Dalam sirah atau kisah-kisah sejarah Islam yang menceritakan tentang para sahabat Nabi Muhammad SAW., terdapat salah seorang tokoh yang merupakan orang terkaya. Tokoh tersebut bernama Abdurrahman bin Auf. Beliau adalah salah satu dari delapan orang yang pertama kali masuk Islam.
Sebelum memeluk agama Islam, Abdurrahman bin Auf sudah kaya raya luar biasa. Kekayaannya berasal dari perdagangan. Selain itu juga mempunyai usaha di bidang pertanian. Jadi terbukti sejak dahulu kala, petani juga bisa jadi konglomerat! Yang saat ini sedang berprofesi petani, tetaplah bangga serta giat bekerja secara cerdas dan cermat. Yang ingin terjun berusaha di dunia pertanian, janganlah ragu-ragu.
Anti Gratisan dan Tak Mau Aji Mumpung.
Abdurrahman sangat wajar menjadi tajir melintir. Ia tidak mengandalkan penghasilan dari pekerjaan sebagai pegawai negeri. Juga bukan orang dekat pemerintahan yang mengandalkan nepotisme untuk melancarkan bisnisnya.
Saat memutuskan hijrah ke Madinah mengikuti Rasulullah SAW. Ia meninggalkan semua hartanya kecuali pakaian yang melekat di badan. Semua pengikut Nabi SAW yang hijrah (muhajirin) dipersaudarakan dengan umat Islam di Madinah (Anshar). Dengan sukarela kaum Anshar memberikan separuh hartanya pada Muhajirin, termasuk untuk Abdurrahman bin Auf.
Tetapi Abdurrahman bin Auf tegas menolak pemberian harta yang uenak tenan tersebut. Ia malah meminta ditunjukkan dimana lokasi pasar di Madinah. Dengan percaya diri, Abdurrahman memulai usaha mencari nafkah yang mengandalkan tenaga, yaitu sebagai kuli angkut barang.
Dari uang yang didapatkannya, Abdurrahman berhemat dan menggunakannya untuk modal usaha berdagang. Ia cermat melihat peluang bisnis. Kejujuran, sikap ramah, dan kegigihannya membuat usahanya cepat berkembang dan maju. Beberapa tahun kemudian, Abdurrahman sudah kembali menjadi orang yang kaya raya.
Abdurrahman bin Auf memberikan teladan agar tidak hidup aji mumpung, ataupun menjadi penghamba yang gratisan. Harta dari bekerja keras lebih memuaskan dan berkah daripada mendapatkan pemberian dari orang lain, apalagi sampai meminta-minta. Tangan di atas lebih mulia daripada tangan di bawah.
Low Profile dan Sederhana.Â
Meskipun kaya raya tak terhingga, Abdurrahman bin Auf tetap hidup sederhana. Bukan sederhana dari ukuran atau standard orang kaya raya. Seperti kala semua orang kaya naik mobil Ferari atau Lamborgini, maka sederhana versi orang kaya adalah naik mobil CRV. Tapi Abdurrahman sederhana layaknya orang-orang kebanyakan yang memang hidupnya sederhana, seperti tetap menggunakan angkutan umum.
Saking sederhananya Abdurrahman bin Auf, bila sedang berkumpul dengan para pegawainya, maka orang-orang yang tidak mengenalnya tidak akan mengira jika Abdurrahman adalah Bos dari semua orang. Â Orang-orang tidak bisa mengetahui bedanya Abdurrahman yang merupakan pimpinan perusahaan dengan karyawan atapun bawahannya. Orang-orang yang baru bertemu tidak akan tahu bahwa yang ada dihadapannya adalah orang terkaya. Yang mendapatkan julukan bertangan emas, karena kepiawaiannya berbisnis.
Beda dengan jaman sekarang, dimana banyak yang ingin dirinya terlihat lebih dari orang lainnya. Apalagi jika berada diantara karyawan, ataupun masyarakat umum. Mereka berusaha menunjukkan bahwa dirinya lah yang terdepan: bos, pemimpin, imam, ustad, ulama, anak pejabat, dan sebagainya. Saking sombongnya dengan kedudukannya, maka tak segan atau risih jika harus merendahkan orang lain, mencaci-maki, hingga memfitnah. Merasa dirinya mulia dengan merendahkan orang lain.
Abdurrahman bin Auf adalah salah satu sahabat yang dijamin Nabi sebagai penghuni surga. Tentu saja karena mendapatkan bocoran informasi dari Allah SWT. Manusia selain Nabi Muhammad SAW tentu jangan geer bisa mendapatkan keistimewaan tersebut, walaupun merasa wali, alim, sholeh dan sejenisnya, ataupun dianggap wali, alim, sholeh dan sejenisnya oleh pengikutnya.
Meskipun pasti masuk surga, Abdurrahman bin Auf tidak petantang petenteng merasa paling kaffah, merasa paling sholeh dan menganggap yang lainnya rendah, sesat kafir, ahli neraka. Justru Ia merasa rendah diri alias minder terhadap sahabat-sahabat Nabi yang hidupnya sederhana bahkan kategori miskin.
Abdurrahman bin Auf sangat takut jika hartanya akan menjadi penyebab dirinya lama dihisab di akhirat kelak karena banyaknya pertanyaan dan semua harus dipertanggungjawabkan berasala dari mana dan digunakan untuk apa saja. Sementara sahabat-sahabat lain yang hidup sederhana bisa lebih cepat selesai karena dengan mudah mempertanggungjawabkannya.
Abdurrahman bin Auf menangis tersedu-sedu, saat menyatakan: "Mush`ab bin Umair ketika dia meninggal tidak ada kafan yang menutupinya selain burdah. Apabila kain itu ditutupkan di kepala, maka kakinya menjadi terlihat. Apabila kakinya ditutup dengan kain itu, maka kepalanya menjadi terlihat. (Karena kainnya tak cukup untuk menutup semuanya). "Demikian pula dengan Hamzah. Ketika meninggal, tidak ada kafan yang menutupinya selain burdah." Aku khawatir balasan atas kebaikan-kebaikanku telah diberikan di dunia ini."Â
Abdurrahman bin Auf sangat ketakutan. Ia membayangkan, jangan-jangan kekayaannya di dunia ini adalah balasan atas semua kebaikannya di dunia ini. Jangan-jangan, nanti di akhirat tidak akan mendapatkan balasan (surga) karena tidak ada lagi kebaikannya yang tersisa untuk mendapatkan balasan di akhirat.
Sungguh Abdurrahman bin Auf memberikan teladan yang luar biasa bagi umat Islam. Semoga kita semua bisa meniru perilaku mulianya, walaupun hanya sepersekian atom dari kemulian sikap yang ditunjukkan oleh Abdurrahman bin Auf.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H