Mohon tunggu...
Amirsyah Oke
Amirsyah Oke Mohon Tunggu... Administrasi - Hobi Nulis

Pemerhati Keuangan negara. Artikel saya adalah pemikiran & pendapat pribadi.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Reformasi Birokrasi vs Revolusi Mental (Mengakali Hand Key)

13 Desember 2014   14:31 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:23 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_382303" align="aligncenter" width="219" caption="Mesin Pencatat Kehadiran Elektronik dengan sidik jari."][/caption]

Reformasi Birokrasi dilaksanakan pemerintah untuk menciptakan birokrasi (pejabat/PNS) yang profesional dengan karakteristik, berintegrasi, berkinerja tinggi, bebas dan bersih KKN, mampu melayani publik, netral, sejahtera, berdedikasi, dan memegang teguh nilai-nilai dasar dan kode etik aparatur negara. Reformasi birokrasi mulai dilaksanakan pemerintah pada tahun 2007. Sistem, sarana dan prasarana dibuat dan disediakan agar reformasi birokrasi dapat berjalan dan bisa berhasil mencapai tujuannya.

Salah satu sarana yang digunakan dalam era reformasi birokrasi adalah pencatatan kehadiran pegawai dengan sistem elektronik. Sistem elektronik ini adalah dengan menggunakan sidik jari pegawai saat masuk dan pulang kantor pada jam kerja normal ataupun pada saat jam kerja lembur. Sidik jari yang dicatat biasanya pada ibu jari (jempol) ataupun semua jari (lima jari), tergantung jenis mesin pencatat/perekam sidik jari yang digunakan.

Sidik jari yang terekam ini akan terhubung langsung dengan sistem penggajian yang menghitung komponen penghasilan pegawai seperti tunjangan remunerasi, uang makan dan uang lembur. Secara otomatis akan terhitung berapa tunjangan atau uang lembur yang didapatkan pegawai setiap bulannya berdasarkan kehadirannya di kantor. Pegawai yang tidak masuk kantor, terlambat ataupun pulang sebelum waktunya akan langsung mendapatkan sanksi berupa pemotongan penghasilan sesuai tarif/persentase yang ditentukan berdasarkan peraturan menteri.

Sebagai contoh ilustrasi, bila terlambat s.d. 30 menit akan dipotong 0,5%, s.d. 60 menit dipotong 1,25%, s.d. 120 menit dan seterusnya. Makin banyak terlambat atau pulang sebelum waktunya apalagi tidak masuk kantor, maka tunjangannya akan makin banyak berkurang. Bukan itu saja, juga akan mendapatkan hukuman disiplin bila telah melewati batas toleransi yang ditetapkan oleh peraturan menteri yang juga akan berdampak pada pengurangan tunjangan dalam jangka waktu tertentu tergantung hukuman yang diberikan.

Tentunya tidak ada pegawai yang senang atau ingin penghasilannya berkurang setiap bulan gara-gara terkena sanksi akibat terlambat atau pulang sebelum waktunya. Mungkin kalau bisa, banyak yang senang bila tidak perlu masuk kantor/tidak perlu bekerja namun penghasilan tetap utuh/tinggi seperti PNS yang rajin dan berkinerja :) Untuk mengantisipasi hal ini, banyak pegawai yang menjadi relatif disiplin dibanding sebelumnya, dengan datang lebih pagi agar tidak terlambat, pulang kantor tepat waktu, atau makin rajin lembur untuk menyelesaikan pekerjaan yang belum selesai pada jam kerja normal.

Sayangnya ada juga cara untuk mengakali sistem pencatatan kehadiran tersebut. Tujuannya agar penghasilannya tidak berkurang walaupun yang bersangkutan datang terlambat, pulang lebih cepat dari yang ditentukan, tidak pernah lembur atau bahkan tidak perlu datang ke kantor sama sekali. Caranya yaitu dengan memasukkan sidik jari dari orang-orang yang berbeda (tentunya yang mau bekerja sama karena sama-sama untung) saat perekaman awal/pertama kali sidik jari untuk identifikasi awal masing-masing pegawai.

Saat perekaman sidik jari pertama kali, setiap pegawai akan diminta untuk memasukkan sidik jari sebanyak dua atau tiga kali. Tentu yang dimaksudkan adalah semua sidik jari yang berasal dari pegawai yang sama, baik dari tangan kanan maupun tangan kiri. Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi andaikan salah satu sidik jari tidak berhasil dikenali mesin, maka masih bisa menggunakan sidik jari dari tangan lainnya. Hal ini lah yang bisa digunakan oleh oknum untuk berbuat curang.

Perekaman sidik jari pertama menggunakan jari dari tangannya sendiri, namun perekaman yang kedua dan ketiga menggunakan jari tangan orang lain yang mau bekerja sama dengannnya. Hal ini dimaksudkan agar ada yang “mewakili” melakukan presensi kehadiran bila suatu saat pegawai tersebut terlambat, pulang sebelum waktunya atau bahkan tidak masuk kantor sama sekali. Dengan demikian penghasilannya tidak akan berkurang sama sekali. Cara seperti ini akan makin leluasa dilakukan bila kurang pengawasan ataupun tidak dilakukan audit secara berkala. Apalagi bila sudah bekerja sama dengan pihak yang berwenang.

Bila masih ada yang melakukan kecurangan seperti cara diatas (mungkinkah banyak?), maka makin nyata bahwa reformasi birokrasi belum merasuk ke dalam hati nurani. Dengan kata lain, mentalnya belum siap atau bahkan menolak adanya reformasi birokrasi sehingga berusaha mengakali sistem dan sarana pendukung pelaksanaan reformasi birokrasi. Untuk itulah perlu revolusi mental yang khususnya diawali dan dilaksanakan oleh para birokrasi pemerintah baik pejabat maupun bukan pejabat.

Masih ada beberapa hal terkait sistem dan sarana yang dimaksudkan untuk mendukung berjalannya reformasi birokrasi dengan baik, namun pada tataran implementasi masih terbuka celah dan kesempatan untuk mengakalinya. Hal ini membuat reformasi birokrasi secara administrasi (catatan) terlihat telah berhasil dilakukan, namun kenyataan di lapangan bisa jadi tidak sebaik dengan yang dilaporkan.

Banyak pihak khususnya di kalangan PNS sendiri mempersepsikan reformasi birokrasi secara parsial. Yang banyak dipahami adalah reformasi birokrasi dilakukan dengan peningkatan penghasilan untuk menghilangkan tindakan-tindakan korupsi, pungli dan gratifikasi. Juga reformasi birokrasi lebih banyak disoroti pada pelayanan kepada masyarakat secara langsung seperti di ruangan loket, misanya saat pengurusan KTP, SIM, pengurusan ijin dan sejenisnya. Padahal birokrasi tidak hanya berkutat pada pekerjaan-pekerjaan tersebut. Reformasi birokrasi dimaksudkan untuk memperbaiki semua aspek terkait birokrasi yang tidak efisen, tidak efektif dan tidak produktif.

Peningkatan penghasilan/gaji memang komponen penting dalam reformasi birokrasi. Agar para birokrasi makin termotivasi untuk bekerja dengan sebaik-baiknya. Namun demikian, reformasi juga harus juga didukung oleh banyak hal, utamanya adalah perubahan mental. Jika tidak, maka birokrasi hanya akan termotivasi pada kenaikan penghasilan tanpa memperdulikan kinerja dan dampak apa yang akan diberikan untuk kesejahteraan rakyat dan kemanjua bangsa dan negara. Reformasi Birokrasi akan gagal tanpa adanya Reformasi (Revolusi) Mental.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun