Mohon tunggu...
Amirsyah Oke
Amirsyah Oke Mohon Tunggu... Administrasi - Hobi Nulis

Pemerhati Keuangan negara. Artikel saya adalah pemikiran & pendapat pribadi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jalan Santai dari Pasar Baru ke Lapangan Banteng

16 Januari 2014   09:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:47 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1389839353479339633

Saat berkesempatan dinas ke Jakarta beberapa hari lalu, saya putuskan berjalan kaki dari tempat penginapan di Pasar Baru menuju Kantor di Jalan DR. Wahidin Jakarta Pusat. Sebenarnya bisa saja naik bajaj atau ojek motor agar lebih cepat sampai. Namun karena kegiatan yang akan dihadiri baru akan dimulai jam sembilan pagi, masih cukup waktu untuk jalan santai menikmati suasana Kota Jakarta yang tidak bisa lagi setiap hari saya nikmati. Waktu itu sekitar jam delapan pagi. Lalu lintas agak ramai namun tetap lancar.

Melintasi jembatan yang menghubungkan Pasar Baru dengan Jalan Raya Pos, di bawahnya melintas kali Ciliwung yang sudah relatif bersih. Terlihat beberapa bagian kali masih ditutup dengan triplek yang membatasi dengan Jalan Antara untuk keamanan pengerjaan proyek pembuatan air mancur Pasar Baru. Sekitar bulan September 2013 lalu saat dinas ke Jakarta, sepertinya saya juga melihat pengerjaan proyek tersebut. Sempat muncul pertanyaan, kok belum selesai juga ya? Pikir saya, ukuran Kota Metropolitan yang serba ada dan serba lengkap, mengapa pekerjaannya tidak cepat selesai? Apalagi sekarang sudah masuk tahun 2014 dimana otomatis tahun anggaran berganti. Mungkin proyek pembuatan air mancur tersebut adalah proyek tahun jamak (multi years) pemprov DKI, saya mencoba berpikir positif.

Untuk menuju Jalan DR. Wahidin, harus menyeberangi Jalan Pos yang merupakan jalan besar dengan lalu lintas dua arah yang padat, di mana kendaraan melaju dengan kecepatan tinggi. Untunglah tersedia jembatan penyeberangan yang ditengahnya terhubung dengan halte Busway. Sayangnya cukup banyak orang yang tidak mau menggunakan jembatan penyeberangan, mereka lebih memilih langsung menyeberang walau sangat beresiko ditabrak kendaraan yang melaju kencang. Ada juga bajaj dan motor ojek yang langsung memotong jalan tersebut untuk menuju Jalan Gedung Kesenian, mereka tidak mau jalan sebentar lalu berputar arah ditempat yang sudah disediakan. Suatu tindakan yang bukan saja melanggar aturan lalu lintas, namun sangat beresiko menyebabkan terjadinya kecelakaan. Ini juga salah satu pertimbangan saya sehingga lebih baik jalan kaki daripada naik ojek motor atau bajaj.

Turun dari jembatan penyeberangan, langsung terlihat kios-kios seniman karikatur di pinggir Jalan Gedung Kesenian. Berbagai macam karikatur yang unik dan lucu dipamerkan untuk menarik minat pelanggan. Karikatur para tokoh/pejabat nasional/Jakarta dan juga artis-artis ibu kota tampak menjadi andalan untuk menarik perhatian. Mereka sangat berbakat dengan keahliannya sehingga bisa digunakan untuk mencari nafkah. Langkah saya agak melambat di area tersebut karena tertarik dengan beberapa karikatur yang unik, lucu dan menyiratkan makna tertentu.

Di Jalan Gedung Kesenian yang menghubungkan Jalan Pos dengan Jalan DR. Sutomo, Jalan Katedral dan Jalan Lapangan Banteng, tersedia trotoar atau jalur khusus pejalan kaki yang lebih luas dari biasanya. Namun sayang, di area tersebut malah banyak yang memarkirkan kendaraannya baik mobil maupun sepeda motor. Kemungkinan besar jalur pejalan kaki ini juga menjadi jalur favorit bagi pengendara sepeda motor saat lalu lintas sedang padat.

[caption id="attachment_316143" align="aligncenter" width="381" caption="Jalur jalan kaki penulis. Lingkaran adalah lokasi di mana seorang Ibu tua takut menyeberang jalan karena pengendara egois yang tidak mau memberikan kesempatan."][/caption]

Dari kejauhan saya melihat seorang Ibu tua berada sendirian di tengah persimpangan jalan. Ia berdiri di area segitiga tempat persinggahan pejalan kaki di tengah pembatas Jalan DR. Sutomo. Ibu tua itu selalu menoleh ke kiri memperhatikan kendaraan yang melaju kencang. Tampaknya ia hendak menyeberang jalan melalui zebra cross yang tersedia. Ibu tua tersebut terlihat ragu dan takut. Kendaraan yang melaju baik motor ataupun mobil tidak ada yang berkenan melambat apalagi berhenti untuk memberikan kesempatan si Ibu tua menyeberang. Padahal sesuai undang-undang lalu lintas, bila ada pejalan kaki yang hendak menyeberang melalui zebra cross, kendaraan harus berhenti dan memberikan kesempatan menyeberang. Si Ibu tua terlihat resah, sebentar ia menjejakkan satu kaki maju hendak menyeberang, sesaat kemudian ia menariknya mundur. Sepertinya khawatir ditabrak. Para pengendara seolah memakai kacamata kuda sehingga tidak melihat ada seorang Ibu tua yang tampak ketakutan ingin menyeberang.

Saya segera mempercepat langkah dan berlari kecil. Adanya zebra cross membuat saya tak ragu mengangkat tangan memberi tanda ingin menyeberang. Saat ada pengendara mobil dan motor yang melaju kencang seolah tak sudi memberi kesempatan, dengan refleks saya mengepalkan tangan dan mengarahkannya kepada mereka. Mungkin cara ini berhasil karena terlihat kendaraan tersebut melambat. Tiba di seberang namun masih ditengah Jalan DR. Sutomo pada area segitiga, saya menghampir Ibu tua tersebut. “Mau menyeberang Bu? Mari sama-sama”. Si Ibu tanpa disuruh langsung memegang erat lengan kanan saya.

Saya mengangkat tangan kiri memberi tanda pada kendaraan yang masih relatif jauh agar memberikan kesempatan menyeberang. Sayapun bersiap mengepalkan tangan kembali bila terlihat mereka tidak mau menurunkan kecepatannya. Syukurlah mobil yang hendak melintas mengerti. Namun saat tinggal beberapa langkah, sebuah motor terlihat enggan memberi kesempatan, terus melaju seolah ingin berpacu siapa yang berhasil duluan melintas, ia atau kami. Merasa jengkel dengan kepongahan tersebut, saya tatap langsung mata pria si pengendara motor dengan menunjukkan kemarahan. Ia akhirnya mau mengerem motornya. Kami berhasil menyeberang dengan selamat melewati zebra cross. “Terimakasih ya Nak” Ibu tua itu tersenyum lega. “Sama-sama Bu, hati-hati ya Bu” Saya membalas senyumannya. Si Ibu tua meneruskan berjalan kaki menuju Jalan Lapangan Banteng, sedangkan saya terus berjalan menulusuri trotoar di Jalan DR. Sutomo menuju Jalan DR Wahidin.

Ah, Jakarta. Keegoisan warganya kapankan bisa berkurang?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun