Pemilihan legislatif (pileg) telah dilaksanakan tanggal 9 April 2014 lalu. Perolehan suara partai politik telah bisa diketahui melalui quick count yang dilaksanakan oleh berbagai pihak. Hasil quick count pun tidak jauh berbeda antara beberapa pihak yang melaksanakannya. Sejarah telah membuktikan, bahwa biasanya hasil quick count juga tidak terlalu jauh berbeda dengan hasil real count yang sedang dilakukan oleh KPU.
Ada dua kelompok besar partai politik yang mengikuti pemilu di Indonesia, yaitu partai yang beraliran nasionalis dan partai yang beraliran agama. Parpol nasionalis terdiri dari PDIP, Golkar, Gerindra, Nasdem, Demokrat, Hanura dan PKPI. Parpol agama terdiri dari PPP, PKS, PBB, PKB, dan PAN. PKB dan PAN dimasukkan dalam kategori parpol agama berdasarkan pertimbangan basis massa tradisional kedua parpol tersebut yang sangat lekat dengan agama. Hasil pileg 9 April lalu, parpol-parpol nasionalis meraih suara terbanyak, sedangkan parpol-parpol berbasis agama berada di papan tengah dengan raihan suara di bawah 10%. Bila perolehan suara pileg dibagi berdasarkan parpol nasionalis dan parpol agama, maka parpol nasionalis berhasil meraih suara sekitar 68% dan parpol agama sekitar 32%. Berdasarkan data tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa partai nasionalis lebih dipercaya dibandingkan partai agama.
Hal ini menimbulkan pertanyaan besar, Apakah rakyat Indonesia yang terkenal dengan religius tidak mempercayai parpol-parpol beraliran agama? Agama yang dimaksud dalam artikel ini adalah keseluruhan agama yang dijadikan dasar suatu parpol, tidak hanya agama Islam. Sebagaimana diketahui, di Indonesia ada dua agama yang dijadikan dasar suatu parpol yaitu Islam dan Kristen. Sejarah pemilu sejak reformasi menunjukkan bahwa parpol-parpol tersebut belum berhasil mendapatkan kepercayaan dari mayoritas rakyat yang beragama sesuai dengan dasar parpol bersangkutan.
Cukup banyak sebab yang bisa dikemukakan terkait kegagalan parpol berbasis agama dalam meraih simpati rakyat khususnya dari yang beragama sama dengan basis parpol tersebut. Dari kalangan parpol agama kadangkala muncul argumentasi yang menyalahkan pihak lain bahkan rakyat karena perolehan suara parpolnya yang kurang tinggi atau bahkan rendah. Ada yang menyalahkan media yang tidak netral, menyalahkan parpol lain yang melakukan black campaign, hingga menyalahkan rakyat yang dituduhnya lebih senang menerima politik uang.
Tuduhan-tuduhan diatas mungkin ada benarnya, namun tidak bisa dijadikan tameng terkait rendahnya perolehan suara parpol-parpol agama. Penulis mencermati bahwa hal tersebut lebih disebabkan oleh kesalahan parpol-parpol agama itu sendiri, antara lain sebagai berikut:
1. Parpol agama berperilaku tidak sesuai ajaran agama
Masyarakat mengharapkan hal-hal yang lebih dari parpol-parpol agama. Hal ini sangat wajar karena agama adalah simbol segala macam kebaikan dan keluhuran moral. Namun sayangnya, jajaran parpol-parpol agama dari kader, anggota legislatif hingga elit-elit parpol seringkali berperilaku tidak sesuai dengan agama yang menjadi andalan jualannya. Kalangan parpol agama pun tak sungkan melakukan politik uang, black campaign, dan tidak mematuhi aturan kampanye.
Kalangan partai nasionalis yang melakukan hal ini jelas mendapatkan penilaian yang buruk, namun penilaian yang lebih buruk akan diberikan kepada mereka dari parpol agama yang melakukan sama. Mengapa demikian? Masyarakat menginginkan parpol agama menerapkan standar yang lebih tinggi dibanding parpol lainnya. Saat ini masyarakat seringkali melihat mereka yang berlatar parpol agama melakukan hal yang paradoks dengan ajaran agama, tidak sesuai kata dengan perbuatan, khianat, gaya hidup hedonis, tidak setia dan sebagainya. Sebaliknya, parpol nasionalis yang tidak menjual agama dalam kampanyenya, namun aktivitasnya dilihat masyarakat merupakan implementasi dari nilai-nilai agama seperti kejujuran, kesederhanaan, kesetiaan dan sebagainya, akan mendapatkan penilaian yang lebih.
2. Kinerja parpol agama sama saja
Kalangan parpol agama yang telah menjadi anggota legislatif ataupun pejabat publik, seringkali mengecewakan rakyat. Kinerja mereka sama saja buruknya dengan yang lainnya. Bolos sidang, walau hadir pun namun yang dilakukannya adalah tidur atau asyik masyuk sendiri dengan ponsel/gadgetnya. Padahal mereka tahu sidang wakil rakyat seringkali diliput wartawan bahkan disiarkan secara langsung oleh media televisi. Dari 247 RUU ada 160 RUU yang belum diselesaikan padahal masa kerja mereka akan berakhir tahun 2014 ini. Dari 87 RUU yang telah menjadi UU, banyak diantaranya yang dibatalkan oleh MK karena dinilai bertentangan dengan UUD.
Masyarakat ingin tahu apa kontribusi nyata dari mereka yang berasal dari parpol agama. Tidak hanya setuju dan menikmati berbagai fasilitas mewah yang dibiayai dari uang rakyat. Secara umum, tentulah masyarakat khususnya yang memilih parpol agama menginginkan kinerja yang lebih baik, karena latar belakang pemahaman agama yang dimiliki seharusnya bisa membuat mereka bekerja secara berprestasi, lebih jujur dan lebih amanah.
3. Parpol agama juga korupsi
Adanya kasus korupsi yang terjadi pada kalangan yang berasal dari parpol beragama, kemungkinan adalah faktor terbesar yang menyebabkan banyak masyarakat enggan memilih parpol agama. Apalagi dalam kampanye-kampanyenya, parpol agama mengklaim sebagai parpol yang bersih, sambil menukilkan berbagai ajaran agama. Saat dari kalangan parpol agama ada yang tersangkut kasus korupsi, maka hal ini akan menurunkan tingkat kepercayaan yang lebih tinggi bila hal yang sama terjadi pada parpol nasionalis.
Masyarakat kita yang religius tentu tidak akan terima bila ada parpol yang memakai agama sebagai sarana untuk menarik dukungan, namun pada kenyataannya melakukan perbuatan yang sangat dibenci agama yaitu bersikap khianat, menyalahgunakan wewenang untuk keuntungan sendiri/kelompok dengan mengorbankan kepentingan rakyat, korupsi dan menerima suap. Bukan sampai disitu saja, sikap parpol agama dalam menghadapi kasus korupsi yang menjerat jajarannya juga mendapat penilaian tersendiri dari masyarakat. Pembelaan diri yang berlebihan karena tidak merasa bersalah, menganggapnya sebagai fitnah dan konspirasi, hingga menuduh aparat penegak hukum tanpa bukti-bukti, makin membuat masyarakat tidak percaya dengan parpol agama.
--
Kurangnya dukungan masyarakat yang beragama terhadap parpol agama bukan berarti masyarakat tersebut tidak memahami agamanya dengan baik. Mungkin benar secara tekstual dan keilmuan agama, mereka kalah jauh pintar dibandingkan yang berada dalam jajaran parpol agama. Namun dalam hal merasakan implementasi agama di kehidupan nyata, bisa jadi masyarakat lebih peka. Implementasi ajaran agama dalam kehidupan nyata dan berpolitik bisa jadi dirasakan masyarakat bertolak belakang dengan janji-janji dan jualan parpol agama.
Jajaran parpol agama boleh saja berkelit dengan dalih “Manusia bukan Malaikat, Manusia bukan Nabi”. Namun menjadikan agama sebagai alat untuk menarik dukungan, membuat masyarakat memiliki ekspektasi tinggi bahwa jajaran parpol agama akan menghindari segala perbuatan yang disarankan oleh syetan/iblis. Bila dari kalangan parpol agama tidak bisa melakukannya, maka jangan salahkan bila masyarakat lebih percaya pada kalangan parpol nasionalis yang dianggap bisa mengimplementasikan agama secara nyata, meskipun terlihat agamanya biasa-biasa saja.
Ajaran agama menjadi faktor seksi, yang bisa menarik dukungan rakyat bila dilakukan dengan nyata, tidak hanya kata-kata saja. Hal ini bisa dilakukan baik oleh parpol agama maupun parpol nasionalis. Keuntungan parpol agama adalah masyarakat akan sangat percaya bahkan militan dalam mendukung, bila melihat konsistensi dan keteguhan yang ditunjukkan dengan sesuainya apa yang diucapkan dengan perbuatan. Bila yang terjadi sebaliknya, maka kepercayaan masyarakat akan lari menjauh. Parpol nasionalis pun bisa meraih dukungan berdasarkan sentimen agama, bila jajarannya mampu menunjukkan implementasi pelaksanaan agama dengan baik, meskipun tidak berkoar-koar dan berjanji dengan mengutip berbagai dalil-dalil agama.
Khusus untuk parpol agama, mereka tidak akan mendapatkan kemajuan bila tidak bisa menunjukkan konsistensi antara ajaran agama dengan perbuatan nyata. Paling mungkin perolehannya tidak akan jauh berbeda dari pemilu ke pemilu karena adanya basis massa tradisional yang loyalis, namun sangat berpotensi akan makin ditinggalkan bila makin banyak kontroversi dan kontradiksi dengan ajaran agama yang menjadi platform parpol.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H