Mohon tunggu...
Amirudin Mahmud
Amirudin Mahmud Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan pemerhati sosial-politik

Penulis Buku "Guru Tak Boleh Sejahtera" Bekerja di SDN Unggulan Srengseng I Indramayu Blog. http://amirudinmahmud.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Tentang Hari Santri Nasional

19 Oktober 2015   09:24 Diperbarui: 19 Oktober 2015   11:30 839
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Clifford Gerts seorang antropolog asal Amerika serikat setelah melakukan penelelitian pada tahun 1960 an mengelompokkan masyarakat Jawa ke dalam tiga golongan: priyayi, santri dan abangan. Kelompok santri digunakan untuk mengacu pada orang muslim yang mengamalkan ajaran agama sesuai dengan syariat islam. Kelompok abangan merupakan golongan penduduk jawa muslim yang memprtikkan islam dalam versi yang lebih sinkretis bila dibandingkan dengan kelompok santri yang ortodoks dan cenderung mengikuti kepercayaan adat yang didalamnya mengandung unsur tradisi Hindu, Budha, dan Animisme. Sedangkan kelompok priyayi digunakan sebagai istilah orang yang memiliki tingkat sosial yang lebih tinggi atau sering disebut kaum bangsawan.

Sebenarnya penggolongan ketiga kategorisasi ini tidaklah terlalu tepat. Banyak ahli yang mementahkanya karena pengelompokkan priyayi – non priyayi adalah berdasarkan garis keturunan seseorang, sedangkan pengelompokkan santri – abangan dibuat berdasarkan sikap dan perilaku seseorang dalam mengamalkan agamanya (Islam). Dalam realita, ada priyayi yang santri dan ada pula yang abangan, bahkan ada pula yang non muslim.

Dan sekarang sesungguhnya sudah tidak relevan lagi (baca:tidak tepat) berbicara soal polarisasi priyayi, santri, abangan. Karena saya yakin, kita sudah menyadari dan memahami bahwa polarisasi itu diciptakan oleh Belanda untuk memecah belah bangsa Indonesia. Sebenarnya Haedar Nasir sendiri mengakui, dalam bahasa beliau, selama ini santri-nonsantri makin mencair dan mengarah konvergensi. Karenanya saya menyangsikan, apa  Haedar Nasir mengajak kita kembali ke jaman penjajah dengan mengkategorikan kembali masyarakat jawa ke tiga kategori itu? Saya yakin, tidak.

Oleh karena itu, menurut hemat saya, terlepas penolakan dari saudara-saudara kita, Muhammadiyah, selayaknya kita memaknai HSN lebih jauh lagi. Pemaknaan itu diantaranya menjadikan HSN sebagai pengakuan negara terhadap peran umat Islam apa pun golongan, kelompoknya. Pengakuan itu harus kita hargai dengan senantiasa meningkatkan peran dan fungsi kita dalam membangun bangsa dan negara. Peran umat Islam, siapa, apa pun golongannya akan berdampak positif pada kemajuan Indonesia.

Kemudian, HSN juga harus dimaknai sebagai hari persatuan umat Islam dalam mengisi kemerdekaan dan pembangunan. Bukan saatnya lagi kita mempermasalahkan santri atau tidak santri. Kita harus bersama-sama berperan aktif memajukan negara dan bangsa. Santri dalam HSN hanya simbol yang ingin diambil dari tubuh umat Islam Indonesia.

Akhir kata, HSN selayaknya menyatukan kita umat Islam untuk berperan aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak sebaliknya. Karenanya,  sangat arif bila kita tidak memperdebatkannya lebih panjang lagi. Wa Allahu ‘Alam. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun