Menko Maritim dan sumber daya, Rizal Ramli kembali memainkan jurus ngepretnya. Rizal Ramli menuding Menteri ESDM Sudirman Said keblinger, keliru terkait keputusannya mempercepat proses perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia. Padahal keputusan perpanjangan kontrak seharusnya paling cepat 2 tahun sebelum berakhir di 2021. Menurut Rizal, sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2014 terkait kegiatan usaha pertambangan mineral dan batu bara, permohonan perpanjangan kontrak baru bisa diajukan 2 tahun sebelum kontrak berakhir. Kontrak Freeport berakhir pada 2021. Artinya pada tahun 2019 Freeport baru bisa mengajukan perpanjangan kontrak. Bagi Rizal Ramli tidak bisa dimengert bila ada pejabat negara yang ngotot dan ngeyel untuk membela Freeport. Pejabat itu dibayar, digaji oleh rakyat Indonesia, kenapa membela Freeport bukan negara?
Sudirman Said membantah. Ia menegaskan, belum ada perpanjangan kontrak dengan PT Freeport. Yang ada hanya perubahan dari kontrak karya (KK) menjadi izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Itu dilakukan untuk menjamin PT Freeport mendapat kepastian investasi. Dan Alasan ini yang nampaknya dibaca oleh Rizal Ramli sebagai sinyal Pemerintah memperpanjang kontrak dengan Freeport.
Presiden Jokowi pun akhirnya turun gunung. Jokowi menegaskan surat yang dikirimnya kepada Freeport, bukanlah mengenai perpanjangan Kontak kerja izin operasi tambang, melainkan daftar kewajiban yang harus dipenuhi Freeport kepada Indonesia. Menurut Presiden, ada lima poin utama yang ditegaskan pemerintah kepada Freeport. Kelima syarat tersebut adalah pertama, Freeport dituntut terlibat aktif dalam pembangunan di Tanah Papua. Kedua, Freeport wajib menggunakan lebih banyak konten lokal dalam proses produksi. Ketiga, pemerintah Indonesi mensyaratkan Freeport mendivestasi sahamnya. Keempat, kejelasan tentang besaran royalti yang harus disetor kepada Pemerintah Indonesia. Kelima, perusahaan tambang itu berkewajiban membangun smelter untuk memproses hasil tambang emas di Indonesia..
Kontrak dengan PT Freeport kali pertama ditandatangani pada tahun 1967. Kontrak berlaku selama 30 tahun. Kontrak kedua (perpanjangan) ditandangani pada 1991.Kontrak juga berlaku 30 tahun yang akan berakhir tahun 2021. Dalam kontrak kedua, konon Persiden Soeharto awalnya menolak. Namun pada tahun itu (1991) Soeharto mendapat tekanan dari dunia internasional lewat peristiwa “Insiden Santa Cruz” di Provinsi Timor-Timur. Insiden Santa Cruz dijadikan alat untuk menekan Pemerintah Indonesia dengan ancaman bahwa kasus Santa Cruz akan menyeret banyak Perwira TNI ke hadapan Pengadilan HAM Mahkamah Internasional di Den Hag, Belanda. Tekanan ini yang membuat Presiden Soeharto tak berdaya, menandatangani kontra perpanjangan denan PT Freeport.
Bagaimana dengan kondisi sekarang, jelang tahun 2019 saat jatuh tempo kontrak berakhir? Adakah indikasi tekanan-tekanan pada pemerintah? Tekanan itu mungkin saja ada. Tekanan itu dalam bahasa Muhamad Ridwan (2015) disebutnya sebagai The Invisble Hand. Istilah The Invisble Hand adalah istilah untuk tangan-tangan yang tak terlihat yang lihai mengendalikan pasar dan kegiatan ekonomi. Istilah ini muncul pertama kali dalam buku The Wealth of Nation karya Adam Smith.
Pemerintah akan kembali berhadapan dengan Amerika Serikat. Dan Amerika Serikat pasti akan menggunakan berbagai cara untuk tujuan itu. Lebih jauh Muhamad Ridwan (2015) melihat tekanan itu sudah mulai terlihat dalam bentuk benih-benih disintegrasi NKRI. Upaya memecah belah bangsa memang sudah terasa. Upaya itu dilakukan dengan menggunakan sentimen ras, suku, juga agama. Konflik berbau SARA sudah bermunculan. Perhatikan berbagai insiden di tanah air. Dari Tolikara sampai Singkil. Kasus Syiah Sampang sampai penyerangan masjid Adzikra Bogor. Juga kasus-kasus lain. Semua mengindikasikan sebuah proses panjang pecah belah bangsa. (http://www.kompasiana.com/)
Terkait memecah NKRI, Djuyoto Suntani memperidiksi tahun ini (2015) sebagai klimak dari pecahnya Indonesia. Djuyoto Suntani dalam bukunya Skenario Uliminati: 2015 Indonesia Bubar mensinyalir adanya konspirasi global yang berusaha menghancurkan bangsa Indonesia agar pecah menjadi 17 negara merdeka. Gerakan ini telah berhasil menghilangkan Uni Soviet dari peta dunia. Uni Soviet yang selama 70 tahun adalah satu negara kuat terpecah menjadi 15 negara merdeka yaitu; Azerbaijan, Kazakstan, Uzbekistan, Tajikistan, Turkmenistan, Kirgiztan, Latvia, Lithumania, Estonia, Belarusia, Ukraina, Moldova, Georgia, Armenia dan Rusia.
Butuh Dukungan Rakyat
Nah, bagaimana dengan Presiden Jokowi? Mampukah bersikap tegas pada PT Freeport? Jika beliau berani memutus kontrak dengan Freeport yang dianggap banyak kalangan merugikan negara tentu itu akan menjadi prestasi besar yang akan dicatat sejarah. Namun demikian Presiden Jokowi juga harus didukung oleh kita semua, rakyat Indonesia. Menurut hemat saya ada hal-hal yang harus diwaspadai oleh kita dan upaya menghadapinya. Pertama, munculnya kelompok-kelompok agama radikal yang seringkali menggunakan kekerasan dalam menyikapi perbedaan dengan kelompok lain. Dalam tubuh umat Islam (agama yang dianut mayoritas) isu Sunnah-Syiah digunakan sebagai alat pemecah belah. Dan terbukti, isu itu sukses memporak-porandakan negara-negara Arab di Timur Tengah dalam kecamuk perang saudara berkepanjangan seperti di Irak, Syiria, terakhir Yaman. Karenanya, kita harus memahami, mewaspadai setiap gejala atau gerakan yang mengarah ke sana. Dan yang paling penting kita harus menumbuhkan semangat persatuan dan kebersamaan di tengah perbedaan yang ada.
Kedua, kesenjangan ekonomi memicu konflik. Konflik itu dapat melahirkan kerusuahan sosial. Kerusuhan sosial yang masif bisa mengacaukan negara. Saat negara kacau, pihak luar bisa mengambil keuntungan di dalamnya. Oleh karenanya stabilitas dan pemerataan ekonomi harus terus diupayakan oleh Pemerintah. Rakyat pun harus mendukung dengan menbangun semangat bekerja.
Ketiga, mewaspadai setiap upaya mengganti ideologi negara. Pancasila bagi kita sudah final. NKRI menjadi harga mati. Gerakan seperti itu rawan dimasuki oleh kepentingan asing untuk mengobok-obok Indonesia. Karena setiap upaya yang mengajak ke arah itu harus dilawan, ditolak.
Keempat, Pilkada serentak di akhir tahuni ini juga perlu diwaspadai. Plikada yang digelar pertama kali dengan cara serentak itu dikhawatirkan akan banyak menimbulkan permasalahan dan konflik sosial.Demikian pula Pemilu dan Pilpres tahun 2019 mendatang
Ringkasnya, kontrak kerja dengan PT Freeport harus diputus bila dipandang merugikan bangsa dan negara. Pemerintah harus berani dan tegas untuk tujuan itu. Dan masyarakat diminta mewaspadai setiap usaha yang bisa dijadikan alat penekan oleh pihak asing terhadap Pemerintah untuk memperpanjang kontrak dengan PT Freeport pada tahun 2019 nanti.Wa Allahu Alam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H