Mohon tunggu...
Amirsyah Oke
Amirsyah Oke Mohon Tunggu... Administrasi - Hobi Nulis

Pemerhati Keuangan negara. Artikel saya adalah pemikiran & pendapat pribadi.

Selanjutnya

Tutup

Money

Feodalisme Penggunaan Anggaran Negara

27 Agustus 2015   14:45 Diperbarui: 27 Agustus 2015   14:45 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menurut kbbi.web.id feodalisme didefinisikan sebagai “sistem sosial atau politik yang memberikan kekuasaan yang besar kepada golongan bangsawan”. Saya mengartikan feodalisme sebagai mengutamakan kepentingan elit dibandingkan masyarakat banyak. Dengan demikian feodalisme penggunaaan anggaran negara adalah mengutamakan penggunaan anggaran negara untuk kepentingan elit dibandingkan masyarakat banyak.

Berkaca dari cerita-cerita kerajaan jaman dahulu yang sangat kental dengan budaya feodalnya, dapat dilihat bahwa anggaran negara atau kerajaan lebih diutamakan untuk kepentingan raja dan keluarganya dan kelompok bangsawan dalam kerajaan. Raja dan para bangsawan peserta keluarganya hidup mewah, semua kebutuhannya hingga untuk keperluan pribadi pun dipenuhi oleh harta/kekayaan kerajaan. Sebaliknya, rakyatnya apalagi rakyat jelata, tidak mengapa hidup dalam keadaan susah. Padahal harta/kekayaan kerajaan tersebut didapatkan dari memungut pajak atau upeti kepada semua rakyat tanpa terkecuali.

Mungkin karena tradisi kerajaan sangat kental di Indonesia dan juga feodalisme yang diterapkan Belanda selama menjajah Indonesia, maka feodalisme masih terus saja terjadi hingga sekarang, termasuk dalam penggunaan anggaran negara. Di Indonesia, feodalisme penggunaan anggaran negara begitu kentara. Hal ini jelas merugikan masyarakat banyak. Namun anehnya, feodalisme penggunaan anggaran negara masih terus saja terjadi dari tahun ke tahun.

Lihat saja DPR misalnya yang hendak membeli spring bed menggunakan anggaran negara hingga Rp12 miliar atau Rp19 juta per satuannya (sumber). Spring bed yang kita sebut kasur jelas-jelas kebutuhan pribadi, mengapa pula harus membebani anggaran negara yang merupakan uang rakyat? Tidak mampukah para anggota DPR yang terhormat membeli spring bed sendiri dari penghasilannya yang mencapai puluhan juta setiap bulan atau menggunakan harta dan kekayaannya yang jumlahnya miliaran rupiah? Ini baru pembelian yang kecil-kecil, belum lagi penggunaan anggaran lainnya yang lebih besar bahkan sangat besar, seperti 7 proyek pembangunan di lingkungan Kompleks DPR RI yang akan menghabiskan dana sebesar Rp1,6 triliun (kompas).

Penggunaan anggaran tersebut sangat kental nuansa feodalismenya karena lebih mementingkan elit daripada kebutuhan rakyat yang sangat mendesak. Tidakkah para anggota DPR berpikir bahwa dana Rp12 miliar hanya untuk membeli spring bed bagi keperluan pribadi mereka, akan lebih bermanfaat jika digunakan untuk memperbaiki sekolah yang rusak atau membangun sekolah baru? Untuk memperbaiki jalanan yang rusak? Untuk memperbaiki puskesmas atau membangun puskesmas? Untuk membeli keperluan alat-alat sekolah bagi anak-anak sekolah generasi penerus Indonesia? Rp12 miliar dapat digunakan untuk banyak hal yang jauh lebih bermanfaat untuk rakyat yang membutuhkan daripada hanya berakhir menjadi kasur yang bila anggota DPR berganti kemungkinan besar tidak sudi untuk memakai barang bekas dari anggota DPR yang lama.

Apalagi dana yang jumlahnya sangat besar Rp1,6 triliun bisa digunakan untuk membangun insfratruktur yang sangat dibutuhkan untuk menggerakkan ekonomi rakyat dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Dengan Rp1,6 triliun berapa ratus kilometer jalanan dapat diperbaiki atau dibangun? Barapa panjang rel kereta yang bisa diwujudkan? Berapa banyak sekolah, rumah sakit, puskesmas yang dapat diperbaiki atau dibangun? Rakyat akan makin sejahtera jika cara berfikir anggota DPR lebih mementingkan kebutuhan rakyat yang mendesak daripada untuk kepentingan dirinya sendiri.

Selain DPR, penggunaan anggaran di pemerintah baik pusat dan daerah juga banyak yang sekali tiga uang alias sama saja. Banyak pengeluaran yang tidak efisien bahkan tidak seharusnya dilakukan bila melihat banyaknya kebutuhan rakyat yang harus dipenuhi. Kita tentu tahu bahwa di daerah tertentu masih banyat terjadi para balita dan anak-anak yang menderita busung lapar. Mengapa hal ini bisa terjadi? Jawabannya karena para elit yang menggunakan anggaran secara feodal, yaitu yang menguntungkan diri sendiri dan kelompoknya, bukan untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat.

Anggaran yang ada kurang bahkan tidak dialokasikan untuk kegiatan yang dapat menyelesaikan permasalahan masyarakat/rakyat. Anggaran justru dialokasikan untuk kegiatan-kegiatan seperti rapat, honor, dan perjalanan dinas ke luar daerah. Atau dialokasikan untuk perbaikan gedung kantor, pengecatan, penggantian pagar dan hal-hal yang tidak mendesak lainnya. Hal ini berlangsung setiap tahun hingga akhirnya satu per satu masalah di masyarakat makin membesar dan terkuak seperti terjadinya busung lapar, angka kematian ibu melahirkan yang tinggi, berjangkitnya penyakit, indeks pembangunan manusia yang rendah dan lain sebagainya. Penanganan diambil setelah jatuh banyak korban atau terjadi kerugian yang besar. Bahkan kadangkala penanganannya hanya ala kadarnya dengan alasan kekurangan dana ataupun menunjuk kambing hitam yang menyebabkannya.

Saat ini, penghasilan para penyelenggara negara baik pada pemerintah pusat, pemerintah daerah, anggota DPR/D telah relatif memadai. Jauh lebih baik daripada sebelumnya. Sudah saatnya berhenti hanya memikirkan diri sendiri ataupun kelompoknya. Semua penyelenggara negara hendaknya lebih memikirkan bagaimana rakyat dapat menjadi lebih sejahtera, terpenuhi semua kebutuhannya baik kebutuhan pokok, pendidikan, kesehatan dan yang lainnya. Anggaran negara pada hakekatnya adalah uang rakyat, sudah selayaknya dikembalikan lagi semaksimal mungkin untuk kebutuhan rakyat.

Ada baiknya para penyelenggara negara meresapi apa yang pernah dikatakan oleh jurnalis dan anggota Parlemen Perancis abad 19, Frederic Bastiat (1800-1840), yang mengatakan bahwa “semua orang ingin hidup dibiayai oleh negara. Mereka (kerap) lupa, bahwa negara hidup dari biaya semua orang”.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun