“Apabila engkau memiliki sebiji kurma di tanganmu maka tanamlah. Meskipun besok akan kiamat, semoga engkau mendapat pahala” [HR Imam Ahmad]
Biasanya pembahasan terkait kematian menekankan agar manusia selalu memperbanyak ibadah yang bersifat ritual seperti sholat, puasa, haji dan zakat. Mungkin ini yang menyebabkan banyak kalangan lebih terpesona pada penampakan yang terkesan sholeh dan lebih banyak berada di masjid. Orang-orang demikian dianggap siap mati kapan saja. Akhirnya dalam tahap yang ekstrim dan salah kaprah, teroris seperti pelaku bom bunuh diri yang mencatut Islam, tetap mendapatkan simpati dan dikatakan mati syahid yang ganjarannya adalah surga.
Padahal mengingat kematian justru sangat bermanfaat bila dilakukan setiap saat dan dimana saja yang insya allah bernilai ibadah. Saat sedang menyetir atau mengemudikan kendaraan, bila selalu ingat pada kematian maka tentunya akan berhati-hati dan tertib lalu lintas. Saat berjualan selalu mengingat mati, maka tidak mau berbuat curang seperti menipu dan mengurangi timbangan.
Saat bekerja di kantor tetap mengingat mati, maka akan selalu jujur dan takut korupsi. Dengan mengingat kematian, dimanapun dan aktivitas apapun yang dilakukan, tidak akan sembarangan, seenaknya, sewenang-wenang, merugikan orang lain, tidak mengambil yang bukan haknya, selalu berhati-hati, karena sangat sadar bahwa kematian pasti datang sewaktu-waktu. Akhirnya akan tercipta dunia yang tertib, aman, maju dan jujur karena manusia yang selalu mengingat kematian.
Hal ini jelas dapat dipahami dari hadist yang dituliskan diawal artikel ini. Walaupun esok hari adalah hari kiamat, dimana semua manusia bahkan semua yang bernyawa pasti mati, maka tetap saja diperintahkan untuk berbuat baik, bekerja dan melakukan hal-hal yang bermanfaat. Padahal lazimnya dalam pikiran kita atau setidaknya saya sendiri, bila besok adalah hari kiamat maka harus memperbanyak ibadah ritual atau datang ke masjid untuk berdoa sebanyak-banyaknya.
Ternyata yang diperintahkan adalah aktivitas atau kegiatan menanam tumbuhan. Ini adalah penegasan bahwa mengingat kematian yang sudah pasti datangnya bukan berarti menghentikan semua aktivitas yang memberi manfaat dan maslahat bagi banyak orang meskipun belum pasti hasilnya.
Bagi umat Islam, selain ibadah ritual juga sangat banyak ibadah non ritual yang sangat penting karena memberi manfaat dan maslahat bagi sesama manusia bahkan bagi seluruh alam dan dunia ini. Petugas medis yang tetap bekerja menolong mereka yang sakit belum tentu pahalanya lebih kecil daripada seorang ustads yang terus menerus beribadah dan tinggal di dalam masjid selama sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Petugas keamanan yang terus berjaga semalaman untuk memberikan ketenangan dan ketertiban bagi banyak orang, bisa jadi mendapatkan pahala malam Lailatul Qadaar dari aktivitasnya yang diniatkan sebagai ibadah untuk Allah SWT. Demikian juga yang lainnya.
Semua sisi kehidupan muslim bisa diniatkan sebagai ibadah. Hal ini selalu diikrarkan minimal lima kali sehari melalui doa iftitah dalam setiap sholat lima waktu. Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku adalah untuk Allah semata. Implementasi hal ini seharusnya membuat setiap muslim menjadi manusia yang bermanfaat dan membawa maslahat bagi sesama manusia dan seluruh alam. Karena Islam adalah agama yang rahmatan lil 'alamiin, membawa rahmat bagi seluruh alam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H