Kemarin malam saat baru sampai di rumah, anak bungsu saya yang membukakan pintu. Belum sempat masuk, sang anak sudah nyerocos berbagi cerita hari itu yang dianggapnya luar biasa. Yang diceritakannya adalah tentang Penjual Martabak. “Ayah, kalau mau martabak beli martabak mini aja. Abangnya gak merokok lho!” Ceritanya penuh semangat dengan cahaya mata yang berbinar-binar. Ia tampak senang sekali.
Kami sekeluarga penyuka martabak. Ada penjual martabak yang merupakan langganan kami. Harganya bisa dikatakan murah. Antara 20 ribu hingga 35 ribu rupiah tergantung isi martabaknya. Sayangnya sekarang kami tidak bisa lagi membeli martabak tersebut. Anak bungsu saya yang adalah penggila martabak pun tidak pernah lagi minta dibelikan martabak dari penjual tersebut.
Sebabnya adalah karena penjual martabak tersebut merokok. Awalnya kami tidak tahu hal ini, karena setiap kali membeli martabak tidak pernah melihatnya merokok. Hingga suatu hari anak-anak saya yang sedang bermain di dekat penjual martabak melihatnya merokok sambil membuat martabak yang dipesan pembeli.
Di bibirnya terselip rokok yang menyala sementara tangannya terus bekerja. Sesekali ia jeda mengerjakan martabak karena harus mengambil rokok dari mulutnya untuk membuang abu rokoknya. Dengan menjentikkan jari ke arah sisa pembakaran rokok, debu-debu rokok jatuh dan beterbangan tak jauh dari martabak. Setelah itu ia kembali bekerja dengan hanya mengelap tangan seadanya menggunakan kain lusuh yang bisa dikatakan tidak bersih.
Melihat pemandangan tersebut, anak-anak saya merasa jijik. Mereka tak menyangka martabak yang sering dimakannya ternyata dibuat oleh orang yang jorok. Terbayang martabak yang terkontaminasi abu rokok yang beterbangan dan juga berasal dari tangan yang memegang rokok. Sejak saat itu mereka memberitahukan untuk tidak usah lagi membeli martabak.
Kebetulan anak-anak saya telah diinformasikan sejak dini terkait bahaya rokok terkait asap dan abunya. Tidak ada yang boleh merokok di dalam rumah kami, termasuk tamu-tamu yang datang walaupun saudara dekat. Yang mau merokok, harus keluar rumah menjauh dari anak-anak. Adanya video dan edukasi bergambar terkait bahaya merokok turut memudahkan kami dalam menjauhkan anak dari rokok.
Anak-anak kami akhirnya bisa dikatakan anti rokok. Berada dimanapun bila ada yang merokok, mereka segera mengipas-ngipas di depan muka/hidung dengan maksud memperingatkan secara halus orang yang merokok bahwa ada anak-anak di dekat mereka. Bila masih bebal, maka anak-anak akan menyindir dengan bicara keras semisal “huek ada bau rokok”. Bila masih belum berhasil, maka anak-anak akan memilih pergi menjauh dari orang-orang yang cuek merokok.
Mental anti rokok pada anak-anak saya tidak bisa ditawar-tawar lagi. Saat hendak membeli makanan baik untuk diri sendiri ataupun disuruh orang tua, mereka tidak akan mau membeli dari penjual yang merokok. Memilih tukang ojek pun mencari yang tidak merokok, termasuk yang pakaian atau nafasnya tidak berbau rokok.
Mendoktrin anak-anak sejak dini untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu relatif lebih mudah. Faktor utama yang paling berperan adalah orang tua dan lingkungan terdekatnya yang paling sering berinteraksi. Bila orang tua tidak merokok atau anti rokok, maka anak-anak pun tidak akan suka dengan rokok. Demikian sebaliknya. Orang tua yang merokok, di rumah terbiasa ada yang merokok, kesehariannya berinteraksi dengan para perokok, maka anak-anak akan permisif bahkan merokok juga. Jadi tidaklah aneh jika banyak kasus anak-anak balita yang merokok dan kecanduan rokok.
Doktrin terkait hal yang lain pun sangat efektif bila dilakukan pada anak-anak sejak dini. Misalnya dibiasakan buang sampah sembarangan, tidak tertib, mau menang sendiri hingga perilaku dan sikap intoleransi. Makanya tidak aneh jika beberapa kalangan intoleran dan radikal sering membawa anak-anak berdemo, berorasi, menghujat dan memaki pihak lain yang tidak disukainya. Bisa jadi mereka sedang melakukan kaderisasi dengan mendoktrin anak-anaknya sejak dini untuk bersikap yang sama.
Jadi, jagalah sikap kita saat bersama anak-anak utamanya diusia dini. Hal ini berlaku bagi kita semua baik sebagai orang tua, guru, ataupun masyarakat. Akan menjadi apakah anak-anak kita? Apakah perokok, intoleran, anti rokok, tertib, baik, jahat dan lain sebagainya? Semua itu bergantung pada kita sendiri. Bergantung pada kita semua. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H