Mohon tunggu...
Amirsyah Oke
Amirsyah Oke Mohon Tunggu... Administrasi - Hobi Nulis

Pemerhati Keuangan negara. Artikel saya adalah pemikiran & pendapat pribadi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Salah Kaprah Terkait Social Justice Warrior (SJW)

6 April 2019   15:46 Diperbarui: 6 April 2019   15:53 7037
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ajakan Publikasi Pelanggaran Pemilu. Sumber: Kompasiana.com


SJW saat ini lebih banyak dikonotasikan sebagai hal yang negatif. Padahal di awal kemunculan istilah tersebut di luar negeri sana (Amerika Serikat), SJW dianggap sebagai hal yang baik atau positif. Hal ini dikarenakan banyak pihak yang merasa melakukan tindakan sebagai SJW namun secara berlebihan, tidak berdasarkan standard yang berlaku umum, membolak-balikkan fakta/logika hingga semaunya sendiri. Semua pihak pokoknya salah, kecuali dirinya atau kelompoknya sendiri, tak peduli jika bertentangan dengan logika, etika, ilmu pengetahuan.

Menurut Washington Post, istilah SJW digunakan pertama kali tahun 1991 untuk mengapresiasi Michel Chartrand yang merupakan aktivis asal Kanada yang melakukan berbagai aksi untuk menentang ketidakadilan yang terjadi di masyarakat. Di tahun 1998, surat kabar Amerika Serikat "The Register Guard" dalam beritanya "No quick fix for homeless" mendeskripsikan anggota dari Homeless Action Coalition (Koalisi Aksi untuk Tunawisma) sebagai Social Justice Warrior. (Sumber: How the Term 'Social Justice Warrior' Became an Insult)

Surat Kabar Tahun 1991 yang menggunakan istilah SJW. Sumber: news.google.com/newspapers?
Surat Kabar Tahun 1991 yang menggunakan istilah SJW. Sumber: news.google.com/newspapers?

Demikianlah pada awalnya SJW adalah istilah pujian bagi para aktivis yang berjuang bagi keadilan untuk pihak yang terpinggirkan, kurang beruntung hingga mengalami diskriminasi dan semacamnya.

Sayangnya kini SJW lebih banyak diberikan untuk mereka yang merasa aktivis yang merasa benar sendiri dan bertindak berlebihan bahkan di luar batas tanpa mempedulikan akal sehat, etika dan standar. Asal tidak suka atau tidak sependapat maka akan dihakimi dengan argumentasi yang ngasal, asbun, sok tahu dan bila perlu sampai mencaci maki.

Meme berikut ini relatif bisa menjelaskan sikap SJW yang banyak terjadi saat ini, khusus di media sosial. Jadi, saat ini SJW lebih banyak dikonotasikan pada orang atau pihak yang hobi mempermasalahkan sesuatu atau banyak hal yang seharusnya bukan masalah.

SJW mempermasalahkan sesuatu yang bukan masalah atau pelanggaran. Gambar diambil dari fee.org
SJW mempermasalahkan sesuatu yang bukan masalah atau pelanggaran. Gambar diambil dari fee.org
Mungkin salah satu contoh SJW yang relatif cocok adalah orang-orang yang terus mempermasalahkan dan meributkan utang Pemerintah Indonesia dengan alasan membela rakyat yang dirugikan dan mengalami ketidakadilan oleh Pemerintah karena dibebani utang pemerintah. Padahal secara standard ilmu ekonomi dan standard Undang-undang, utang pemerintah Indonesia masih dalam tahap yang wajar dan aman.

Utang Pemerintah Indonesia saat ini bukanlah masalah. Uniknya, para SJW ini ngotot dengan pendapatnya bahwa Utang Pemerintah berbahaya, menyebabkan negara bangkrut dan diambang krisis namun tidak menunjukkan apa indikatornya yang sesuai standard dan ilmu ekonomi yang berlaku universal. Bahkan ada yang tidak kompeten hingga orang awam yang tetap ngeyel menyebarkan informasi bahwa Utang Pemerintah saat ini sedang gawat. :)

Mempublikasikan orang atau pihak yang melakukan pelanggaran bukanlah kategori SJW. Tapi merupakan bagian dari kontrol sosial dari masyarakat. Sebelum media sosial ada atau booming seperti sekarang, melakukan publikasi pelanggaran secara umum sudah biasa dilakukan di masyarakat Indonesia.

Publikasi yang Melanggar adalah Kontrol Sosial

1. Di sekolah tertentu seringkali ada pengumuman siapa saja murid yang belum melunasi pembayaran yang telah ditentukan peraturan sekolah. Publikasi bisa dengan menempelkan kertas pengumuman bahkan diumumkan melalui pengeras suara.

2. Di masjid Istiqlal saya pernah melihat papan pengumuman yang berisi foto para pencuri yang tertangkap. Papan pengumuman bisa dibaca siapa saja, bahkan bisa difoto & divideokan siapa saja. Mencuri jelas melanggar hukum dan itu adalah tugasnya penegak hukum. Namun bukan berarti pengurus Masjid tidak boleh memajang foto si Pencuri sebagai kontrol sosial untuk mencegah terjadinya kejadian yang sama atau berulang.

3. Di media sosial pun tak luput dari kontrol sosial. Ambil contoh media sosial dari grup Anti Hoaks. Banyak sekali menampilkan capture dari status media sosial individu atau pihak tertentu yang membuat atau menyebarkan hoaks. Pelakunya bisa diidentifikasi dari tautan ataupun foto profil yang ditampilkan.

4. Di platform Kompasiana tempat kita menulis pun terdapat event menulis yang merupakan kontrol sosial. Salah satunya adalah "Video Competetion: Yuk Awasi Pemilu 2019 Melalui Media Sosial!". Pesertanya harus membuat konten video yang bertujuan membantu pengawasan penyelenggaraan Pemilu, antara lain: Kampanye hitam; Pihak yang tidak boleh terlibat dalam kampanye (Perangkat MA, BPK, ASN, Perangkat Desa, TNI, Polri, dan WNI yang tidak memiliki hak pilih---anak-anak); Pemasangan alat peraga kampanye yang tidak sesuai tempat dan merusak visual kota. Bukankah konten tersebut mempublikasikan pelanggaran yang dilakukan dalam PEMILU?

Ajakan Publikasi Pelanggaran Pemilu. Sumber: Kompasiana.com
Ajakan Publikasi Pelanggaran Pemilu. Sumber: Kompasiana.com
Apakah keempat contoh di atas bisa dikatakan Social Justice Warrior (SJW) karena mempublikasikan secara umum bahkan secara luas terkait orang atau pihak yang melakukan pelanggaran peraturan (hukum)? Tentu saja tidak!

Keempat contoh publikasi pelanggaran tersebut relatif sama dengan publikasi di media sosial terhadap pelanggaran lainnya seperti foto orang yang buang sampah sembarangan, foto orang yang bergelantungan di MRT, video orang yang merusak fasilitas umum, dan aneka pelanggaran lainnya.

Masyarakat ataupun pihak tertentu juga berhak bertindak jika melihat pelanggaran yang terjadi secara terang-terangan. Tidak harus menunggu dan mengandalkan petugas ataupun pihak berwenang untuk bertindak. Tindakan masyarakat tergantung kadar kemampuan yang dimilikinya untuk menghentikan pelanggaran ataupun membuat efek jera agar pelanggaran tidak terulang lagi baik oleh si pelaku ataupun pihak lain (calon pelaku).

Masyarakat bisa menegur langsung misalnya pada orang yang buang sampah sembarangan atau yang bergelantungan di MRT. Juga boleh saja jika ada yang memfoto ataupun memvideokan lalu menguploadnya di media sosial. Bertindak langsung pun dimaklumi, misalnya saat menangkap pelaku pencopetan atau penjabretan.

Masyarakat boleh bertindak tanpa harus menunggu petugas atau yang berwenang, sesuai situasi dan kondisi yang dirasakannya. Yang penting bagaimana mengontrol tindakan terhadap suatu pelanggaran agar jangan sampai bertentangan dengan peraturan ataupun tidak bisa diijinkan/dimaklumi oleh peraturan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun