa jadi mereka yang dihukum adalah orang yang aktif, kreatif dan produktif sehingga mencari sensasi dan suasana lain melalui hukuman. Pak yai pernah bilang, “jangan mengikuti arah arus, tapi menarilah di atas arus”, kalau penafsiran saya mengenai kata-kata ini adalah jangan pasrah mengikuti keadaan, tapi ciptakanlah momentum yang indah dari setiap keadaan.. well