Bagaimana jika pelaku kekerasan di sekolah adalah guru di sekolah itu sendiri? Tentulah benar-benar ada yang salah dengan pendidikan di negara ini. Entah dari sistemnya secara nasional maupun lokal, manajemen di sekolah yang amburadul, hingga pribadi guru yang jangan-jangan terdapat bibit psikopat.
Kemarin sore penulis merasakan istri yang terlihat tidak nyaman. Tampak memendam kemarahan atau ada sesuatu yang kurang baik yang dialaminya. Setelah diajak berkomunikasi, ternyata istri penulis marah karena mendapat laporan dari sang anak bahwa saat di sekolah, pada jam pelajaran olahraga, sang guru olahraga memukul kepalanya dengan menggunakan gagang sapu yang terbuat dari kayu. Sang anak menunjukkan area kepala yang dipukul yaitu antara jidat dan ubun-ubun (kepala bagian atas). Juga melaporkan bahwa sesaat setelah dipukul, merasakan pusing.
Mendengar hal ini, penulis pun naik darah. Bagaimana mungkin ada seorang dewasa yang merupakan guru, tega memukul anak perempuan yang baru kelas 1 SD, dibagian yang vital dan sangat rentan menimbulkan cedera serius yaitu bagian kepala. Dengan tangan kosong saja bisa berbahaya, apalagi menggunakan gagang sapu yang terbuat dari kayu.
Sayangnya saat kejadian yang berlangsung sekitar pukul 08-09 waktu Makassar, istri penulis kebetulan tidak ada di sekolah untuk menjaga anak seperti biasanya. Istri sedang ada keperluan di rumah, sehingga penulis yang mengantarkan anak ke sekolah sebelum berangkat ke kantor. Istri akan menjemput anak saat pulang sekolah. Bila saat itu ada di sekolah, tentulah akan bisa melihat langsung kejadiannya dan saat itu juga akan melakukan komplain pada guru bersangkutan dan juga Kepala Sekolahnya.
Penulis dan istri sepakat bahwa hari ini, istri akan menemui Kepala Sekolah untuk melakukan komplain dan meminta agar kejadian tersebut tidak terulang lagi. Apalagi sang guru olahraga memang terlihat kasar dalam menangani anak-anak kelas 1 SD yang baru mengenal dunia pendidikan formal. Orang tua murid lainnya juga mengeluh kala memperhatikan sang guru olahraga dalam mengajar. Bila demikian kasar cara guru memberi pengalaman pertama pada anak-anak yang baru bersekolah, wajar saja bila waktu sekolah akan menjadi sedemikian tidak menyenangkan bahkan menjadi teror dan menyeramkan.
Sebenarnya penulis sendiri ingin datang langsung ke sekolah untuk melakukan komplain. Namun dengan pertimbangan khawatir nanti malah akan emosi akhirnya diurungkan. Istri pun tidak berharap banyak akan mendapat respon yang positif dari Kepala Sekolah, karena Kepala Sekolah juga tidak terlihat aktiv dalam kegiatan sehari-hari di sekolah. Apabila ada guru yang terlambat atau tidak datang, Kepala Sekolah tidak pernah mengambil alih. Anak-anak dibiarkan tanpa pengawasan guru di kelas.
Penulis berpesan pada istri agar untuk tahap awal komplain dengan tenang dan menceritakan tentang kekasaran guru olah raga tersebut yang sudah berlangsung lama. Juga jangan lupa untuk mengaktivkan perekam suara di ponsel, sebagai bukti komplain dan respon yang diberikan sang Kepala Sekolah. Hal tersebut penting untuk bukti berikutnya bila sang guru tidak juga insyaf dan masih terus menjadi model pelaku kekerasan yang nyata bagi murid-muridnya. Istri penulis juga bertekad untuk selalu hadir di sekolah mengawasi sang anak khususnya pada hari ada pelajaran olahraga. Istri diam-diam akan merekam pola mengajar si guru olah raga karena pesimis yang bersangkutan akan berubah bila tidak dibuat kapok. Sebelumnya istri juga sempat merekam seorang guru yang dengan pongah merokok di dalam kelas sambil mengajar murid-murid. Luar biasa bukan?
Eh, kok jadinya terkesan seperti detektif yang melaksanakan misi dan curiga dengan sekolah dan guru-gurunya? Apa boleh buat, ini adalah bentuk kepedulian kami terhadap pendidikan yang sepertinya sudah dibiarkan lama terjadi. Sebenarnya gampang saja, tinggal pindahkan anak penulis ke sekolah lainnya. Akan tetapi hal ini tidak menyelesaikan persoalan. Kasihan murid-murid lain di sekolah tersebut yang orang tuanya tidak punya keberanian untuk komplain, hal ini akan berlanjut terus yang bukan mustahil kelak akan makin parah dan bisa saja menimbulkan korban.
Katanya modal terpenting suatu bangsa adalah Sumber Daya Manusia. Tapi mengapa hal-hal buruk terus saja terjadi di dunia pendidikan? Bahkan terjadi di awalnya pendidikan dasar, sejak kelas 1 SD, di sekolah dasar negeri pula. Serius nih, perasaan jadi campur aduk, antara marah, sedih dan prihatin. Semoga segera ada perubahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H