Mohon tunggu...
Amirsyah Oke
Amirsyah Oke Mohon Tunggu... Administrasi - Hobi Nulis

Pemerhati Keuangan negara. Artikel saya adalah pemikiran & pendapat pribadi.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Di Jakarta Rp6.000, Di Raha Rp7.000

4 April 2019   11:24 Diperbarui: 4 April 2019   11:31 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya terperangah melihat harga yang terpampang di bungkus sebuah biskuit kesukaan untuk teman ngopi. Harganya tujuh ribu rupiah. Biasanya saya membeli biskuit tersebut seharga enam ribu rupiah.
"Halah, beda seribu perak doang kok terperangah? Kemahalan? Pelit amat sih?" Mungkin ada yang berfikir demikian setelah membaca paragraph di atas. :)

Memang harga Rp7.000 biskuit itu membuat saya terperangah. Tapi bukan karena merasa kemahalan, justru sebaliknya. Kok harganya bisa murah?

Lho kok, harganya jelas lebih tinggi malah dianggap murah? Anda sehat?

Itu karena saya membeli biskuit tersebut di Kota Raha yang terletak di Pulau Muna. Pulau yang merupakan bagian dari Provinsi Sulawesi Tenggara, yang jaraknya sekitar 2.200 kilometer dari Jakarta. Jakarta adalah tempat saya biasa membeli biskuit yang sama seharga Rp6.000,-

Jelas dari keterangan pada bungkusnya, biskuit tersebut diproduksi di daerah dekat Jakarta. Dijual di Jakarta Rp6.000,- dan di jual di Pulau Muna Rp7.000,-. Berarti disparitas (perbedaan) harganya antara Jakarta dan Raha adalah Rp1.000,-

Suatu hal yang wajar jika terjadi perbedaan harga antara tempat yang dekat dengan produsen/pabrik dengan tempat yang jauh.  Jadi wajar saja jika harga biskuit di Kota Raha lebih tinggi dari Jakarta. Lantas apa masalahnya?

Makin jauh suatu tempat dari produsen atau penghasil barang maka harga suatu barang akan semakin mahal. Apalagi jika untuk menuju tempat tersebut relatif sulit dijangkau, semisal transportasi minim dan insfrastruktur jalan yang rusak parah, jembatan putus, dermaga tak bisa dirapati kapal besar, tidak ada bandara dan sebagainya. Itulah sebabnya di tahun 2000 saat saya tinggal di Papua harga satu sak semen di Wamena mencapai satu juta rupiah, ayam Rp100rb per ekor dan seterusnya dimana harga-harga sangat tinggi dibandingkan di Pulau Jawa apalagi Jakarta.

Nah, untuk Kota Raha yang jaraknya sekitar 2.200 kilometer dari Jakarta, kenaikan harga Rp1.000 tersebut bisa dikatakan tidak ada apa-apanya. Untuk jarak yang sedemikian jauhnya, harus menggunakan kapal laut sekitar semingguan atau 2 kali penerbangan pesawat, kenaikan harga Rp1.000 dirasakan sangat rendah.

Disinilah peran negara atau pemerintah sangat penting dan menentukan melalui berbagai program dan kebijakannya yang memungkinkan disparitas harga tidak terlalu jauh, masih dalam tahap yang wajar, tidak menyulitjan rakyat. Pemerintah wajib menyediakan insfrastruktur perhubungan dan alat tranportasi yang memungkinkan kelancaran, kemudahan dan kecepatan perpindahan arus barang secara besar-besaran dari produsen kepada konsumen hingga ke tempat-tempat yang jauh bahkan sangat jauh.

Insfrastruktur perhubungan terdiri dari jalan, jembatan, dermaga/pelabuhan, bandara, terminal, dan sebagainya. Alat transportasi misalnya mobil, truk, pesawat terbang dan kapal. Insfrastruktur perhubungan dan alat transportasi sangat vital dalam kegiatan perekonomian, yang memungkinan distribusi barang secara massal dan masif ke berbagai tempat yang membutuhkan ataupun untuk dipasarkan/dijual.

Insfrastruktur perhubungan dan alat transportasi akan memperkuat sistem perekonomian suatu negara. Distribusi barang menjadi lebih murah karena semua hambatan yang membuat ekonomi biaya tinggi menjadi berkurang, bahkan dihilangkan.

Salah satu insfrastruktur yang sering dicibir beberapa kalangan adalah Tol Laut. Entah karena kurang paham atau sebab lainnya, banyak pihak yang meremehkan hingga mentertawakan Tol Laut. Bahkan ada yang memahami Tol Laut sebagai jalanan tol seperti biasanya yang dibangun di atas laut. Padahal Tol Laut merupakan sistem perhubungan dan transportasi laut yang memberikan kepastian kelancaran arus barang dengan biaya yang terjangkau, lebih murah dan minim atau bahkan bebas hambatan seperti birokrasi yang berbelit, persyaratan yang rumit, dan pungutan liar.

Kebetulan Pulau Muna juga merupakan bagian dari sistem Tol Laut yang memungkinkan perpindahan arus barang dengan relatif cepat dan murah. Sebagai contoh, sebelum ada Tol Laut biaya transportasi barang-barang Pulau Muna-Makassar mencapai belasan juta rupiah, namun dengan adanya tol laut hanya menelan biaya enam juta rupiah saja. Di Pelabuhan Kota Raha Pulau Muna juga sudah tersedia gudang penampungan barang untuk memudahkan dan mempercepat kegiatan bongkar muat barang-barang yang menggunakan Tol Laut

Selain Tol Laut, di Pulau Muna juga memiliki sarana perhubungan yang relatif banyak pilihan. Ada Kapal Cepat 3 jam dari/ke Kendari sebanyak 2 kali sehari. Ada Kapal Malam yang jauh lebih besar dari/ke Kendari sekali setiap hari dengan waktu tempuh 6-7 jam. Ada juga kapal penyeberangan antar pulau setiap hari yang melayani pengguna transportasi darat baik mobil hingga truk-truk besar. Bahkan sejak tahun 2017, sudah beroperasi Bandara Sugimanuru yang melayani penerbangan pergi-pulang Muna-Makassar setiap hari  

Perkembangan insfrastruktur dan sarana perhubungan di Pulau Muna semakin maju berkat sinergi dan upaya keras dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Hal ini berdampak sangat signifikan pada kemudahan perekonomian di Pulau Muna. Salah satunya adalah perbedaan harga yang tidak terlalu jauh atau jomplang dengan daerah-daerah di Pulau Jawa seperti Jakarta. Bahkan saat ini, pada umumnya bisa dikatakan tidak ada perbedaan harga antara Pulau Muna dengan Kota Kendari Ibukota Prov. Sulawesi Tenggara yang jaraknya relatif jauh.

Distribusi barang dan berbagai produk secara massal dan masif yang lancar jaya jelas menjadi faktor utama dalam menentukan harga barang di tingkat konsumen. Apalagi dengan diberantasnya mafia dan pungli yang menjadi penyebab ekonomi biaya tinggi, membuat pelaku usaha menjadi aman dan nyaman dalam melakukan aktivitas bisnisnya. Hasilnya, perekonomian berjalan optimal, efektif, efisien. Produsen senang, distributor senang, penjual senang, konsumen senang, dan semua senang! :)

Tapi tentu saja ada yang tidak senang dengan situasi yang baik seperti ini. Mereka adalah para mafia, pelaku pungli dan pemburu rente yang selama ini mendapatkan keuntungan berlipat dari ekonomi biaya tinggi. Berkat ulah mereka maka harga-harga meninggi dan sulit dikendalikan. Hal ini menyebabkan inflasi menjadi susah dikendalikan.

Mereka tentu saja sangat berharap agar kondisi masa lalu yang menguntungkan kembali terjadi. Mereka tak peduli jika rakyat banyak yang menjadi korbannya tercekik harga-harga yang tinggi. Tentu mereka tidak akan diam saja dan berusaha melakukan apa saja dengan berbagai cara, agar bisa kembali mendapatkan keuntungan yang berlipat diatas kesulitan masyarakat.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun