Belum lama, publik dikejutkan dengan pernyataan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto tentang pridiksi Indonesia akan bubar di tahun 2030. Pro dan kontra pun bermuculan. Wajar itu terjadi. Sebab statemen Indonesia bubar disampaikan oleh Prabowo Subianto, seorang yang sedang digadang-gadang sebagai calon presiden oleh sejumlah partai politik termasuk Gerindra dan PKS pada Pilpres 2019 mendatang. Terlebih lagi, hal itu terkait dengan  eksistensi bangsa dan negara, Indonesia di waktu yang akan datang.
Sejatinya sebuah negara bubar itu bukan hal mustahil, bisa saja terjadi. Ada beberapa negara yang sudah gulung tikar, dinyatakan bubar. Uni Soviet misalnya. Sebagai negara adidaya, Â siapa tak kenal dengan negara berideologi komunis itu? Uni Soviet adalah negara besar yang menjadi pesaing utama Amerika Serikat. Tahun 1991 Uni Soviet mengakhiri kejayaanya. Negara tersebut terpecah belah menjadi beberapa negara kecil.
Apa yang dialami Uni Soviet sangat mungkin saja terjadi pada bangsa atau negara lain termasuk Indonesia. Tentu hal tersebut tidak terjadi secara tiba-tiba. Ada banyak penyebab yang akan mengiringi. Sebab satu dengan yang lain saling terkait dan menguatkan. Menurut hemat saya ada beberapa faktor yang memungkinkan Indonesia bisa bubar (semoga tidak terjadi). Pertama, faktor ekonomi. Faktor ekonomi diantaranya adalah ketimpangan sosial.Â
Ketimpangan sosial merupakan kondisi dimana terdapat ketidakseimbangan antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya yang memiliki status yang sama.Â
Ketidakseimbangan ini bisa dilihat dari peluang, pendapatan, dan penghargaan yang berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Perbedaan sangat mencolok antara satu dan lainnya. Jurang pemisah  antara si kaya dan si miskin semakin jauh. Kecemburuan sosial dapat memicuh konflik sosial di tengah masayarakat. Dan itu berbahaya, menjadi ancaman serius bagi negara.
Kemudian tingginya angka kemiskinan. Kemiskinan diibaratkan seperti bahan bakar yang bisa menyulut kerusuhan masal, anarkisme, pengrusakan, dan penjarahan yang mengantarkan negara menjadi chaos. Karenanya Pemerintah berkewajiban menekan angka kemiskinan, atau paling tidak menahan agar angkanya tak meningkat terus menurs.
 Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin di Indonesia  pada September 2017 mencapai 26,58 juta orang. Angka ini turun 1,19 juta orang dari sebelumnya pada Maret 2017 sebesar 27,77 juta. Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, secara persentase, penduduk miskin pada September 2017 sebesar 10,12 persen dari total penduduk Indonesia. Jumlah itu mengalami penurunan sebesar 0,52 persen dibanding Maret 2017.
Hal lain terkait faktor ekonomi adalah sempitnya lapangan pekerjaan yang menyebabkan tingginya angka pengangguran. Terkait lapangan pekerjaan ada lima hal yang kudu mendapat perhatian yaitu perkembangan jumlah penduduk, distribusi penduduk, menyiapkan SDM atau tenaga kerja terlatih,  struktur umur yang favorable, serta  investasi yang bisa membuka lapangan pekerjaan baru.
Selanjutnya, tingginya harga bahan pokok disebabkan kelangkaan atau lainnya juga menjadi faktor ekonomi yang menyebabkan runtuhnya sebuah negara. Ketersedian bahan pokok merupakan pilar penting dalam mewujudkan stabilitas dan keamanan nasional. Sebab hal tersebut berkaitan dengan kebutuhan atau hajat hidup orang banyak.
Kedua, disintegrasi atau perpecahan. Sebagai bangsa mejemuk yang terdiri dari berbagai suku, bangsa juga etnis, Indonesia memiliki potensi mudah terpecah belah. Sosio geografis yang terdiri dari ribuan pulau pun menguatkan kemungkinan hal tersebut. Disintegrasi atau perpecahan bangsa dapat menjadi ledakan yang bisa seketika merobohkan negara. Perpecahan disebabkan banyak sebab. Ada soal ideologi, yakni saat sebagian elemen masyarakat yang ingin mengganti Pancasila misalnya. Bisa juga karena faktor politik seperti kerusuhan pasca pileg atau pilpres yang menggiring kepada kerusuhan massal bahkan perang saudara.
Saya melihat ancaman disintegrasi bangsa yang paling nyata saat ini adalah radikalisme. Dalam berbagai literatur disebutkan bahwa radikalisme adalah suatu paham yang menginginkan sebuah perubahan atau pembaruan dengan cara drastis hingga ke titik paling akar. Bahkan, untuk mencapainya melibatkan banyak cara hingga yang paling ekstrem menggunakan kekerasan baik simbolik maupun fisik.
Radikalisme yang paling rentan mengundang resiko perpecahan adalah radikalisme dalam agama. Terlebih lagi jika tercampur dengan kepentingan politik sesaat. Politik identitas (dalam hal ini agama) berpotensi besar memecah belah. Banyak contoh terkait hal itu. Berbagai konflik (baca:perang saudara) di Timur Tengah seperti Iraq, Syiriah dan lainnya disebabkan oleh politik identitas berbaju  radikalisme
Ketiga, faktor asing atau eksternal. Intervensi dari luar juga memungkin menjadi salah satu sebab bubarnya sebuah negara. Kepentingan asing kerap mencengkram. Masuknya intervensi asing biasanya bermotifkan kepentingan ekonomi atau politik.
Mengantisipasinya
Sebagai bangsa besar, sepantasnya kita wajib optimis. Menyambut masa depan dengan usaha dan kerja keras dari semua elemen bangsa. Apa yang disampaikan Pak Prabowo Subianto dirasa kurang tepat. Kewaspadaan akan ancaman memang keharusan. Â Tapi tak sepatutnya bersikap pesimis. Terlebih jika hanya berdasarkan ramalan fiktif dari luar. Masa depan yang lebih baik harus diperjuangkan. Tentu tidak dengan berpangku tangan. Â Pemerintah dan rakyat selayaknya bersatupadu dalam membangun, mengisi kemerdekaan.
Menguatkan komitmen kebangsaan adalah menjadi pilihan dan kebutuhan dengan memperkokoh empat pilar kebangsaan yakni Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, kebhinekaan, dan NKRI. Keempat hal tersebut adalah harga mati. Tak boleh ditawar-tawar. Pancasila sebagai dasar negara selayaknya dijadikan pedoman dalam hidup berbangsa dan bernegara. UUD 1945 adalah hukum tertinggi yang wajib dipatuhi. Kebhinekaan adalah keniscayaan yang sebaiknya dijaga dan dirawat. Kebhinekaan merupakan modal besar dan potensi kuat guna kemajuan bangsa. Sedangkan NKRI adalah komitmen yang kudu dipertahankan hingga tetes dara terakhir.
Pemerintah berkewajiban menjaga stabilitas, keamanan negara. Mendorong pertumbuhan ekonomi juga tak boleh diabaikan, diremehkan. Pembangunan sektor ekonomi diprioritaskan. Sehingga daya beli masyarakat meningkat, lapangan kerja tercipta, tenaga kerja terampil, angka kemiskinan menurun, kesenjangan sosial ditekan.
Masyarakat juga diminta bersatu. Jangan mudah diadudomba. Mengutamakan  saling menghormati daripada saling menyalahkan, terlebih saling menyesatkan. Mengedepankan kepentingan bangsa dan negara dibanding dengan kepentingan politik sesaat. Jangan memberi ruang gerak pada radikalisme dalam bentuk apapun. Cukuplah menjadi peajaran, radikalisme  telah memporak-porandakan beberapa negara Islam di Timur Tengah.
Akhir kata, statemen Pak Prabowo Subianto pantas dijadikan peringatan akan komitmen kebangsaan. Tak boleh dijadikan alasan untuk pesimis. Saya yakin Indonesia ke depan akan jaya, menjadi negara besar dan kuat. Percayalah!
Wa Allahu Alam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H