Mohon tunggu...
Amirsyah Oke
Amirsyah Oke Mohon Tunggu... Administrasi - Hobi Nulis

Pemerhati Keuangan negara. Artikel saya adalah pemikiran & pendapat pribadi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menteri Tamatan SMP vs Birokrasi yang Membanggakan Ijazah/Gelar

28 Oktober 2014   14:43 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:28 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pro kontra merebak terkait penunjukan Susi Pudjiastuti yang hanya tamatan SMP sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Bagi yang mendukung, sangat banyak keunggulan dari Susi Pudjiastuti yang membuat beliau pantas menduduki jabatan Menteri Kelautan dan Perikanan, terlepas dari pendidikannya yang cuma tamatan SMP. Bagi yang kontra, juga sangat banyak alasan yang dikemukakan mulai dari pendidikannya yang dianggap tidak qualified hingga hal-hal lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan pelaksanaan tugas sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Jokowi sendiri pastilah telah memiliki pertimbangan khusus sehingga menunjuk pengusaha sukses di bidang perikanan dan transportasi udara tersebut sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Apalagi nama-nama menteri dalam Kabinet Kerja telah diajukan ke KPK dan PPATK untuk dicek kemungkinan bermasalah terkait kasus korupsi dan pencucian uang.

Penulis sangat mendukung keputusan Presiden Jokowi menunjuk Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Perikanan dan Kelautan. Dukungan ini malah makin kuat setelah mengetahui beliau hanya lulusan SMP. Sebelumnya penulis hanya mengetahui Susi Pudjiastuti adalah pengusaha sukses di bidang transportasi udara dengan maskapai Susi Air. Penulis sangat maklum dengan keputusan Jokowi mengingat sang Presiden adalah birokrat yang memiliki pemikiran out of the box. Pasti ada hal-hal penting dari sosok Susi Pudjiastuti, yang sangat menyentuh sisi manajerial sang Presiden sehingga terpikat pada kemampuannya dan merasa Susi adalah sosok yang tepat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Apalagi hal ini tentu saja diketahui dan mendapatkan pertimbangan dari Jusuf Kalla yang juga terkenal sebagai pemimpin yang out of the box, bekerja cepat dan pekerja keras.

Fakta bahwa Susi Pudjiastuti hanyalah tamatan SMP, justru menjadi keistimewaan tersendiri. Cuma lulusan SMP saja bisa menjadi pengusaha sukses, tentulah beliau memiliki banyak kelebihan yang tidak dimiliki oleh mereka yang berijazah pendidikan tinggi dan memiliki berderet gelar. Hal ini dibuktikan dengan sejajarnya nama Susi Pudjiastuti dengan nama-nama menteri lainnya yang memiliki pendidikan tinggi mulai dari strata satu hingga strata tiga.

Di sisi lain, penunjukan Susi Pudjiastuti sebagai menteri bisa jadi merupakan pesan jelas dan tegas dari Jokowi-JK kepada rakyat Indonesia khususnya pada para birokrasi pemerintah. Pesan tersebut yaitu, ijazah dan pendidikan tinggi yang dimiliki belum tentu menjamin kompetensi dan menjadi garansi akan kemampuan seseorang. Ijazah tak lebih sekadar kertas berisi keterangan pendidikan, gelar pendidikan tak lebih hanya sekadar penghias dan pemanjang nama seseorang, bila tidak disertai dengan bukti nyata terkait kemampuan dan kompetensi dalam suatu bidang atau pekerjaan. Jokowi-JK ingin menunjukkan bahwa Susi Pudjiastuti adalah teladan nyata terkait kompetensi dan kemampuan yang mumpuni, profesional di bidangnya, bermanfaat bagi masyarakat serta berkontribusi pada bangsa dan negara, meskipun hanya memiliki ijazah pendidikan formal setingkat SMP.

Hal ini sepertinya bertolak belakang dengan fenomena yang terjadi di birokrasi, dimana ijazah dan gelar pendidikan tinggi seolah lebih dihargai dibandingkan dengan kompetensi, kinerja dan prestasi kerja. Mereka yang memiliki pendidikan tinggi seperti strata satu (sarjana) dan strata dua (master) seolah menjadi kasta yang lebih tinggi dibanding yang memiliki pendidikan yang lebih rendah. Tak jarang dalam rangka seleksi untuk mendapatkan suatu jabatan di birokrasi, unsur ijazah dan gelar menjadi ajang diskriminasi untuk menggugurkan pegawai lain yang pendidikannya lebih rendah meskipun memiliki kemampuan, kompetensi dan prestasi kerja tidak kalah bahkan lebih baik.

