[caption id="attachment_382961" align="aligncenter" width="544" caption="Twit yang sebelumnya dianggap milik Puan Maharani"][/caption]
Satu dua hari lalu, di media sosial ramai-ramai orang-orang membully twit yang dianggap milik Puan Maharani. Di Facebook, banyak yang menampilkan screenshut twit tersebut dan menimpalinya dengan kalimat-kalimat mengejek dan merendahkan. Screen shut tersebut terus dishare pengguna FB lainnya dengan komentar membully yang beranak pinak.
Twit yang dikira milik Puan Maharani sebenarnya sederhana, bahkan sepatutnya diapresiasi karena mengucapkan belasungkawa atas terjadinya musibah longsor di daerah Banjarnegara. Hanya saja, memang terdapat kata “jawa barat”. Dan dua kata “jawa barat” inilah yang menjadi amunisi bagi orang-orang tersebut untuk membully.
Fenomena ini, menunjukkan adanya kebodohan bahkan mungkin sebagai tanda bahwa mereka yang membully hal tersebut sedang sakit baik otak maupun hatinya. Mengapa demikian? Adanya “jawa barat” dalam twit tersebut bukanlah substansi yang patut dipermasalahkan apalagi dibesar-besarkan. Inti twit tersebut adalah untuk menunjukkan empati dan turut prihatin, ikut bersedih atas kemalangan yang sedang menimpa Saudara-saudara kita di Banjarnegara akibat tanah longsor. Perkara ada kesalahan berupa kata-kata “jawa barat”, bagi yang mau berpikir positif dan mengerti konteks/maksudnya, tentulah bisa memakluminya dan tidak membesar-besarkan. Mungkin mereka yang membully tersebut ingin menunjukkan kepada dunia bahwa dirinya memiliki pengetahuan mumpuni dalam ilmu geografi, menguasai peta dan hapal semua daerah dan wilayah di Indonesia. Puas kah mereka telah setelah membully hal tersebut? Entahlah.
Belakangan justru diketahui, bahwa twit yang ramai dibully yang dianggap merupakan akun twitter milik Puan Maharani ternyata palsu. Beberapa media mainstream telah memberitakan hal tersebut. Mereka yang telah terlanjur menshare dan membully pun segera menghapus status atau twit di medsosnya masing-masing. Bila masih ada yang belum mau menghapusnya, tentulah luar biasa tingkat kebebalannya.
Apakah mereka yang telah menshare dan membully tersebut membuat status atau twit untuk mengoreksi atas kesalahan yang telah dilakukannya? Apakah mereka membuat permintaan maaf di media sosial atas kesalahan tersebut? Sepertinya tidak ada. Bila ada yang melakukannya, maka patut diacungi jempol, hal tersebut menunjukkan yang bersangkutan bisa jadi khilaf dan segera sadar untuk memperbaiki kesalahannya.
Peristiwa ini semakin mengkorfimasi bahwa kebencian berakibat pada matinya hati nurani dan menumpulkan akal pikiran. Orang-orang yang diliputi kebencian yang akut dan kronis tersebut bisa jadi tidak segan-segan akan melakukan tindakan yang melewati batas kemanusiaan. Saat ini, mungkin mereka hanya bisa melakukannya melalui tulisan di media sosial. Tetapi suatu waktu, bila memiliki kesempatan, apalagi kekuasaan, mungkin saja akan menjadi orang-orang yang bermental seperti Hitler, Mushollini, ISIS dan orang-orang kejam lainnya. Semua yang berasal dari yang dibenci adalah salah, meskipun setelah dipikirkan tidaklah demikian adanya. Tapi apa mau dikata, mereka telah memilih untuk mematikan hati nurani dan menumpulkan pikirannya, sehingga yang dibenci pasti selalu salah, harus dipermalukan dan bila mungkin dibasmi untuk memuaskan nafsunya yang tidak pernah berujung.
Apakah orang-orang seperti itu memiliki rasa malu? Entahlah. Tetapi semoga mereka akan segera sadar. Seperti dalam lagu Bimbo: "Semoga kita semua terhindar dari hal-hal yang demikian". Aamiin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H