Sebulan terakhir, masyarakat diramaikan dengan pembicaraan soal penculikan anak. Keresahan tak sebatas di media sosial seperti Facebook atau lainnya.  Ketakutan kian menjadi nyata bagi anak-anak juga para orang tua. Dalam obrolan santai, seorang teman mengatakan ada anak diculik di tetangga desanya. Dibawa kabur. Ditemukan dalam keadaan tak utuh. Konon, ada organ tubuhnya yang diambil oleh sang penculik. Ngeri mendengarnya. Teman yang lain menimpali, katanya pelaku penculikan menggunakan berbagai modus. Ada yang berpura-pura menjadi orang gila. Ada yang berprilaku seperti  pengemis. Wah, mengkhawatirkan.
Ribut-ribut soal penculikan memang bukan hal baru. Sejak kecil saya sudah mendengarnya. Seingat saya, saat isu menjadi ramai anak-anak tak diperkenankan keluar jauh dari rumah oleh orang tua mereka. Tak boleh meninggalkan rumah tanpa didampingi oleh orang dewasa. Berhari-hari anak di dalam rumah. Mereka keluar saat kebutuhan yang tak dapat ditinggalkan seperti sekolah, mengaji. Waktu bermain pun menjadi berkurang. Seiring dengan berjalanya waktu, persoalan penculikan  berualang-ulang muncul tenggelam.
Apa pemberitaan tentang penculikan benar? Atau hoax belaka? Kalau zaman saya kecil, isu penculikan tak pernah terbukti di lingkungan keluarga. Awalnya, hal tersebut disampaikan ke anak dengan tujuan agar anak tak jauh dari rumah dalam bermain. Sehingga orang tua mudah dalam mengawasi dan mengontrol mereka. Demikian dengan keadaan sekarang, Â tak semua pemberitaan soal penculikan anak adalah fakta. Banyak juga yang hanya hoax belaka. Pemberitaan sepertinya terlalu dibesar-besarkan.
Kaitan dengan ini, Kapolres Subang AKBP Yudhi Sulistianto Wahid menegaskan, bahwa semua informasi yang menyebar di media sosial harus dicek atau diverifikasi dulu kebenarannya janganlah asal percaya dan langsung menyebarkannya. Walaupun berita yang menyebar di media sosial itu ternyata hoax, untuk membuat masyarakat tidak merasa was-was lagi, Â Pihak Kepolisian tetap menurunkan personil untuk melakukan monitor ke sejumlah daerah untuk melakukan penelusuran informasi dari masyarakat terkait aksi penculikan yang saat ini meresahkan. (http://www.mediajabar.com/)
Terlepas benar tidaknya pemberitaan penculikan, rasa aman bagi anak tetap wajib dihadirkan, diupayakan. Kewaspadaan tetap dibutuhkan. Jangan meremehkan persoalan. Sebaliknya, jangan membesar-besarkan masalah yang sebenarnya kecil atau tidak ada. Sebab keduanya (baik membesarkan atau meremehkan) sama-sama memilki resiko negatif bagi anak-anak kita. Meremehkan menyebabkan keteledoran. Keteledoran orang tua berakibat fatal bagi anak mereka. Karena ketidakwaspadaan  pada anak, bisa saja anak terjebak pada kejahatan seperti penculikan, penjambretan atau lainnya. Sebaliknya, membesar-besarkan masalah penculikan secara berlebihan dapat memciptakan rasa takut bagi anak. Hal itu tidak baik bagi perkembangan psikologis anak. Anak menjadi penakut, pengecut. Mereka akan lebih memilih menghindari masalah daripada menghadapinya.
Rasa aman merupakan salah satu hal penting dalam kehidupan anak. Rasa aman dapat muncul dalam diri anak anak bila orang tua terlibat secara emosional dan responsif mengenai kebutuhan-kebutuhan anak. Setelah itu, barulah anak merasa percaya dan aman. Namun terkadang rasa aman tersebut dapat hilang ketika orang tua tidak mampu mempertahankannya atau mengabaikannya.
Guna menghadirkan rasa aman pada anak, menurut hemat saya, Â berikut hal-hal yang dapat dilakukan. Pertama,memberikan perlindungan. Perlindungan dimaknai sebagai proteksi diri dari gangguan yang akan diterima anak. Gangguan bisa bersifat fisik, juga psikis. Maka, sebaiknya anak dibekali dengan pengetahuan tentang keamanan diri. Baik juga memberikan ketrampilan bela diri semisal karate, silat pada mereka. Terkait kejahatan seks, anak diingatkan pada beberapa anggota tubuh yang wajib dijaga, tak boleh disentuh oleh orang lain seperti kemaluan. Mereka juga diajari untuk tak mudah mendekat pada orang yang tak dikenal. Soal menjemput sekolah misalnya, orang tua dapat memberi kode atau PIN. Maka, tak sembarang orang tak dikenal dapat membujuknya pulang. Anak dididik agar tidak mengejek orang lain. Sebab, kebiasan mengejek orang lain selain tak baik juga mengundang ejekan dari yang lain.
Kedua,berilah pengawasan secukupnya. Jangan berlebihan. Beri juga kepercayaan pada anak. Yakinlah bahwa anak kita dapat menjaga dirinya sendiri secara baik. Pengawasan dilakukan tak melulu secara melekat. Dalam melakukan pengawasan, orang tua dapat melibatkan bantuan guru, teman sekolahnya atau pihak lain yang berhubungan dengan anak kita. Baik pula jika orang tua mengenal dan mengetahui siapa teman-teman anaknya. Dengan siapa anak bergaul memberi gambaran bagaimana keamanan anak.
Ketiga,jalin komunikasi dengan anak sepanjang mereka berada di luar rumah. Tanyakan posisinya, keadaanya. Kapan pulang? Perlu dijemput atau tidak? Sedang  mengerkakan apa? Bersama siapa? Dan sederetan  tema lain. Orang tua  sepantasnya mengetahui prihal anak sepanjang hari. Melakukan komunikasi dengan instensif menghadirkan kasih sayang antara anak dan orang tua.  Komunikasi yang baik dengan anak dapat memberikan rasa aman pada mereka. Anak akan  merasa diperhatikan, dijaga oleh orang tuanya.
Keempat,memilih lingkungan anak yang aman. Lingkungan dapat diartikan sebagai tempat dimana anak menghabiskan waktu  seperti sekolah, pergaulan sehari-hari atau lainnya. Bantulah anak  dalam memilih sekolahnya. Memilih teman bermain. Memilih kegiatan setelah sekolah dan lainnya.
Walhasil, ada tidaknya penculikan tak menggugurkan kewajiban orang tua menghadirkan rasa aman pada anak. Maka sepantasnya jika orang tua mengupayakan secara maksimal. Keamanan anak kita sangat berarti dalam perkembangan dan pertumbuhan mereka. Wa Allahu Alam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H