Fenomena diatas mengakibatkan banyak PNS yang berlomba-lomba untuk mendapatkan ijazah dan gelar pendidikan yang lebih tinggi tanpa memperdulikan kualitas apalagi nilai tambah yang akan didapatkan dalam rangka memberikan kinerja yang terbaik dan optimal. Yang terpenting mendapatkan ijazah/gelar bagaimanapun caranya, untuk memenuhi syarat mendapatkan jabatan atau posisi tertentu. Asalkan ada uang, apapun bisa diatur. Bahkan ada yang sampai membeli ijazah demi secepatnya naik pangkat atau untuk mendapatkan jabatan yang diincar atau dijanjikan. Seperti yang diberitakan oleh Kompas dalam berita “Seorang PNS Ditangkap saat Hendak Legalisasi Ijazah Palsu”.

Dalam berita tersebut seorang oknum PNS membeli ijazah sarjana sebuah perguruan tinggi swasta tanpa proses perkuliahan. Cukup membayar sekian juta, maka ijazah sarjana pun ada ditangan. Yang bersangkutan tidak memikirkan bahwa ijazah tersebut bisa jadi palsu. Akhirnya memang benar ketahuan palsu saat yang bersangkutan hendak melakukan legalisasi (legalisir) ijazah yang akan digunakan sebagai syarat kenaikan pangkat dan golongan. Pihak universitas sendiri menyatakan telah terjadi beberapa kali pemalsuan ijazah.

Hal seperti ini mungkin saja sudah banyak terjadi. Baik dengan modus ijazah palsu ataupun ijazah asli namun tanpa isi. Ijazah asli namun tanpa isi yaitu ijazahnya memang resmi dan asli, namun diperoleh tidak melalui proses yang jujur entah bagaimana caranya, seperti skripsi atau tesis yang tidak dibuat sendiri. Hal seperti ini mengakibatkan cukup banyak birokrasi/PNS yang memiliki ijazah pendidikan tinggi, misalnya strata dua dengan gelar master, namun kemampuan dan kompetensinya sangat memprihatinkan. Jangankan memberikan kinerja yang berkualitas dan berprestasi, kreativ apalagi berinovasi, menyesuaikan diri terhadap perubahan yang terjadi di birokrasi pun sangat sulit bahkan resisten. Kejadian-kejadian seperti ini yang membuat birokrasi sulit untuk maju untuk berubah menjadi lebih efisien, efektif, optimal dan lebih melayani. Padahal idealnya, makin tinggi tingkat pendidikan, maka makin meningkat pula kemampuan/kompetensinya yang akan berdampak langsung pada peningkatan kinerja dan kontribusi.

Dengan adanya fenomena seorang Susi Pudjiastuti yang hanya tamatan SMP namun dipercaya menjadi menteri, diharapkan masyarakat dan khususnya para birokrasi/PNS menjadi sadar, bahwa memiliki ijazah dan gelar pendidikan tinggi tidak menjamin kesuksesan jikalau tidak diiringi dengan kemampuan/kompetensi yang seharusnya melekat pada orang yang memiliki ijazah/gelar tersebut. Sebaliknya, tidak memiliki ijazah/gelar pendidikan tinggi bukanlah akhir, karena kemampuan/kompetensi bisa didapatkan dengan berbagai cara baik melalui banyak membaca, pengalaman dan pelatihan yang terus menerus dilakukan dengan ulet dan penuh semangat. Namun bukan berarti upaya untuk mendapatkan ijazah/gelar pendidikan tinggi hingga ke tingkat yang paling tinggi tidaklah perlu atau tidak berguna, asalkan diraih dengan proses yang jujur dan berkualitas. Hal ini tentu saja tercermin dari meningkatnya pengetahuan dan kemampuan/kompetensi. Dengan demikian, juga akan terjadi peningkatan kinerja, produktivitas dan juga prestasi. Manfaat dan kontribusi yang diberikan pun akan semakin banyak dan semakin tinggi dibandingkan sebelumnya.

Apa yang dilakukan Presiden Jokowi patut diacungi jempol. Presiden sangat menghargai kemampuan/kompetensi, profesionalisme dan prestasi seorang wanita bernama Susi Pudjiastuti meskipun hanya memiliki ijazah formal SMP. Hal ini hendaknya menjadi cermin dalam rangka memperbaiki dan meningkatkan kualitas birokrasi Indonesia. Birokrasi hendaknya lebih menghargai kemampuan/kompetensi, kinerja, kontribusi dan prestasi dibandingkan hanya dengan melihat ijazah/gelar pendidikan sang pegawai.

Ijazah/gelar yang dimiliki PNS harus disandingkan dengan kemampuan/kompetensi, kinerja, kontribusi dan prestasi yang dicapainya. Jangan sampai faktor ijazah/gelar pendidikan menjadi alat diskriminasi bagi pegawai yang berkualitas sehingga terhalang karirnya. Hal ini akan mematikan semangat kerja dan mengecilkan keinginan untuk meningkatkan kualitas dan kemampuan pegawai di luar jalur pendidikan tinggi formal. Bila sampai terjadi, maka organisasi menjadi tidak sehat. Para menteri dalam kabinet kerja Jokowi-JK harus memperhatikan para SDM atau PNS yang dimilikinya. Lebih khusus lagi harus menjadi perhatian bagi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dimana sosok Yuddy Chrisnandi menjadi menterinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun