Sabtu malam (14/5) Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar secara resmi dibuka oleh Presiden Joko Widodo. Munaslub yang semula dijadwalkan pada tanggal 15 Mei 2016 itu diajukan sehari lebiih awal.  Munaslub partai beringin yang  dilaksanakan di Bali juga dihadiri oleh Wakil Presiden,  beberapa Menteri kabinet kerja, sejumlah pejabat di lingkungan istana serta para pemimpin partai politik.
Dalam sambutannya, Presiden Jokowi mengakui bahwa sejumlah orang dekatnya seperti Wapres Yusuf Kalla dan Menteri Polhukam Luhut Binsar Panjaitan telah melakukan langkah-langkah terkait Munaslub. Jokowi memaklumi hal itu, karena keduanya adalah kader Golkar bahkan pernah menduduki jabatan tertinggi di partai tersebut. Namun, Presiden mengaskan bahwa pemerintah tak berpihak pada siapa pun. Istana tak mendukung siapa pun. Saat ini, Jokowi hanya berharap Partai Golkar bisa kembali bersatu setelah mengalami perpecahan selama lebih dari setahun.
Munaslub Partai Golkar kali ini memang sangat menarik didiskusikan. Kenapa? Karena Munaslub tersebut merupakan anti klimaks perpecahan di tubuh partai peninggalan orde baru itu. Munaslub  menjadi solusi yang disepakati oleh kedua kubu yang beselisih, yaitu kubu Abu Rizal Bakri dan Agung Laksono. Selain itu, sebagai partai pemenang kedua dalam Pemilu 2014 lalu tentu Partai Golkar punya daya tarik tersendiri.
Di antara isu politik paling mendapat sorotan publik menjelang Munaslub adalah soal mahar politik. Yakni disyaratkannya membayar uang satu milyar bagi bakal calon ketua umum. Syarat yang disebut oleh para pengamat sebagai mahar politik itu hampir saja mencoret dua kandidati bakal calon Ketua Umum yakni  Syahrul Yasin Limpo dan Indra Bambang Utoyo.
Mahar politik merupakan praktek politik uang dan termasuk tindak pidana korupsi.  Praktek politik uang menjadi  pembicaraan publik yang sangat seksi. Seksi karena ramai dibicarakan walau sulit, tak mudah dalam pembuktian. Hampir semua partai tersentuh isu tersebut saat penyelenggarakan kongres, muktamar, atau Munas. Dan Partai Golkar, dalam Munaslub sekarang, membuat trobosan kontroversial dengan membuat syarat bakal calon Ketum berupa uang satu milyar yang disebutnya sebagai sumbangan kepada Partai.
Isu politik uang dalam pemilihan ketua umum di Partai Golkar bukanlah hal baru. Munas Golkar tahun 2004 disebut-sebut sebagai Munas yang paling bergizi. Gizi diwujudkan dalam berbagai fasilitas serba mewah bagi peserta Munas. Gizi berbentuk transportasi, akomodasi, dan tentu uang saku bagi pemiliki suara. Munas yang diselenggarakan di Bali itu dianggap sebagai Munas yang paling ramai transaksi politik uang di dalamnya.
 Dan sekarang, Bali kembali menjadi saksi pergelaran akbar politik Partai Golkar. Berdasarkan ldata yang masuk pada Dewan Komite Etik Munaslub, puluhan laporan diadukan baik berupa lobi-lobi, pertemuan dengan DPD juga lainnya yang diduga bernuansa transaksi politik uang yang dilakukan para bakal Caketum Golkar. Dan dari kedelapan bakal calon ketua itu, Setya Novanto digadang-gadang sebagai calon yang memiliki finansial yang paling kuat. Seperti dilaporkan, dia menjadi Caketum Golkar terkaya.
Jika politik uang benar terjadi, menurut hemat saya hal itu akan menjadi preseden buruk bagi partai Golkar. Pertama,akan memperburuk citra partai. Â Khalayak ramai akan mengamini kebenaran berita yang selama ini beredar di media massa. Bahwa politik uang telah terjadi di Munaslub Golkar. Partai Golkar yang selama kepemimpinan Abu Rizal Bakri tersorot tajam akan semakin dipandang negatif oleh rakyat. Partai yang pernah berkuasa selama 32 tahun di masa orde baru itu akan semakin terpuruk citranya. Dan pesaing Golkar akan memanfaatkanya isu itu menjadi kampaye hitam terhadap partai berwarna kuning tersebut.
Kedua,gagal di pilkada 2017. Isu politik uang pasca Munaslub pasti berlanjut.  Dan selama itu Partai Golkar akan terkoreksi dan tersorot. Pembicaran para analis, pakar politik, dan para politisi sendiri di tengah masyarakat  akan mempersulit  Partai Golkar  dalam Pilkada. Para calon kepala daerah yang diusung Golkar dalam Pilkada mendatang akan sulit menang. Hal ini akan menjadi beban berat bagi Ketua Umum terpilih  Partai Golkar di masa akan datang.
Ketiga,perpecahan bisa kembali terjadi. Seperti diyakini, uang akan menjadi petaka bila digunakan pada sesuatu yang tidak baik. Praktek politik uang menjadi bara api yang siap membakar. Ketidakpuasan calon yang kalah dalam politik uang akan melahirkan dendam berkepanjangan.
Harapan