Mohon tunggu...
Amirsyah Oke
Amirsyah Oke Mohon Tunggu... Administrasi - Hobi Nulis

Pemerhati Keuangan negara. Artikel saya adalah pemikiran & pendapat pribadi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Preman Pasar vs Preman Negara

9 April 2014   16:45 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:52 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang preman pasar sedang menjalankan aktivitasnya memalak orang-orang di pasar, baik pedagang maupun pengunjung pasar.

Preman: Mana nih setoran hari ini?

Pedagang pasar: Ini bang, segini dulu. Hari ini masih sepi. (Dengan raut wajah kesal bercampur takut)

Preman: Hmmmm (sambil plintir-plintir kumis), okelah. Tapi lain kali setornya yang bener, kalo gak, tau sendiri akibatnya.

Preman mengambil uang dari pedagang dan melanjutkan aksinya. Kali ini Ia mengincar seorang wanita yang mengenakan perhiasan emas mencolok. Wanita tersebut memakai gelang, anting dan kalung emas yang sangat mencolok, seolah sedang memamerkan kekayaannya. Saat wanita tersebut sedang berjalan di bagian pasar yang sepi, preman pun segera beraksi. Dengan gerakan cepat, preman menjambret kalung si wanita yang sedang lengah, lalu berlari cepat menghilang masuk ke dalam lorong-lorong pasar yang gelap dan tidak terpakai. Teriakan wanita meminta tolong memancing banyak orang datang, namun sang preman yang wajahnya tak sempat dilihat, sudah tak jelas ada dimana.

Sang preman merasa senang dengan hasil pekerjaannya sampai menjelang siang. Dipandanginya kalung emas dengan liontin berbentuk hati. Ia tersenyum puas. “Salah sendiri lo pamer-pamer perhiasan dipasar!” celutuk sang preman sambil tertawa lebar. Namun hari masih panjang, sang premanmemutuskan untuk berusaha lagi.

Kebetulan siang itu ada seorang anggota dewan incumbent yang berkampanye di pasar tersebut, membagi-bagikan selebaran dan juga uang kepada pedagang dan pengunjung pasar. Dengan setelan berjas dan berdasi serta parfum yang wangi, sang anggota dewan sangat kontras dengan masyarakat di pasar. Di tengah aktivitas kampanyenya, sang anggota dewan mendadak merasakan ingin buang air kecil yang mendesak. Setelah bertanya-tanya, akhirnya ia menuju toilet yang ada di pasar. Kebetulan toilet ada dibagian pasar yang sepi dan relatif gelap, hanya satu dua pedagang disekitarnya serta orang-orang yang ingin buang hajat yang datang dan pergi. Si preman kebetulan sedang berjalan melewati toilet, hendak menuju keramaian pasar untuk kembali memalak dan mengincar mangsanya.

Sang anggota dewan dan si preman berpapasan bahkan nyaris bertabrakan. Mereka sekilas saling berpandangan. Sang anggota dewan yang sudah tidak tahan lagi, langsung masuk ke dalam toilet. Si preman langsung sadar, bahwa orang yang hampir bertabrakan dengannya bukan orang sembarangan, orang itu pasti punya uang banyak. Si preman lantas menunggu di depan pintu toilet dimana sang anggota dewan berada.

Saat pintu dibuka, preman segera menodongkan senjatanya, meminta sang anggota dewan tidak berteriak dan menyerahkan semua perhiasan, dompet dan isi sakunya. Sang anggota dewan yang ketakutan menurut saja, ia tak berani bersuara, keringat dingin bercucuran dan jantungnya berdegup kencang. “Bagaimana kalo hidupku berakhir disini? Bisa gagal semua rencana dan proyek-proyek yang sudah dibahas dengan pengusaha yang telah memberinya uang miliaran” Pikiran sang anggota dewan berkelebat cepat. Terbiasa bernegosiasi, sang anggota dewan mencoba melakukan penawaran pada si preman.

“Maaf Pak, mohon saya jangan dibunuh. Bapak silahkan ambil semuanya. Nanti saya tambah lagi kalo masih kurang. Yang penting saya selamat."

Sang preman tak merespon, ia sudah terbiasa dengan persuasi seperti itu yang bila dituruti malah akan mengganggu kesempatan yang ada. Ia terus menggeledah sang anggota dewan dan mengambil barang berharga yang ditemukannya. Sang anggota dewan merasa aneh, tawarannya yang menarik tersebut tidak ditanggapi. Pikirannya pun menduga hal yang terburuk akan terjadi. Ia pun mencoba lagi. “Maaf Pak, saya anggota dewan dari partai anu. Uang saya sangat banyak, apa yang bapak dapatkan saat ini tidak seberapa. Nanti bisa saya tambahkan lebih banyak lagi, asalkan saya jangan diapa-apakan. Biarkan saya pergi dari sini.”

Si preman berhenti melakukan aktivitasnya. Tanpa ekspresi ia memandangi wajah sang anggota dewan. “Bapak anggota dewan?” “I...iya pak” jawab anggota dewan berusaha tersenyum walau sambil ketakutan. Si preman terdiam dan tertegun beberapa saat. Hal ini makin membuat resah sang anggota dewan. Bagaimana bila si preman ini adalah orang yang sangat membenci orang sepertinya sehingga makin bersemangat membunuhnya? Sang anggota dewan merasa menyesal memberi tahu dirinya adalah anggota dewan.

Si preman kembali menggeledah saku anggota dewan, tampak ada yang dicarinya. Ia menemukan poster-poster kecil kampanye bergambar sang anggota dewan yang bercampur dengan banyak uang nominal seratus ribu. Segera diambil kembali dompet yang sudah dimasukkan ke dalam tas pinggang yang belum sempat diperiksanya. Ditemukan kartu nama dan kartu anggota dewan. Si preman kembali menatap lekat wajah sang anggota dewan, si preman tampak berpikir. Sang anggota dewan yang melihat perubahan sikap si preman makin panik dan merasa hidupnya sebentar lagi akan berakhir, tak terasa ia telah menangis.

Tanpa diduga, si preman mengeluarkan kembali uang dan barang berharga yang telah diambilnya dari sang anggota dewan. Ia melemparkannya begitu saja ke lantai toilet. Tumpukan uang nominal seratus ribu dan lima puluh ribu, jam rolex, kalung emas putih, cincin emas dengan mata berlian besar, dan dompet. Sang anggota dewan tambah panik hingga tak bisa berkata apapun, kini ia terduduk di lantai toilet yang bau. Pikiran buruk makin berkelebat mengenai akhir hidupnya.

Setelah semua yang telah diambilnya berserakan di lantai toilet yang kotor, si Preman berkata. Saya gak jadi ambil uang dan barang-barang berharga Anda. Bagaimanapun juga walau saya orang jahat, saya hanya memalak dan mencuri dari mereka yang hasil pekerjaannya halal. Dari pedagang pasar atas hasi dagangannya, dari pengunjung pasar atas penghasilan pekerjaannya. Bila saya memalak dan mengambil harta dari Anda sang anggota dewan, maka saya mendapatkan harta dari hasil pekerjaan Anda yang haram. Dari kongkalikong proyek-proyek pemerintah, membuat aturan yang merugikan rakyat, dan bekerja tidak sesuai janji-janji. Saya tidak ingin dosa saya menjadi bertambah besar dengan memalak dan merampok Anda.

Setelah menyelesaikan kalimatnya, si Preman segera berlari dan berkelebat cepat lalu menghilang ke lorong-lorong pasar yang gelap. Sang anggota dewan ditemukan oleh pedagang pasar yang hendak buang hajat di toilet tersebut. Sang anggota dewan masih terduduk bersandar dipojokan toilet, tatapannya kosong. Di lantai toilet yang kotor, licin dan bau bertebaran uang nominal seratur ribu dan lima puluh ribu, jam tangan rolex, kalung emas putih, cincin emas besar dengan mata berlian yang besar, dompet yang terbuka, kartu nama dan kartu anggota dewan, serta poster-poster kecil kampanye. Si pedagang pasar yang menemukan anggota dewan tidak berani menyentuh barang-barang berharga tersebut, karena ngeri melihat tatapan kosong sang anggota dewan. Si pedagang pasar pun akhirnya berteriak, “Tolong..... tolong.....!”.

===

Makassar,090413 (Terinspirasi dari materi komikus Zhawir dalam SUCI4 Kompas TV tema Pemilu)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun