Mohon tunggu...
Amirudin Mahmud
Amirudin Mahmud Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan pemerhati sosial-politik

Penulis Buku "Guru Tak Boleh Sejahtera" Bekerja di SDN Unggulan Srengseng I Indramayu Blog. http://amirudinmahmud.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

GNAI, Islamphobia dan Politik Islam

2 Agustus 2022   05:48 Diperbarui: 2 Agustus 2022   05:51 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belum lama sejumlah tokoh nasional dari kalangan Islam mendeklarasikan Gerakan Nasional Anti Islamphobia (GNAI). Deklarasi GNAI dilakukan di Aula Buya Hamka Masjid Al Azhar Jakarta. Deklarasi dihadiri oleh Hidayat Nur Wahid Wakil Ketua MPR RI, Slamet Maarif Ketua Persaudaraan Alumni 2012, Ferry Juliantono Wakil Ketua Partai Gerindra, Buni Yani Wakil Ketua Partai Umat, Ahmad Yani Ketua Umum Partai Masyumi Reborn, Habib Mukhsin, Mustofa Nara, Refly Harun, Alfian Tandjung, Habib Umar Husein dan sejumlah tokoh lain.

Mereka berpandangan bahwa di Indonesia telah berkembang gerakan Islamphobia. Apa sebetulnya Islamphobia itu? Phobia itu berarti rasa takut dan kebencian terhadap sesuatu. Dengan demikian Islamphobia dipahami sebagai pandangan dan sikap mengandung prasangka, ketakutan dan kebencian terhadap Islam dan orang-orang yang memeluknya.  

Islamphobia merupakan reaksi ketakutan sekaligus kebencian terhadap Islam. Islamphobia ramai dibicarakan masyarakat dunia terutama di Barat setelah peristiwa aksi terror 11 September 2011 di Amerika Serikat yang diduga dilakukan oleh sejumlah oknum beragama Islam. Aksi itu mejadikan Islam ditakuti sekaligus dibenci. Islam dinilai sebagai ancaman terhadap perdamaian dunia.

Jika dilihat dari aktor dibelakangnya, GNAI tak dapat dilepaskan dari aroma politik menjelang Pilpres 2024. GNAI tidak sepenuhnya representasi umat Islam Indonesia. Dari yang hadir dalam deklarasi tidak ada satu pun perwakilan dari NU, Muhammadiyah atau ormas Islam lainnya. Yang hadir hampir semuanya para politisi dari kelompok oposisi. Rasanya sulit dipisahkan dengan kepentingan politik  elektoral.

Sebenarnya sesuatu yang perlu pembuktian jika dikatakan bahwa di Indonesia Islamphobia  sedang berkembang pesat. Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya muslim. Di sini orang Islam secara bebas dapat menjalankan, mengamalkan ajaran agamanya. Tidak ada batasan dalam beribadah. Masjid berdiri megah di setiap tempat. Kegiatan dakwah Islam bebas dilakukan. Kalaupun ada rasa takut itu pada aksi teror, tapi untuk itu kita layak bersyukur sebab kehadiran Detasemen 88 Anti Teror dirasakan manfaatnya dalam menghadirkan ketenangan masyarakat. Aksi teror bukanlah dari ajaran Islam. Tak tepat jika aksi teror disandarkan pada Islam. Yang ada adalah oknum beragama Islam melakukanya karena salah dalam memahami sejumlah dogma agama dalam Islam. Tegasnya harus dibedakan antara aksi teror dan Islam.

Kemudian lahirnya deklarasi di tengah situasi politik tanah air yang mulai memanas juga menimbulkan banyak tanya. Apa ada kaitan deklarasi GNAI dengan persiapan politik elektoral dalam Pilpres 2024 mendatang? Pastinya, satu gerakan dengan gerakan yang lain bisa saling berkaitan. Waktu  yang akan menjawabnya.

Sekarang apa benar gerakan Islamphobia ada di Indonesia? Bagi mereka ( Baca: deklarator GNAI) Islamphobia sedang berkembang di tanah air. Menurut mereka indikasinya cukup gamblang seperti perlakuan represif yang dihadapi oleh para tokoh Islam dari aparat atau negara, kriminalisasi ulama. Hal itu terjadi karena ada rasa takut berlebihan dari pemerintah dan sebagian elemen masyarakat terhadap Islam dan ajaranya. Oleh karenanya diperlukan sebuah gerakan yang membendung. GNAI diharapkan dapat mengambil peran untuk itu?

Islamphobia dan politik identitas

Sebagai orang awam, saya melihat sesungguhnya yang terjadi di tanah air bukanlah gerakan Islamphobia. Sejatinya kekhawatiran, ketakutan serta kebencian itu bukan pada Islam tapi pada politik identitas disamping aksi terorisme. Politik identitas adalah cara berpolitik yang mementingkan kepentingan kelompok yang berdasarkan kesamaan identitas seperti agama, ras, suku, etnis atau lainya.

Seperti menjadi maklum, politik identitas sangat berbahaya. Politik identitas dapat menghancurkan NKRI. Persatuan dan kesatuan bangsa besar bernama Indonesia menjadi terancam. Keragaman dan kebhinekaan akan terkoyak. Semua meyakini hal itu. Tak heran jika sejumlah partai sekarang ramai-ramai mengingatkan bahaya politik identitas. Walaupun bisa jadi hal tersebut dilakukan tak sepenuh hati. Partai politik melakukannya hanya untuk menarik simpati rakyat. 

Bukankah sejumlah partai terlihat kontras apa yang diomongkan dengan apa yang dilakukan? Ungkapan menentang politik identitas tak lebih sebagai lipstik belaka. Saya sendiri tak meyakini bahwa mereka (para politisi) akan meninggalkan politik identitas tersebut. Politik tetaplah politik. Politik adalah merebut kekuasaan bagaimanapun caranya. Dalam politik menghalalkan segala cara adalah biasa.

Pilpres 2024 diprediksi oleh banyak pihak bakal lebih panas dari sebelumnya. Direktur Eksekutif Indo Barometer M. Qodari telah mengingatkan bahwa akan ada potensi poltik identitas dan polarisasi ekstrem pada Pilpres 2024. Qodari memperkirakan politik identitas akan menguat tajam  dan lebih keras dari sebelumnya. Sepatutnya  semua pihak menceganya jauh-jauh hari.  Sebab hal tersebut terkait dengan kehidupan kita dalam berbangsa dan bernegara di masa mendatang.

Sekarang bagaimana mengantisipasinya? Menurut hemat saya ada beberapa hal yang bisa dilakukan, pertama menumbuhkan kesadaran masyarakat terhadap bahaya politik identitas. Pendidikan politik mutlak dibutuhkan. Upaya memberikan penjelasan tentang bahaya politik identitas di akar rumput kudu segera dilakukan. 

Publik sepantasnya mendapat pencerahan bagaimana berpolitik secara sehat, santun, beradab dan berbudaya. Kesadaran masyarakat diharapkan meminimalisir praktik politik identitas. Ibarat orang berdagang penjual tak akan berjualan barang dagangan jika diyakininya barang tersebut tak laku.

Kedua, belajar dari pengalaman. Pilpres 2014, 2019 serta Pilkada di sejumlah daerah khususnya DKI 2017 lalu sepantas menyadarkan semua pihak bagaimana bahaya politik identitas. Bangsa Indonesia diambang perpecahan. Masyarakat terbelah. Istilah cebong, kampret, kadrun tak lain merupakan bukti konkrit perpecahan tersebut. Sebagai masyarakat beradab sepantasnya itu semua dijadikan pelajaran. Jangan sampai kita semua melakukan kesalahan yang sama. Jangan sampai masuk, terjebak pada lobang yang sama.

Ketiga, tak memberi kesempatan kepada mereka yang pernah menggunakan politik identitas guna meraih kekuasaan. Dalam hal ini partai politik sepantasnya mengambil peran yakni dengan tidak mencalonkan mereka yang pernah terlibat praktik politik identitas. Demikian dengan masyarakat luas, jangan pilih mereka yang menggunakan politik identitas yang memecahbelah  tersebut. Jika masih ada partai politik yang masih bermain mata dengan politisi yang terbukti pernah melakukan politik identitas maka sepantasnya untuk ditinggalkan. Jangan dipilih. Sebab komitmen mereka melawan politik identitas patut diragukan. Mereka telah mengelabui rakyat.

Keempat, membuka peluang seluas-luasnya bagi tokoh nasioanalis yang memiliki komitmen kebangsaan yang tinggi dari unsur manapun, tak harus dari partai. Komitmen kebangsaan dapat dilihat dari rekam jejak yang bersangkutan sebelumnya. Pastikan bahwa calon pemimpin ke depan tak pernah bersentuhan atau memiliki hubungan dengan politik identitas. Partai politik sepatutnya mampu menilai, memilih para pemimpin masa depan disamping memiliki integritas dan kapasitas juga mempunyai komitmen terhadap keutuhan NKRI. Tak mengingkari Pancasila. Saya merasa prihatin saat di media sosial banyak ajakan, menawarkan sistem khilafah sebagai solusi menghadapi berbagai kesulitan bangsa. Ini perlu diwaspadai kita semua.

Kelima, memperkuat kesatuan dan persatuan dengan mengembangkan sikap toleransi dalam berbagai perbedaan yang ada. Toleransi itu sikap saling menghormati, saling menghargai, dan saling membantu. Budaya gotong royong yang mulai memumadar sepantasnya dikokohkan Kembali.

Walhasil diantara yang menjadi ancaman NKRI sekarang adalah politik identitas. Politik identitas terbukti memecahbelah persatuan. Mari belajar dari pengalaman. Segala hal yang memecahbelah kudu dilawan dan dihentikan termasuk politik identitas. Wa Allahu a'lam bishawab

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun