Mohon tunggu...
Amir Tohari
Amir Tohari Mohon Tunggu... -

Terus berupaya menjadikan hidup lebih bermakna bagi sesama ....

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Makna Sebuah Pembauran Etnis A la Priyo HS, Pendiri PT. TPS Solo

10 Desember 2014   23:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:35 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kabar meninggalnya pendiri dan sekaligus pemilik pabrik makanan PT Tiga Pilar Sejahtera (TPS) Food Tbk Priyo Hadi Susanto, Sabtu (6/12) lalu membuat kaget sebagian masyarakat Kota Solo. Sosok low profile yang selalu aktif dalam berbagai kegiatan sosial tersebut banyak menginspirasi sejumlah kalangan di Kota Bengawan, baik dari sisi pengelolaan usaha maupun kehidupan sosial kemasyarakatan Selain selalu memberikan motivasi pada anak-anak muda, di akhir masa hayatnya beliau aktif dalam berbagai kegiatan sosial di Kota Solo.

Sosok Priyo Hadi Susanto yang akrap dipanggil Pak Priyo tak bisa begitu saja lepas dari ingatan saya. Bahkan di berbagai obrolan, baik formal maupu non formal, beberapa kali saya mencatut kalimat beliau untuk menjadi inspirasi. Misalnya, dalam hal mengelola bisnis beliau pernah ucapkan, ”percuma banyak pendapat, kalau nggak bisa nambah pendapatan”.Ya, sebuah ungkapan sederhana dengan hanya menambah ”an” dibelakang kata ”pendapat” namun memiliki makna jauh berbeda.

Hal lain yang masih sangat terkenang adalah, saat bersama Pak Priyo bertemu dengan warga Desa Lencoh, Kecamatan Selo Boyolali dalam rangka pemberian bantuan bibit tanaman pertanian pasca erupsi Gunung Merapi beberapa waktu lalu. Dihadapan puluhan warga, Pak Prio menanyakan jenis tanaman yang dibutuhkan para petani. Spontan, warga pun menyampaikan bahwa mereka membutuhkan bibit lombok, tomat, terong dan dan aneka jenis sayur-sayuran lainnya.

Saat menerima banyak informasi tentang aneka macam sayuran, Pak Priyo sempat kaget salah seorang petani bilang kalau sayuran hanya bisa sekali tanam. Maksudnya, tanaman tidak bisa dikembangkan lagi dari biji sayuran hasil panen. Sehingga setiap kali musim tanam mereka harus membeli bibit baru lagi. ”Misalnya lombok, buahnya nggak bisa kita tanam lagi. Kalaupun dipaksakan dibuat bibit dan kemudian ditanam, pasti hasilnya jelek,” ungkap seorang warga.

Mendengar ungkapan tersebut, Pak Prio segera minta contoh bungkus bibit tanaman sebagaimana disampaikan warga. Yang membuat beliau heran, hampir semua bibit tanaman tersebut merupakan produk impor dari negeri Cina, Spontan, lelaki tersebut bilang, ”Mosok bibit sayuan saja harus diimpor dari Cina. Apakah bangsa kita nggak bisa bikin bibit sayuran,” ungkapnya.

”Bongsone dewe iki kok diakali wong Cino (bangsa kita ini jadi korban kepandaian orang Cina),” mendengar ucapan tersebut, saya yang kebetulan duduk di sebelahnya pun sempat kaget. Saya pun memberanikan diri menanyakan apa yang diucapkan Pak Priyo tadi. ”Maaf Pak, seandainya yang bilang bongsone dewe iki diakali wong Cino itu saya, mungkin saya langsung kena marah dan bisa dituduh anti ....,” Spontan, lelaki yang murah senyum itu ketawa dan mengatakan kalau dirinya tak pernah merasa sebagai etnis tertentu. ”ha.ha.ha.ha.ha.... saya Indonesia Mas,” ungkap Pak Priyo sambil menepuk bahu saya.

Dari ungkapan spontan itu, sangat nampak sekali bahwa beliau sudah tidak merasa sebagai bagian dari etnis tertentu. Padahal semua orang tahu, bahwa Pak Priyo adalah warga keturunan yang ber etnis tionghoa. Bagi saya, sikap yang ditunjukan Pak Priyo ini merupakan sikap seorang warga keturunan yang telah membaur dan menjadi bagian dari bangsa ini. Dari sisi fisik, siapapun tahu kalau beliau adalah seorang yang berasal dari etnis tionghoa. Namun selama kenal dan bersama-sama dalam aktivitas sosial, beliau selalu memandang semua manusia dalam posisi yang sama.

Sambil santai untuk makan siang, saya pun masih penasaran terhadap apa yang diungkapkan Pak Prio dan soal bibit sayuran yang hanya bisa sekali tanam. Dalam obrolan tersebut, dia sangat berharap agar bangsa ini bisa memproduksi bibit tanaman sendiri dan tidak harus impor dari Cina atau negara lain. Menurutnya, negara Indonesia memiliki banyak potensi, baik dari sisi sumber daya manusia maupun kondisi alam yang sangat subur.

”Cuma yang membuat saya heran, di negeri ini kan banyak pakar-pakar pertanian. Kenapa bibit tanaman saja harus impor. Apakah kita nggak bisa bikin sendiri,” ungkapnya bertanya dalam sebuah obrolan tersebut. Dia pun sempat berharap, jika pemerintah mau mensejahterakan rakyatnya maka persoalan-persoalan kecil seperti yang dia temukan di masyarakat petani ini harus jadi perhatian.

Kini Engkau telah tiada untuk menghadap Sang Pencipta. Taman Memorial Delingan Karanganyar (Jumat 12 Desember 2014) menjadi tempat peristirahatan terakhir. Selamat jalan Pak Priyo. Kami hanya bisa berdo’a smoga Tuhan memberikan tempat terbaik di sisi Nya dan semoga semangat dan pengorbananmu tetap hidup dalam sanubari kita. Sekali lagi, selamat jalan Pak Priyo ....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun