Mohon tunggu...
Amirudin Mahmud
Amirudin Mahmud Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan pemerhati sosial-politik

Penulis Buku "Guru Tak Boleh Sejahtera" Bekerja di SDN Unggulan Srengseng I Indramayu Blog. http://amirudinmahmud.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Selamat Bekerja, Pak Presiden

20 Oktober 2019   16:20 Diperbarui: 20 Oktober 2019   16:23 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekarang (20 Oktober 2019) merupakan hari sangat bermakna bagi perjalanan demokrasi dan sejarah bangsa Indonesia. Ir H Joko Widodo dan Dr KH Makruf Amin dilantik sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia priode 2019-2024 dalam siding terbuka Majlis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Keduanya akan memimpin Indonesia lima tahun mendatang. Berbagai tantangan dan persoalan telah menghadang. Kepemimpinan keduanya akan menentukan kemajuan bangsa dan kesejahteraan rakyat Indonesia di masa mendatang.

Pelantikan dihadiri oleh semua elemen bangsa. Ada ketua-ketua partai, kepala lembaga negara, mantan presiden dan wakil presiden, anggota MPR,  DPR dan DPD, para pemimpin ormas dan lainnya. Turut hadir sejumlah tamu negara sahabat, khususnya ASEAN. Ada 17 kepala Negara seperti PM Australia Scott Morrison dan Wakil Perdana Menteri China Liu He serta 168 perwakilan negara sahabat. Hadir pula Ketua partai Gerindra Prabowo dan Sandiaga Salahudin Uno yang tak lain kompetitor Jokowi pada pilpres lalu.

Ini priode kedua bagi presiden Jokowi setelah lima tahun sebelumnya berpasangan dengan HM Jusuf Kala. Dalam periode pertama,  secara umum Jokowi dinilai cukup berhasil. Hal itu dibuktikan dengan tingkat kepuasan masyarakat.  Menurut hasil survei Litbang Kompas per Oktober 2019 menunjukkan, tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla sebesar 58,8 persen. Tingkat kepuasan tertinggi direkam dalam survei pada April 2018, yakni 72,2 persen. Dan tingkat kepuasan terendah sempat terekam pada April 2015 yakni 53,8 persen.

Berdampingan dengan KH Makruf Amin, harapan masyarakat terhadap Jokowi sangat tinggi. Terlebih jika mengacuh pada ucapan Jokowi bahwa dirinya tak memilki beban apapun di periode terakhirnya ini. Jokowi janji akan tancap gas membangun negeri. Tak mempedulikan kepentingan politik lagi. Akan fokus bekerja memajukan Indonesia.  Ini janji. Realitanya waktu yang akan menjawab.

Ini bukan hal mudah, terlebih jika melihat dinamika politik jelang pelantikan dan penyusunan kabinet. Orkestra politik yang dimainkan Jokowi dengan merangkul semua lawan dan akan memasukannya dalam koalisi menjadi bom waktu. Menjadi beban terberat bagi dirinya dalam memimpin Indonesia lima tahun mendatang. Ini menjadi jebakan nyata yang dibuatnya sendiri.

Koalisi terlalu gemuk dinilai tak akan efektif karena rentan beda haluan.  Pengalaman sejarah menjelaskan bagaimana sulitnya pemerintahan SBY di periode kedua karena besarnya koalisi. Sekretariat bersama yang dibentuk tak mampu mengkonsolidasikan kepentingan partai-partai koalisi. Beberapa partai bermain pada dua kaki, berdiri diantara koalisi dan oposisi. Disamping itu, koalisi yang sangat besar memilki kecenderungan oligarki dimana kekuasaan dipegang oleh sekelompok kecil elit .  Kekuasaan yang besar juga cenderung korup.

Tantangan ke depan

Jokowi-Makruf menghadapi tantangan yang tak ringan. Berikut beberapa pekerjaan rumah Jokowi lima tahun mendatang. Pertama, sektor ekonomi. Dalam periode pertama Jokowi dinilai kurang berhasil membangun ekonomi Indonesia. Salah satu yang dijadikan acuan adalah mandegnya nilai pertimbuhan. Jokowi awalnya memotok pertumbuhan ekonomi di kisaran angka 7 persen.

Nyatanya selama kepemimpinannya  pertumbuhan ekonomi Indonesia berkutat pada angka 5 persen. Selain itu, soal hutang luar negeri. Bertambahnya hutang yang cukup signifikan dianggap Jokowi tak mampu mengupayakan kemandirian ekonomi nasional. Belum lagi soal investasi asing yang masih menunggu menandakan lemahnya kepercayaan mereka terhadap sehatnya iklim investasi di tanah air.

Kedua, radikalisme menjadi persoalan sangat serius. KH. Said Aqil Siradj, ketua PBNU menyebutnya sebagai darurat setelah insiden penusukan Menkopolhukam Wiranto. Radikalisme telah menyebar secara rata di seluruh wilayah Indonesia. Semua lapisan dan kalangan berpotensi terpapar radikalisme. Dari yang awam sampai terpelajar. Dari pengangguran hingga pekerja professional. Dari yang miskin hingga yang kaya raya. Dari rakyat jelata sampai aparatur sipil negara (ASN) bahkan pejabat.

Menurut survei yang dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), sebanyak 39 persen mahasiswa di 15 provinsi tertarik dengan faham radikalisme. Sedangkan Laporan Global Terrorism Index (GTI) 2018, menempatkan Indonesia pada posisi ke-42 dari 138 negara. Posisi Indonesia cukup rawan. Sebagai perbandingan dengan Irak dan Afghanistan berada di posisi satu dan dua, sedangkan Somalia posisi lima, Filipina yang dipengaruhi oleh konflik Mindanao berada di posisi 10.

Ketiga, korupsi dan KPK. Komitmen Jokowi terkait pemberantasan korupsi kembali dipertanyakan. Belakangan sebagian masyarkat mulai meragukan, terlebih setelah diundangkannya revisi UU KPK. Pemerintah dianggap mendiamkan usaha pelemahan KPK. Padahal ekspektasi dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga superbody itu sangat tinggi. Di tangan KPK para koruptor tak berdaya. OTT telah menggulung banyak kepala daerah. Haruskah KPK mati suri? Itu bergantung pada kepemimpinan Jokowi lima tahun mendatang.

Keempat, persatuan dan desintegrasi. Pilpres lalu memang telah membelah masyarakat. Tapi patutkah jika demokrasi dikorbankan. Rencana merapatnya partai Gerindra, Demokrat dan lainya ke koalisi pemerintah dengan dalil persatuan akan mengikis keseimbangan cek and balance antara pemerintah dan DPR. Ini selayaknya dipikirkan lebih jauh lebih presiden Jokowi.

Disentigrasi bangsa juga kudu diantisipasi. Persoalan Papua memerlukan penyelesaan yang utuh. Bukan sekadar memadamkan percikan bara api. Sepatutnya dicari akar masalah sesungguhnya. Pendekatan fisik berupa pembangunan besar-besaran yang dilakukan pemerintahan Jokowi pada periode sebelumnya tampaknya belum mengambil hati rakyat Papua guna lebih mencinta Indonesia. Nampaknya dibutuhkan pendekatan lain.

Kelima, sumber daya manusia. SDM Indonesia masih tertinggal jauh. Hal ini diakui oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro. Dia mengatakan, Indeks Modal Manusia atau Human Capital Index (HCI) Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara-negara lain. Tak hanya dibandingkan dengan negara maju, Indonesia bahkan tertinggal jauh dari negara-negara ASEAN, seperti Vietnam. Lima tahun ke depan, orientasi pembangunan harus lebih fokus ke peningkatan SDM.

Walhasil, PR di depan mata. Jokowi-Makruf segera menyelesaikannya. Rakyat berharap keduanya bekerja secara maksimal mengantarkan Indonesia lebih maju. Lebih sejahtera dan jaya. Selamat bekerja pak Presiden. Wa Allahu Alam Bisshawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun