Mohon tunggu...
Amirsyah Oke
Amirsyah Oke Mohon Tunggu... Administrasi - Hobi Nulis

Pemerhati Keuangan negara. Artikel saya adalah pemikiran & pendapat pribadi.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Jangan Lebay Menyikapi Dana Ketahanan Energi

31 Desember 2015   11:21 Diperbarui: 31 Desember 2015   14:36 883
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Energi Terbarukan Mendesak Dikembangkan di Indonesia (Shutterstock)

Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengumumkan akan melaksanakan kebijakan dana ketahanan energi (DKE) mulai 5 Januari 2016. DKE berasal dari pemungutan sebesar Rp 200,00 untuk setiap pembelian per liter premium dan Rp 300,00 per liter solar. Dana ini akan digunakan untuk mengembangkan potensi energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia yang sedemikian berlimpah namun belum diolah secara baik. Padahal mengembangkan EBT adalah amanat UU Energi.

Pro dan kontra terhadap setiap kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah adalah hal yang biasa. Sudirman Said sebagai Menteri ESDM pun menyatakan bahwa hal tersebut bisa dimengerti karena pelaksanaan kebijakan DKE merupakan hal baru. Ia bertekad akan menunjukkan cara pengelolaan DKE yang profesional, akuntabel, dan transparan (esdm.go.id).

Namun sayangnya beberapa argumentasi yang kontra mengesankan adanya pemaksaan logika dan argumentasi. Apa yang diungkapkan belumlah didasari dengan informasi yang berimbang. Semuanya dianggap buruk dan tidak ada baiknya sama sekali. Bahkan sampai begitu tendensius melemparkan tuduhan yang tidak berdasar. Yang penting bisa memenuhi hasratnya menyatakan ketidaksetujuan dan ketidaksukaan.

Pungutan Liar (Pungli) Karena Tidak ada Dasar Hukum

Pihak yang kontra bersikeras bahwa tidak ada dasar hukumnya pemungutan DKE tersebut sehingga menyebutnya sebagai pungli. Hal ini adalah tuduhan yang sangat serius. Melaksanakan pungli berarti tindakan kriminal, bagian dari perbuatan korupsi yang harusnya dibasmi di negeri ini. Sayangnya mereka yang berpendapat seperti ini seringkali bukanlah seorang ahli hukum, apalagi ahli hukum yang berkecimpung dan memahami seluk beluk sektor ESDM.

Padahal sangat banyak pendapat yang menyatakan pungutan DKE telah sesuai dengan hukum yang berlaku. Pendapat ini dinyatakan oleh berbagai pihak yang ahli dan berkecimpung di sektor ESDM. Lantas pendapat yang mana yang bisa dipercayai atau setidaknya lebih mendekati kebenaran? Jawabannya tentu sangat mudah dengan menggunakan logika yang awam sekalipun.

Adapun mereka yang bersikukuh menyatakan hal ini melanggar hukum atau tidak memiliki dasar hukum, maka harus berani melakukan langkah lebih lanjut yang memungkinkan. Misalnya mengajukan Yudisial Review ke Mahkamah Konstitusi atau melaporkannya kepada penegak hukum atas pungli yang dilakukan pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM. Jangan hanya bergaduh dengan berbagai pendapat yang mengkel ataupun melontarkan berbagai tudingan dan tuduhan.

Sudah ada dana dari pencabutan subsidi BBM

Memang benar sejak era Pemerintahan Jokowi subsidi BBM sudah dicabut. Hal ini membuat pemerintah mendapatkan dana yang besarnya sekitar Rp300 triliun. Namun dana tersebut harus dialokasikan untuk berbagai keperluan diantaranya pembangunan insfrastruktur di berbagai daerah yang selama ini tertunda bahkan terkesan diabaikan.

Tentu saja Rp300 triliun relatif belum cukup untuk mengejar ketertinggalan dan keterlambatan pembangunan di berbagai daerah Indonesia yang sangat luas ini. Meskipun ada yang dialokasikan untuk melaksanakan program-program ketahanan energi, namun belumlah cukup memadai untuk memberikan hasil yang optimal. Oleh karena itu diperlukan mobilisasi dana yang memungkinkan agar kebijakan ketahanan energi bisa dilaksanakan dengan optimal.

Semestinya yang kita pertanyakan adalah mengapa selama ini dana subsidi BBM sekitar Rp300 triliun per tahun yang seharusnya bisa membuat pembangunan Indonesia berjalan dengan cepat justru hanya dihabiskan secara konsumtif, menjadi asap dalam kemacetan kendaraan di Pulau Jawa yang dimiliki orang-orang mampu, hingga menjadi bancakan mafia BBM semacam Petral. Apalagi selama ini rakyat Indonesia di luar Pulau Jawa seperti di Indonesia Timur sudah terbiasa membeli BBM dengan harga yang lebih mahal bahkan jauh lebih mahal. Bayangkan saja Rp300 triliun dikalikan 10 tahun sama dengan Rp3.000 triliun! Bukankah hasil dan manfaatnya akan sangat luar biasa bila dijadikan infrastruktur, pemenuhan kebutuhan rakyat agar mandiri hingga untuk dana ketahanan energi.

Sudah ada pengembangan biodiesel dari pungutan perusahaan kelapa sawit

Sebelumnya juga sudah ada dana dari pungutan perusahaan kelapa sawit untuk pengembangan biodiesel dalam rangka ketahanan energi. Dana tersebut dikelola oleh Badan Layanan Umum (BLU) Badan Pengelola Dana Kelapa Sawit. Namun demikian, peruntukan dana ini tidak hanya fokus pada pengembangan biodiesel. Masih sangat banyak program-program yang harus dibiayai terkait Program pengembangan kelapa sawit berkelanjutan. Program-program tersebut yaitu: mendorong penelitian dan pengembangan perkebunan kelapa sawit, mendorong promosi usaha perkebunan kelapa sawit, meningkatkan sarana prasarana di dalam pengembangan industri kelapa sawit, pengembangan biodiesel, mendorong proses peremajaan “replanting” kelapa sawit, mendorong peningkatan jumlah mitra usaha dan penambahan jumlah penyaluran dalam bentuk ekspor, serta melakukan edukasi untuk meningkatkan pengetahuan dan sumber daya masyarakat mengenai perkebunan kelapa sawit.

Justru bila dana dari kelapa sawit digunakan untuk pengembangan EBT lain misanya dari Sinar Matahari atau Tenaga Angin, malah sangat berpotensi menjadi permasalahan baru yang akan menimbulkan kegaduhan dan kenyinyiran yang tak kalah menghebohkannya. Maka dari itu pemerintah melakukan mobilisasi dana yang memungkinkan agar kebutuhan energi yang sangat besar di masa depan bisa dipenuhi melalui pengembangan EBT. Potensi EBT di Indonesia sangat banyak dan tersebar di berbagai wilayah. Dibutuhkan dana yang sangat besar untuk mengembangkan dan memanfaatkannya untuk memenuhi kebutuhan seluruh rakyat Indonesia.

Dana tersebut membebani rakyat

Ada yang sok tahu menyatakan bahwa dana tersebut dibebankan pada harga BBM yang dijual kepada masyarakat. Padahal pendapat sok tahu ini sudah banyak diluruskan oleh mereka yang langsung menangani BBM di Indonesia yaitu Kementerian ESDM dan Pertamina. Berbagai media telah memberitakan penjelasan dari Direktur Pemasaran PT Pertamina (Persero), Ahmad Bambang terkait hal ini.

Dana tersebut bukan pungutan dari masyarakat yang membeli premium dan solar, tapi dana yang disisihkan dari keuntungan yang didapat Pertamina dari penjualan BBM. Sesuai dengan Undang-undang BUMN, bisnis Pertamina harus memberikan keuntungan. Dengan Permen ESDM Nomor 4 Tahun 2015, Pertamina diperbolehkan untuk mendapat keuntungan dari harga BBM bersubsidi dan penugasan yang ditetapkan yaitu sebesar 5 persen. Sebagian dari keuntungan tersebut disisihkan untuk dana ketahanan energi atau stabilisasi harga.

Bila memang hal ini tetap akan berpengaruh kurang baik khususnya pada rakyat kecil, maka disinilah peran dari subsidi tepat sasaran untuk mengatasi permasalahan tersebut. Pemerintah telah gencar melaksanakan program-program tepat sasaran guna membantu kelompok masyarakat miskin baik untuk konsumsi, kesehatan, pendidikan hingga pemberdayaan ekonomi. Resiko yang mungkin terjadi bukan berarti harus menghentikan upaya penyelamatan generasi masa depan melalui pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) yang dibiayai oleh dana ketahanan energi.

Berargumen dengan Literasi yang Memadai

Tidak setuju dengan kebijakan pungutan dalam rangka implementasi ketahanan energi boleh-boleh saja. Namun hendaknya ketidaksetujuan tersebut disampaikan dengan argumentasi yang berdasar, tidak asal njeplak hingga begitu tendensius menuduh pemerintah melakukan pungli. Ada banyak literatur yang bisa dibaca untuk mengetahui banyak hal terkait dana ketahanan energi.

Indonesia Kalah dari Timor Leste

Indonesia sendiri sangat terlambat dalam menerapkan kebijakan dana ketahanan energi. Timor Leste misalnya, sudah melaksanakan pungutan dana ketahanan energi sejak tahun 2005. Apalagi bila membandingkan dengan negara-negara yang sampai saat ini masih menjadi pengekspor minyak seperti Norwegia misalnya, hal ini telah dilakukan lebih lama lagi. Pemerintah dan rakyat negara-negara tersebut sadar bahwa minyak bumi akan habis pada waktunya dan harus ada upaya mencari penggantinya sebelum terjadi krisis energi. Tidak maukah kita sebagai rakyat Indonesia bersiap menghadapi krisis energi yang sudah siap menerkam di masa depan?

Seharusnya hal ini sudah dilaksanakan sejak dahulu pada masa-masa pemerintahan sebelumnya. Terlebih lagi kala Indonesia sedang mengalami booming minyak bumi dimana negara kita adalah salah satu pengekspor minyak ke seluruh dunia. Kini dimasa yang relatif sulit sekarang ini, mau tidak mau kebijakan tersebut harus dilaksanakan.

Bila tidak, akan sangat berbahaya bagi rakyat, bangsa dan negara ini di masa depan. Generasi berikutnya yang merupakan anak, cucu atau cicit kita yang akan menderita. Mau? Kalau saya pribadi lebih baik sekarang yang berhemat dan relatif berpeluh agar generasi masa depan bisa hidup dengan senyum bahagia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun