Mohon tunggu...
Amirsyah Oke
Amirsyah Oke Mohon Tunggu... Administrasi - Hobi Nulis

Pemerhati Keuangan negara. Artikel saya adalah pemikiran & pendapat pribadi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Terorisme: Instropeksi vs Kambing Hitam dan Konspirasi

15 Januari 2016   10:45 Diperbarui: 15 Januari 2016   10:56 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap terjadi aksi terorisme di Indonesia, maka setelahnya selalu muncul berbagai analisis sok tahu dan prasangka-prasangka senak perutnya sendiri. Hal yang sama juga terjadi pada kasus terorisme di Sarinah Thamrin kemarin. Di media sosial cukup banyak muncul tulisan-tulisan yang mengatakan bahwa kejadian ini adalah pengalihan isu dan ada sutradara yang memiliki tujuan tertentu. Isu-isu yang dimaksud adalah terkait kontrak freeport, penangkapan anggota DPR dari PDIP, Wapres yang bersaksi di sidang Jero Wacik, ini adalah perbuatan amerika hingga bermaksud menjelekkan agama dan umat Islam.

Sungguh menyedihkan cara berpikir beberapa anak bangsa yang tampaknya tidak memiliki empati dan simpati pada masalah yang sedang menimpa negara dan rakyat Indonesia khususnya masyarakat yang menjadi korban. Saya sendiri berpendapat bahwa terkait kejadian buruk tersebut, lebih baik kita semua instropeksi.

Instropeksi baik terhadap diri sendiri maupun kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Mengapa teror sejenis selalu saja terjadi dan mengatasnamakan agama (Islam). Menunjuk pihak-pihak lain sebagai kambing hitam dan atau pun mengarang berbagai prasangka serta teori konspirasi tidak akan menyelesaikan persoalan.

Andaikan memang ada pihak yang berupaya mengkondisikan teror untuk mengacaukan Indonesia, tentulah hal tersebut tidak akan berhasil bila pelakunya yang merupakan warga negara Indonesia atau rakyat adalah orang-orang yang mencintai Indonesia sebagai negaranya dan tanah air nya. Tidak mungkin terjadi bila pelakunya memahami dan menjalankan ajaran agama yang mengutamakan nilai-nilai ketuhanan yaitu memuliakan nyawa manusia dan melindungi alam semesta (rahmatan lil alamin).

Sungguh sangat disayangkan, faktanya mereka ternyata lebih percaya doktrin-doktrin dari para pemuka agama yang berhati biadab. Karenanya mereka yang melakukan teror tersebut seolah menjadi hewan yang tidak memiliki otak dan hati nurani. Mereka telah terhipnotis dengan egoisme diri sendiri yang dikamuflase oleh keyakinan beragama. Bahwa mereka akan mendapatkan kesenangan dan kenikmatan setelah kematian berupa masuk surga dan nafsu syahwatnya terpuaskan oleh 72 bidadari yang siap melayani keinginannya.

Mari instropeksi bersama. Mengapa teror terus mengatasnamakan agama terus terjadi? Bukankah setiap agama bertujuan agar kehidupan manusia dan alam semesta menjadi lebih baik, penuh kedamaian dan kasih sayang? Salam damai.

#WeAreNotAffraid #WeAreNotAcow :)

 

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun