Tidak lama lagi, para siswa akan menerima raport. Buku raport adalah laporan perkembangan pendidikan peserta didik yang dibuat oleh pihak sekolah kepada wali siswa. Dari raport orang tua dapat memahami progres anak dalam penguasaan target kurikulum yang telah ditetapkan. Diketahui juga perkembangan sosial, spiritual dan ketrampilan anak. Maka raport menjadi penting dalam dunia Pendidikan. Sekolah berkewajiban membagi buku raport dua kali dalam setahun. Persemester.
Pembagian raport dinanti-nanti bukan saja oleh peserta didik. Orang tua mereka pun ikut merasakan kecemasan. Mereka berharap dan cemas. Â Apakah anak mereka nilainya lebih bagus? Apa mereka naik kelas? Â Ranking berapa mereka di kelas? Apa anak memiliki ketrampilan baru? Atau tak ada perkembangan apa-apa? Sederet pertanyaan tersebut bergelantung dalam alam pikiran para orang tua.
Dulu, dalam pembagian raport guru biasa menggunakan ranking. Mereka memanggil peserta didik (membagi raport) berawal dari siswa rangking satu. Terus, sampai ke ranking terakhir. Situasi seperti ini tentu menghadirkan ketegangan dan kecemasan lebih. Apa ranking peserta didik masih ada sekarang? Saya kira Sebagian besar sekolah tidak melakukan perankingan lagi. Dalam raport pun tak ada ruang untuk penulisan ranking. Hanya menjadi masalah ketika sebagian wali peserta didik memintanya. Mereka masih meyakini bahwa ranking bisa digunakan untuk mengetahui sejauh mana hasil belajar anaknya. Tentu dengan membandingkan dengan peserta didik yang lainnya.
Rangkin sebenarnya sudah tidak diperlukan. Ranking zaman dulu. Namun ranking kerapkali ditanyakan oleh orangtua kepada guru walikelas saat pembagian raport. Kebijakan sekolah  tidak lagi mencantumkan ranking di raport tidak jarang memancing pro dan kontra. Sebenarnya perlukah ranking itu?. Menjawab pertanyaan tersebut  perlu dipahami terlebih dahulu hakikat tujuan pebelajaran yang sesungguhnya, karena tujuan pemberian ranking seharusnya sejalan, susuai dengan tujuan pebelajaran yang akan dicapai siswa.
Tujuan pembelajaran merupakan arah yang ingin dituju dari rangkaian aktivitas yang dilakukan dalam proses pembelajaran. Hal ini biasanya dirumuskan dalam bentuk perilaku kompetensi spesifik, aktual, dan terukur sesuai yang diharapkan terjadi, dimiliki, atau dikuasai siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran tertentu.
Menurut Benjamin S Bloom, pembelajaran itu memiliki tiga rana. Yakin kognitif, afektif dan psikomotorik. Perkembangan hasil pembelajaran ketiga ranah itu dilaporkan oleh guru secara kuantitatif. Sampai di sini, perankingan masih dalam koridor yang tepat. Hanya muncul persoalan, apa angka-angka kuantitatif itu menggambarkan keadaan, kemampuan, dan perkambangan peserta didik yang seseungguhnya?
Ranking, sebagai salah satu bentuk data kuantitatif yang termaktub dalam raport menunjukkan posisi atau urutan prestasi seorang peserta didik dilihat dari prestasi seluruh siswa dalam kelas atau sekolahnya. Semakin tinggi nilai ranking yang diperoleh, idealnya  mencerminkan semakin tinggi pula tingkat pencapaian tujuan belajarnya. Atau sebaliknya, semakin rendah nilai ranking berarti semakin rendah pula tingkat pencapaian tujuan belajarnya.
Namun pada kenyataannya, nilai ranking yang ada, tidak selamanya bisa menunjukkan secara akurat seberapa jauh tingkat pencapaian tujuan belajar siswa-siswi. Hal itu bisa terjadi misalnya karena adanya kecurangan yang dilakukan siswa pada saat pengambilan nilai dilakukan ( misal : siswa menyontek), ketidak validan alat tes (misal : soal-soal terlalu mudah atau tidak bisa mengukur tingkat penguasaan materi) atau adanya faktor subjektivitas guru terhadap penilaian yang diberikan kepada masing-masing siswa (misal: "murah" dalam memberi nilai kepada siswa yang satu, tapi 'mahal' memberi nilai pada siswa yang lain). Bila hal ini yang terjadi maka pemberian ranking tidak akan bermanfaat dalam membuat pemetaan tentang prestasi akademik siswa atau pemetaan tentang sejauhmana keberhasilan mencapai tujuan belajar.
Kemudian penekanan pada prestasi akademik semata pada saat penentuan ranking yang selama ini dilakukan, juga seringkali dianggap sebagai segi negatif dari adanya pemberian ranking. Karena hal ini dianggap mengabaikan prestasi-prestasi non akademik yang dimiliki siswa. Anak yang memiliki ranking tinggi atau dianggap pintar, bisa saja sebenarnya memiliki banyak kelemahan dalam bidang non akademis. Atau sebaliknya, seorang anak yang memiliki ranking rendah atau dianggap tidak pintar, belum tentu seorang tidak memiliki keunggulan atau kelebihan.
Selain itu, bila kita lihat praktek atau realitas di lapangan, ternyata sangat sulit untuk membuat perbandingan secara kuantitatif antara satu siswa dengan siswa lainnya yang mencakup keseluruhan aspek potensi dan kemampuan anak yang sesungguhnya. Misalnya Anak yang memiliki kemampuan yang tinggi dalam bidang matematika akan sangat sulit dibandingkan kemampuannya dengan anak-anak yang memiliki kemampuan yang tinggi dalam hal olahraga atau seni. Padahal dalam proses pembuatan ranking, semua bidang kemampuan akademik dinilai setara satu sama lainnya, dan bisa dijumlahkan.
Segi negatif lain dari pemberian ranking adalah adanya kecenderungan untuk memberi label pada anak. Pada anak yang memperoleh nilai ranking yang baik (misalnya 5 atau 10 besar), maka secara tidak langsung akan di"cap" pintar sehingga bukan tidak mungkin akan membuat anak menjadi sombong atau "overconfidence". Sebaliknya anak yang mendapat nilai ranking rendah , bukan tidak mungkin akan menjadi anak yang rendah diri.