Saya belajar agama dengan cara berbeda dari sebelumnya pada kelompok tertentu saat SMA dan berlanjut hingga kuliah. Kiblatnya adalah kelompok pergerakan Islam Politik di kawasan Timur Tengah sana, khususnya Mesir. Tokoh-tokoh Islam yang jadi idola kebanyakan adalah impor semua, khususnya berasal dari Timur Tengah/Mesir. Jika ada orang Indonesia yang jadi idola, tentulah yang kental dengan afiliasinya dengan politik tertentu.
Saya pun menjadi lebih keras dalam beragama. Istilahnya menjadi radikal dan intoleran. Bahkan pada suatu waktu saya pernah merasa siap berjihad untuk mengorbankan jawa dalam konfrontasi fisik, jika memang diperlukan.
Yang tidak sepaham dengan mudah dianggap bid'ah atau tidak sesuai Islam. Padahal saya tidak punya kapasitas keilmuan untuk menarik kesimpulan semaunya sendiri. Jangankan yang berbeda dalam paham agama, berbeda pilihan politik pun akan saya anggap sebagai anti Islam sehingga harus selalu diwaspadai.
Otomatis saya juga antipati dengan tokoh-tokoh Islam Nusantara utamanya dari kalangan Nahdatul Ulama. Ajaran mereka saya anggap mengada-ada dan banyak yang tidak sesuai dengan Al-Quran dan Hadist. Singkatnya, mereka banyak melakukan penyimpangan dan akan berakibat pada kemunduran, kehancuran Islam.
Salah satu tokoh yang masuk dalam daftar teratas yang tidak saya sukai adalah Gus Dur atau K.H. Abdurrahman Wahid.
Menurut saya dulu, Gus Dur adalah tokoh Islam liberal. Gus Dur terlalu membela non muslim dan membuat umat Islam menjadi terpinggirkan. Sebagai umat Islam yang mayoritas di Indonesia saya merasa direndahkan. Intinya, Gus Dur akan membahayakan Islam di Indonesia (versi saya/kelompok saya).
Kesadaran bahwa pemahaman saya yang salah, muncul tatkala merasakan menjadi minoritas. Bila saya yang minoritas merasa tidak nyaman saat karena merasakan diskriminasi, penghinaan, kesulitan karena sikap dari oknum agama mayoritas, tentu saja orang lain yang menjadi minoritas di tempat saya yang mayoritas pun merasakan hal yang sama.
Apakah agama menginginkan dunia menjadi tempat yang tidak nyaman? Tidak mungkin agama mengajarkan umatnya untuk membenci, mewaspadai dan mencurigai umat agama lain yang berbeda. Berbagai pertanyaan berkecamuk sehingga membuat saya makin banyak membaca, makin banyak berdiskusi, makin banyak belajar dari berbagai sumber dan aliran yang berbeda.
Bukan itu saja! Tindak-tanduk Gus Dur juga mampu mengubah sikap kalangan mayoritas non muslim di sekitar saya. Dari awalnya ada yang kurang simpati, bersikap waspada dan berhati-hati, lalu berubah menjadi lebih ramah, lebih perhatian dan pengertian. Dan untuk pertama kalinya saya sebagai minoritas, diingatkan untuk lebih taat beribadah oleh pemeluk agama mayoritas.
Misalnya saat adzan sholat zuhur dan ashar berkumandang. Justru non muslim sering mengingatkan saya untuk segera datang ke mesjid melaksanakan sholat. Sementara saya sendiri awalnya ingin sholat sendiri saja, tidak berniat berjamaah di masjid.