Mohon tunggu...
Amirsyah Oke
Amirsyah Oke Mohon Tunggu... Administrasi - Hobi Nulis

Pemerhati Keuangan negara. Artikel saya adalah pemikiran & pendapat pribadi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengajari Anak Kritis dan Berani Memberikan Solusi

14 Mei 2016   18:44 Diperbarui: 15 Mei 2016   01:38 814
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Ayah capek gak?” Anak saya yang kelas 6 SD bertanya di muka pintu. Ia bertanya demikian karena tahu saya baru saja pulang kantor berkendara motor kurang lebih 2 jam. “Nggak, ada apa?” Saya bertanya pura-pura tidak tahu meskipun melihatnya sedang memegang buku. “Ini ada PR Matematika yang susah” Jawabnya pelan.

Ia pun menunjukkan buku yang dipegangnya, ternyata Lembar Kerja Siswa (LKS) Matematika. “Nomor 36 gimana jawabnya?” Tanyanya penasaran. Rupanya soal mencari rata-rata hitung atau mean istilah kerennya. Saya pun memberi tahu caranya, yaitu menjumlahkan nilai semua data yang ada lalu hasilnya dibagi jumlah data yang ada. “Sekarang kamu coba hitung sendiri ya” Saya kira dengan demikian maka persoalan selesai

“Tadi sudah aku hitung seperti itu, tapi gak ada yang sama jawabannya dengan pilihan ganda” Anakku menunjukkan rasa penasarannya. “Masa? Coba hitung lagi pelan-pelan!” Pikir saya paling ia kurang teliti saja dalam menjumlah dan membagi. Anak saya menghitung lagi, dan saya memperhatikan. 403+487+498+659+705 = 2.752. Lalu 2.752/5 = 550,4.“Nih Ayah, di pilihan gandanya gak ada yang sama!” Tegas anakku.

“Kamu kurang teliti kali” Saya menyuruhnya mengulangi perhitungan. “Saya yakin ayah!” Tegasnya. “Oke kalau begitu, kamu tes saja memakai kalkulator” saranku. “Hasilnya sama kok” Anakku menunjukkan layar kalkulatornya terdapat angka 550,4. “Hitung lagi pelan-pelan, biar ayah lihat!” Saya pun jadi penasaran. Setiap angka yang dimasukkan kuperhatikan, begitu juga operasi penjumlahan dan pembagiannya. Hasilnya tetap sama 550,4.

Terlanjur penasaran, saya menghitungnya sendiri menggunakan kalkulator yang memberikan jawaban yang sama. Saya berpikir apa harus dibagi 7 (tujuh)? Karena dalam soal tertulis “selama seminggu” dan diasumsikan hari-hari yang lain tidak ada penonton atau 0. Setelah mengulang penjumlahan data dan membagi hasilnya dengan 7, didapatkan hasil akhir 393,14. Tetap tidak ada jawaban yang sama dengan pilihan ganda.

“Kalau begitu, berarti tidak ada jawaban yang benar di pilihan ganda soal ini. Itu wajar karena mungkin saja soalnya salah atau memang jawaban dalam pilihan ganda salah” Jelasku padanya. “Terus gimana dong” Anakku pasrah. “Kamu harus tulis jawaban yang menurut kamu benar karena sudah dicek beberapa kali bahkan juga dicek dengan kalkulator. Nanti di sekolah kamu beritahu guru bahwa tidak ada jawaban yang benar. Biar jadi soal bonus” Saranku. Akhirnya sang anak menuliskan jawabannya di samping soal tersebut. Masalah pun selesai.

Keesokan harinya, anak saya menginformasikan bahwa menurut guru jawaban yang benar dari soal tersebut adalah C (520,17). Wajahnya nampak kecewa. Saya menanyakan bagaimana caranya guru mendapatkan jawaban tersebut? Anak saya mengatakan bahwa guru tidak menjelaskan caranya. Guru hanya mengatakan jawaban yang benar dari mejanya. Tidak ada pembahasan soal di papan tulis atau semacamnya. “Kamu sudah menunjukkan pada guru jawabanmu? Tanya saya. “Sudah, tapi guru tetap bilang jawaban yang benar adalah C.” Jawab anak saya dengan wajah agak kecewa.

“Yang penting kamu sudah berusaha dengan metode yang benar dan mengecek hingga beberapa kali untuk memastikan bahwa jawabanmu benar. Walaupun jawabanmu tetap dianggap salah oleh guru, dan tidak menjelaskan mengapa jawabannya C, kamu tidak perlu kecewa. Ayah bangga bahwa kamu sudah berusaha keras. Mencoba sendiri, bertanya pada ayah, mengecek dengan kalkulator dan berani memberitahu guru bahwa jawabanmu berbeda. Hasilnya dianggap salah tidak mengecilkan usahamu dalam belajar dan insya allah berpahala” Nasehat saya pada padanya.

---

Sumber: akusangpelangi.blogspot.com
Sumber: akusangpelangi.blogspot.com
Ini adalah untuk kesekian kalinya saya terheran-heran dengan cara mengajar guru di sekolah dasar negeri (SDN) tempat anak saya bersekolah. Saya menduga guru tersebut terlalu mengandalkan kunci jawaban LKS tanpa mau repot mengecek cara atau jalannya. Komplain dari anak saya yang jawabannya berbeda pun tidak mempunyai ruang untuk dicek secara bersama-sama. Mungkin gurunya lelah dengan banyaknya beban kerja, ataukah karena penghasilannya dirasa belum cukup? Juga masih banyak lagi kemungkinan yang menyebabkan kualitas pendidikan menjadi kurang optimal.

Makanya saya dan istri berusaha dengan seksama memperhatikan perkembangan sekolah anak-anak. Kini kami menganggap bahwa sekolah formal hanyalah bentuk formalisasi pendidikan. Tidak perlu berharap banyak pada kualitas pendidikan khususnya di SDN tempat anak-anak kami bersekolah. Mumpung masih tingkat SD dan mungkin juga sampai SMP, kami sendiri yang akan berusaha sebaikn mungkin meningkatkan kualitas pendidikan anak-anak selama di rumah dengan pendekatan khas keluarga kami.

Salah satu yang saya ajarkan pada anak adalah seperti judul dalam artikel ini, yaitu bagaimana menjadi manusia yang kritis. Kritis karena pengetahuan yang cukup dan benar serta telah teruji. Bukan asal kritis karena tidak suka apalagi asal bunyi (asbun). Namun kritis saja tidak cukup. Anak juga harus diajari berani untuk memberikan solusi. Bukan sembarangan solusi, akan tetapi solusi yang berdasarkan pada pengetahuan dan pembuktian. Adapun kritik dan solusi yang diajukan oleh anak saya tidak diterima oleh gurunya, maka hal tersebut adalah pembelajaran bahwa sangat dimungkinkan ada perbedaan pendapat. Sayangnya perbedaan pendapat yang dialami anak saya dengan gurunya tidak mendapatkan contoh yang semestinya. Guru tidak menjelaskan asal-usul, cara ataupun proses dari jawabannya tersebut.

Demikianlah pengalaman saya dalam mengajarkan anak sendiri untuk bersikap kritis dan berani memberikan solusi meskipun berbeda dengan gurunya di sekolah. Semoga hal ini menjadi perspektif yang positif bagi kita semua. Salam.

Sumber: valensprana.blogspot.com
Sumber: valensprana.blogspot.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun