Mohon tunggu...
Amirsyah Oke
Amirsyah Oke Mohon Tunggu... Administrasi - Hobi Nulis

Pemerhati Keuangan negara. Artikel saya adalah pemikiran & pendapat pribadi.

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Ketahui Kebijakan Makroprudensial Agar Tak Dibodohi Hoaks dan "Pernyataan Genderuwo"

10 Juni 2019   12:03 Diperbarui: 10 Juni 2019   12:12 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernyataan Genderuwo.

"Rupiah melemah terhadap dollar, Indonesia menuju krisis ekonomi". "Utang pemerintah sangat besar, negara akan bangkrut". "Defisit transaksi berjalan terus meningkat, ekonomi Indonesia dalam keadaan berbahaya". "Insfrastruktur dikuasai China, Indonesia tergadaikan di tangan asing". "Utang BUMN terus membesar, krisis tahun 1998 akan terulang". "Ekonomi dikelola secara ugal-ugalan, Indonesia akan punah di tahun anu".

Kita pasti sangat sering mendengar ataupun membaca pernyataan-pernyataan dalam paragraph di atas, juga pernyataan lain sejenisnya. Pernyataan untuk menakut-nakuti rakyat yang dihembuskan dengan maksud-maksud tertentu. Pernyataan-pernyataan yang seringkali tanpa data ataupun memilah-milah data yang mendukung keinginannya saja (cherry picking). Kemudian menyimpulkan sesukanya tanpa metodologi yang benar, tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Kita sebut saja pernyataan-pernyataan tersebut sebagai "pernyataan genderuwo". Pernyataan yang sengaja dibesar-besarkan begitu lebay, agar yang mendengarkannya merasa takut bahkan panik. Padahal jika mau dipikirkan dengan matang, mempertimbangkan variabel yang saling terkait dan mengikuti standard yang berlaku universal, maka dapat diketahui bahwa Indonesia masih tahap aman, jauh dari krisis bahkan terus berkembang, tumbuh dan maju meskipun selangkah demi selangkah.

Ironisnya, orang-orang yang seharusnya paham terkait ekonomi berdasarkan latar belakang pendidikan dan profesinya justru ikut-ikutan ketakutan dengan pernyataan-pernyataan genderuwo. Percaya informasi hoaks terkait ekonomi bahkan menyebarkannya secara luas kepada masyarakat yang tentu saja banyak yang awam.

Saya pernah sangat terkejut saat membaca status medsos seorang lulusan S2 (Master) jurusan Ilmu Ekonomi dari Universitas Indonesia yang bekerja sebagai ASN di sektor Ekonomi-Keuangan. Yang bersangkutan menyatakan bahwa kunjungan Raja Arab Saudi ke Indonesia adalah dalam rangka misi menyelamatkan ekonomi Indonesia yang terjerat utang dari China. Jika yang berpendidikan S2 Ilmu Ekonomi UI saja pola pikirnya demikian, bagaimana dengan banyak masyarakat awam yang hanya tahu sedikit atau bahkan tidak paham ilmu ekonomi.

Untuk itulah sangat-sangat penting agar masyarakat mendapatkan informasi terkait kondisi ekonomi Indonesia terkini dari sumber yang kredibel dan dapat dipercaya. Yaitu yang berdasarkan ilmu pengetahuan, standard dan data-data yang bisa dipertanggungjawabkan, bisa diuji. Jangan sampai pikiran masyarakat diracuni oleh pernyataan-pernyataan genderuwo sehingga mengambil keputusan yang salah sehingga merugikan bahkan membahayakan diri sendiri, masyarakat serta negara dan bangsa.

Kebijakan Makroprudensial untuk Menghindari Krisis.

Disinilah sangat krusial agar masyarakat mengetahui dan memahami bahwa Indonesia telah menerapkan kebijakan Makroprudensial untuk menghindari dan mencegah terjadinya krisis ekonomi. Perlu diketahui bahwa saat terjadinya krisis ekonomi tahun 1998 Indonesia belum menerapkan kebijakan makroprudensial. Karena itulah, krisis ekonomi tahun 1998 tidak bisa dideteksi, diantisipasi dan dihindari sehingga sangat merugikan rakyat dan pemerintah Indonesia.

Krisis 1998 memberi tamparan keras agar pengelolaan ekonomi Indoensai segera menerapkan kebijakan makroprudensial. Dan sejak awal tahun 2000, barulah dimulai era penerapan aspek makroprudensial yaitu dengan menyusun kerangka stabilitas sistem keuangan Indonesia dan pembentukan Biro Stabilitas Sistem Keuangan (BSSK) di Bank Indonesia.

Bank Indonesia (BI) menjadi sangat serius dan bekerja keras dalam upaya menjaga stabilitas sistem keuangan Indonesia melalui serangkaian kebijakan makroprudensial. Peran
Bank Indonesia di bidang makroprudensial tertuang dalam Undang-Undang (UU) Republik Indonesia No. 21 Tahun 2011 tanggal 22 November 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK). BI tidak lagi mengatur dan mengawasi bank (mikroprudensial) karena merupakan tugas dan wewenang OJK.

Sejak tahun 2003, setiap enam bulan sekali (semesteran) BI aktif mengomunikasikan hasil pemantauan (surveillance) atas stabilitas sistem keuangan dalam laporan Kajian Stabilitas Keuangan (KSK). BI bersama-sama dengan Kementerian Keuangan, OJK, dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) saling bersinergi agar kondisi perekonomian Indonesia tetap stabil sehingga perekonomian tetap tumbuh.

Jika terjadi situasi yang membahayakan stabilitas ekonomi dan dapat menyebabkan krisis maka akan segera diketahui sehingga bisa diambil langkah-langkah cepat dan tepat yang diperlukan untuk mengantisipasinya. Kebijakan makroprudensial telah terbukti efektif membuat ekonomi Indonesia terhindar dari krisis ekonomi yang menimpa berbagai negara pada tahun 2008. Keberhasilan ini membuat BI dianugrahi penghargaan sebagai "The Best Systemic and Prudential Regulator" pada acara The Asian Banker Annual Leadership Achievement Awards pada 25 April 2012 yang diselenggarakan di Bangkok Thailand.

Jadi, sangat tidak beralasan jika ada pernyataan genderuwo yang selalu menakut-nakuti bahwa ekonomi Indonesia rentan apalagi akan mengalamai krisis. Faktanya, BI bersama-sama Kementerian Keuangan, OJK dan LPS telah terbukti berhasil menghindarkan Indonesia dari krisis ekonomi dunia yang terjadi pada tahun 2008. Perekonomian Indonesia pun tetap stabil dan mampu tumbuh relatif konsisten setiap tahunnya. Hasil dan manfaatnya pun sudah mulai dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia seperti harga-harga yang terkendali, inflasi rendah, dan nilai rupiah yang bisa menguat kembali sesuai dengan keseimbangan baru yang terjadi.     

Kerjasama dan sinergi antara BI dengan Kementerian Keuangan, OJK dan LPS dalam menjaga stabilitas sistem keuangan Indonesia, makin diperkuat dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang diamanatkan dalam UU No. 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK). KSSK berperan dalam (i) koordinasi pemantauan dan pemeliharaan stabilitas sistem keuangan, (ii) penanganan krisis sistem keuangan, dan (iii) penanganan permasalahan bank sistemik, baik ketika sistem keuangan berada dalam kondisi
normal maupun krisis.  

Lalu apa itu Kebijakan Makroprudensial? 

Dalam buku Mengupas Kebijakan Makroprudensial terdapat banyak penjelasan detil mengenai kebijakan makroprudensial.

Penelitian BIS di negara Swiss mendefinisikan Kebijakan makroprudensial sebagai kebijakan yang bertujuan untuk membatasi risiko dan biaya dari krisis sistemik (Galati G., and Richhild M., 2011).

European Systemic Risk Board (ESRB, semacam badan yang mengawasi sistem keuangan Eropa), mendefinisikannya sebagai kebijakan yang ditujukan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan, termasuk dengan memperkuat ketahanan sistem keuangan dan mengurangi penumpukan risiko sistemik, sehingga memastikan keberkelanjutan kontribusi sektor keuangan terhadap pertumbuhan ekonomi (ESRB, 2013).

IMF juga mendefinisikannya tak jauh beda, yaitu sebagai kebijakan yang memiliki tujuan untuk memelihara stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan melalui pembatasan risiko
sistemik (IMF, 2011).

Bank Indonesia menjelaskan bahwa Stabilitas sistem keuangan yaitu suatu kondisi yang memungkinkan sistem keuangan nasional berfungsi secara efektif dan efisien, serta mampu bertahan terhadap kerentanan internal dan eksternal sehingga alokasi sumber pendanaan atau pembiayaan dapat berkontribusi pada pertumbuhan dan stabilitas perekonomian nasional. Sedangkan Sistem keuangan adalah suatu sistem yang terdiri atas lembaga keuangan, pasar keuangan, infrastruktur keuangan, serta perusahaan non keuangan dan rumah tangga yang saling berinteraksi dalam pendanaan dan/atau penyediaan pembiayaan perekonomian.

Menjaga stabilitas keuangan dilakukan dengan serangkaian kebijakan mikroprudensial dan kebijakan makroprudensial. Kebijakan mikroprudensial fokus pada tingkat kesehatan institusi keuangan (bank dan nonbank). Kebijakan makroprudensial berorientasi pada seluruh sistem keuangan. Kebijakan makroprudensial fokus pada banyak hal, baik yang mencakup institusi keuangan, maupun terhadap elemen dalam sistem keuangan lainnya, yaitu pasar keuangan, korporasi, rumah tangga, dan infrastruktur keuangan.

Kebijakan makroprudensial bertujuan akhir untuk meminimalkan terjadinya risiko sistemik. Risiko sistemik adalah risiko yang dapat mengakibatkan hilangnya kepercayaan publik dan peningkatan ketidakpastian dalam sistem keuangan yang berakibat sistem keuangan tidak dapat lagi berfungsi dengan baik sehingga mengganggu jalannya perekonomian. Risiko sistemik mungkin saja terjadi mendadak, tak terduga. Juga bisa terjadi tahap demi tahap tanpa terdeteksi sehingga terlambat untuk mengatasinya.

Terjadinya rush yang membuat bank tidak siap adalah salah satu contoh risiko sistemik yang sudah diketahui oleh masyarakat luas. Risiko sistemik sangat mengganggu sistem pembayaran, aliran kredit, dan penurunan nilai aset. Yang terburuk adalah hilangnya kepercayaan publik, baik masyarakat ataupun investor sehingga menarik semua dananya yang mengakibatkan krisis parah.

Kebijakan makroprudensial mengatur interaksi antara makroekonomi dengan mikroekonomi yang bertujuan menjaga stabilitas sistem keuangan dan mendukung kestabilan perekonomian. Kestabilan sistem keuangan merupakan syarat utama agar sistem keuangan nasional berfungsi efektif dan efisien, sehingga tidak (terlalu) terpengaruh (tidak signifikan) dengan berbagai kejadian buruk keuangan yang terjadi baik skala lokal maupun internasional. Dengan demikian kontribusi dari sumber pendanaan akan optimal mendukung pertumbuhan dan stabilitas perekonomian nasional.

Avenger yang Menjaga Stabilitas Keuangan Indonesia.

Upaya dalam kebijakan makroprudensial yang dilakukan BI dalam menjaga stabilitas sistem keuangan antara lain menerbitkan kebijakan dan peraturan untuk lembaga jasa keuangan, melakukan monitoring dan analisis risiko sistemik, mengidentifikasi dan memberikan sinyal risiko, hingga melakukan pemeriksaan terhadap lembaga jasa keuangan bila diperlukan. Bank Indonesia juga bersinergi bersama Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), serta Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk menjaga kestabilan sistem keuangan.

KSSK tersebut bisa diibaratkan sebagai Avenger di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Masing-masing memiliki tugas dan peran yang sangat penting untuk menjaga kestabilan keuangan di Indonesia. Apabila ada potensi krisis atau bahkan serangan yang dapat menyebabkan krisis keuangan yang akan menghancurkan perekonomian Indonesia layaknya perbuatan jahat Thanos, maka KKSK layaknya Avenger akan segera bertindak untuk mengatasinya.   

Jadi, rakyat Indonesia tidak perlu mengambil hati semua pernyataan genderuwo yang menakut-nakuti bahwa akan terjadi krisis, kehancuran bahkan kepunahan Indonesia. Tidak perlu kuatir yang berlebihan apalagi phobia jika ada pernyataan-pernyataan genderuwo. Kita patut bersyukur bahwa Indonesia telah memiliki KSSK layaknya Avenger yang sangat paham apa yang harus dilakukan agar tidak terjadi krisis. Lebih khusus lagi dengan langkah-langkah BI yang telah menerapkan kebijakan makroprudensial.  

Mari kita selalu tenang dan bersikap cerdas dalam menyikapi suatu isu terkait ekonomi-keuangan. Jangan langsung percaya apalagi mau dibodohi oleh pernyataan-pernyataan genderuwo yang senang jika rakyat Indonesia panik. Kita tetap waspada dalam arti mengedepankan akal sehat yang mempertimbangkan data-data valid, metodologi yang benar dan berdasarkan ilmu pengetahuan ekonomi keuangan.  

Bagi yang ingin mengetahui lebih detil dan mendalam terkait kebijakan Makroprudensial yang dilakukan oleh BI, dapat membaca buku Mengupas Kebijakan Makroprudensial dan buku Kajian Stabilitas Keuangan No.32 - Maret 2019. Selain itu juga bisa mendapatkan informasi lainnya yang terpercaya terkait Stabilitas Sistem Keuangan dari Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, OJK dan LPS, baik dengan datang secara langsung ataupun melalui situs resmi di internet.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun