Mohon tunggu...
Amirsyah Oke
Amirsyah Oke Mohon Tunggu... Administrasi - Hobi Nulis

Pemerhati Keuangan negara. Artikel saya adalah pemikiran & pendapat pribadi.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Kenangan Banjir di Bidara Cina

19 Januari 2014   00:21 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:42 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah berulang kali mengalami banjir di Jakarta Utara, namun paling tinggi hanya sebatas lutut orang dewasa. Pengalaman banjir saat tinggal di Bidara Cina Jakarta Timur tahun 2004 yang lalu, adalah kenangan yang paling berkesan. Saat itu saya dan istri yang baru menikah, pindah rumah ke Bidara Cina Jakarta Timur agar lebih dekat dengan kantor tempat kerja saya yang terletak di Jalan Raya Otista.

Rumah kontrakan saya berjarak sekitar 500 meter dari kali Ciliwung yang melintasi kelurahan Bidara Cina. Rumah kontrakan saya tidak jauh beda dari rumah masyarakat sekitar yang memang dipersiapkan untuk mengantisipasi banjir. Kebanyakan rumah dua lantai, lantai pertama sudah ditinggikan agar air tidak masuk bila terjadi banjir yang tidak terlalu tinggi (sekitar satu meter). Namun pada akhir Desember 2004, banjir besar melanda. Kelurahan Bidara Cina yang memang langganan banjir adalah wilayah yang ketinggian airnya mencapai dua meter lebih. Seperti tetangga di sekitar, saya beserta istri dan seorang anak kami yang belum genap berusia dua bulan mengungsi ke lantai dua. Kebetulan sebelumnya semua aktivitas sehari-hari termasuk memasak dilakukan di lantai dua. Semua barang-barang memang diletakkan dilantai dua. Lantai satu hanya diisi barang-barang yang kurang penting dan mudah diangkat/dipindahkan ataupun bila terkena banjir tidak akan rusak.

Hari pertama banjir, air baru mencapai ketinggian satu meter lebih, namun demikian saya putuskan untuk tidak masuk kantor untuk berjaga-jaga di rumah. Listrik belum dimatikan oleh PLN. Kami masih bisa menikmati listrik untuk aktivitas sehari-hari. Kebetulan meteran listrik dipasang di ketinggian lebih dari dua meter, begitu juga dengan saklar lampu. Colokan listrik semuanya ada di lantai dua sehingga masih relatif aman dari bahaya arus pendek. Belum ada bantuan yang datang di lingkungan kami. Bagi saya dan istri hal ini tidaklah meresahkan karena memang sudah bersiap menghadapi banjir. Stok makanan baik yang bisa langsung dimakan atau yang harus dimasak tersedia cukup banyak. Apalagi air PAM masih mengalir deras di lantai dua rumah kami.

Hujan deras yang terus menerus sepanjang hari membuat ketinggian air bertambah. Hari kedua air sudah mencapai dua meter. Kurang dua puluh sentimeter lagi akan mencapai meteran listrik. PLN akhirnya mematikan listrik di daerah kami. Untunglah kami sudah siap sedia dengan penerangan cadangan seperti lampu darurat yang sudah dicharge penuh, lampu senter, lampu teplok hingga persediaan lilin. Lingkungan kami di malam hari menjadi gelap gulita. Suasana terasa mencekam. Kami semua bersiaga mengantisipasi keadaan darurat seperti kemungkinan air yang semakin meninggi. Istri mulai khawatir apalagi kami memiliki bayi. Saya mulai membuat tempat untuk bayi kami menggunakan bak mandi yang terbuat dari plastik yang kuat dan tebal untuk keperluan evakuasi bila banjir semakin tinggi. Saya dan istri sudah mempersiapkan baju pelampung yang bisa dipakai sebagai pengaman saat berenang.

Sekitar jam tujuh malam hujan berhenti. Beberapa perahu karet melintas di depan lantai dua rumah kami. Ternyata petugas yang datang mendata penduduk yang masih bertahan di lantai dua sambil membagikan nasi bungkus untuk makan malam. Mereka juga menawarkan untuk mengevakuasi ke tempat yang lebih aman. Ada beberapa orang berusia lanjut yang mau dievakuasi, naik ke atas perahu karet. Istri saya belum mau mengungsi karena tidak ingin berpisah dengan saya. Petugas memberikan kami lima buah nasi bungkus. Namun karena persediaan logistik kami masih cukup, kami hanya menerima satu bungkus sebagai tanda terimakasih atas bantuan yang diberikan. Empat lainnya kami kembalikan agar bisa diberikan kepada yang lebih membutuhkan. Itulah pertama kali kami merasakan makanan bantuan bencana. Nasi putih dengan mie, sayur dan setengah telur rebus, meskipun sangat sederhana namun sensasinya berbeda sehingga saya dan istri menikmatinya dengan lahap sampai habis.

Hari ketiga banjir, hujan hanya turun gerimis sekali-sekali. Ketinggian air mulai berkurang dan sudah dibawah dua meter. Listrik sudah dihidupkan PLN. Saat itulah kami mengetahui dari berita di televisi terjadinya Tsunami di Provinsi Banda Aceh akibat gempa bumi. Saya dan istri bercucuran air mata melihat banyaknya korban dan kisah-kisah yang memilukan. Ternyata bencana banjir yang menimpa kami belum ada apa-apanya dibanding kesusahan dan kesedihan yang dialami masyarakat Aceh yang tertimpa bencana gempa dan Tsunami dahsyat.

Hari ke empat lantai satu rumah kami sudah ditinggalkan air banjir. Genangan air dengan tinggi bervariasi, paling tinggi sebetis orang dewasa, masih terlihat di jalanan gang depan rumah. Lantai satu rumah kami kotornya luar biasa, lumpur sisa-sisa banjir tertinggal di lantai dan menempel di dinding. Bersamaan dengan munculnya sinar matahari saya mulai membersihkan rumah. Untunglah air PAM mengalir deras dan lancar, sangat membantu dalam membersihkan bekas banjir.

Rupanya bukan cuma saya saja yang mulai membersihkan rumah. Tetangga-tetangga yang lainpun juga melakukan hal yang sama. Namun tidak semua rumah memiliki saluran air bersih dari PAM. Mereka terpaksa bolak-balik menenteng ember dan jerigen mengambil air bersih dari tempat yang cukup jauh. Terdorong rasa ingin berbagi, saya tawarkan tetangga untuk mengambil air dari rumah kami. Mereka sangat senang karena tidak perlu jauh-jauh mengambil air bersih. Ada yang bersikeras ingin membayar air yang diambilnya, namun saya menolaknya. Terasa menyenangkan bisa membantu tetangga yang membutuhkan.

Di hari yang sama, sekitar jam sembilan pagi, semua warga di lingkungan kami bersama-sama melakukan kerja bakti membersihkan sampah yang berserakan. Ada juga yang membantu memperbaiki rumah warga yang rusak seperti pintu dan jendela, akibat diterjang banjir yang berarus deras. Ketua RT mengkoordinir kerjabakti. Para warga menyumbang uang seiklasnya untuk dibelikan konsumsi yang disajikan bagi warga yang sedang bekerja bergotong royong. Banjir membuat warga di lingkungan kami kompak dan tidak keberatan saling membantu dan berbagi untuk sesama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun