Mohon tunggu...
Amirudin Mahmud
Amirudin Mahmud Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan pemerhati sosial-politik

Penulis Buku "Guru Tak Boleh Sejahtera" Bekerja di SDN Unggulan Srengseng I Indramayu Blog. http://amirudinmahmud.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ranking Rapor, Perlukah?

19 Juni 2021   09:27 Diperbarui: 23 Juni 2021   18:30 5101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Selain itu, pemberian ranking juga bisa membuat sebagian anak menjadi merasa tertekan atau merasa stress, karena ia merasa kalah bersaing dengan teman-temannya. Dengan adanya perasaan stress ini, bukan tidak mungkin justru membuatnya semakin tidak bersemangat untuk belajar dan membuatnya semakin mendapatkan nilai ranking yang rendah, demikian seterusnya sehingga konsep dirinya menjadi semakin buruk.

Walaupun demikian, pemberian masih ada manfaatnya, misalnya bagi siswa dengan gaya belajar tertentu (menyukai tantangan), maka dengan adanya ranking bisa memacu semangat belajarnya. Selain itu, dengan adanya ranking, guru lebih mudah mengelompokkan siswa yang pintar dan kurang pintar sehingga kelas menjadi lebih homogen. Serta memudahkan guru untuk menyesuaikan metode pengajarannya berdasrakan daya tangkap kelompok siswa sesuai ranking di kelas.

Terlepas dari pro kontra diatas, saya lebih setuju untuk meniadakan perankingan peserta didik dalam raport. Pertama, meninmbang mudharat yang ditimbulkan lebih banyak dari manfaatnya. Dan lebih berbahaya bagi perkembangan belajar peserta didik. Kedua, perankingan menimbulkan kasta pada peserta didik. Anak pintar, anak bodoh, dan anak sedang (pinter tidak bodoh juga tidak). Padahal paradigma Pendidikan era sekarang menegaskan semua anak adalah cerdas, pintar. Taka da anak bodoh. Tuhan tak menciptakan produk gagal. Mereka cerdas dan pinter sesuai bakat dan minat mereka masing-masing.

Ketiga, sebagai manusia biasa rasanya sulit bagi guru untuk menilai secara kuantitatif secara adil, obyektif. Pasti ada unsur subyektifitas. Faktor kedekatan. Faktor personal, dan lainya.

Walhasil, menjadi sangat bijak bagi guru ketika tidak mencantumkan rangking dalam raport. Bagaimana jika wali siswa menanyakannya? Katakan saja, bahwa anak bapak/ibu pinter melukis, pandai bermain bola, pandai bercerita. Begitu seterusnya. Mereka akan lebih bangga ketimbang melihat perolehan ranking anak mereka. Wa Allahu Alam 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun