Salah satu fenomena sosial yang saat ini masih ramai dibicarakan melalui pemberitaan media tulis maupun media massa adalah cancel culture. Lisa Nakamura, seorang profesor studi media dan sinema di University of Michigan, Amerika Serikat menjelaskan fenomena ini sebagai “budaya pemboikotan” terhadap public figure, merek perusahaan, atau konsep tertentu. Hal ini bisa terjadi lantaran masyarakat ingin menghukum seseorang akibat pelanggaran terhadap kelaziman sosial, seperti skandal perselingkuhan, kekerasan seksual, hingga penyampaian opini yang menyinggung suatu pihak. Cancel culture ini tak ubahnya seperti usaha “mempermalukan” dan “membuang” seseorang dari lingkungan masyarakat. Lebih lanjut, Martinez (2021) mengatakan penting untuk dicatat bahwa istilah cancel culture mungkin terdengar baru, tetapi akar budaya yang mendorongnya sudah sangat tua.
Dilansir dari Kompas (14/2), public figure yang baru-baru ini telah mengalami imbas dari cancel culture adalah Kim Seon Ho, salah seorang aktor Korea Selatan. Dalam kasusnya, Kim Seon Ho di-cancelled oleh publik dikarenakan tuduhan dari mantan kekasihnya yang menyebut dirinya memaksa untuk melakukan aborsi. Atas kejadian ini, Kim Seon Ho harus kehilangan banyak project film dan sponsor karena mereka tidak mau memperoleh imbas dari skandal tersebut. Di Indonesia, kasus cancel culture juga kerap terjadi di masyarakat. Sebut saja kasus Awkarin yang pernah melanggar hak intelektual beberapa seniman hingga Saipul Jamil yang menjadi pelaku kejahatan seksual.
Fenomena cancel culture banyak terjadi melalui media sosial. Bagaimana tidak, media sosial menjadi salah satu tools yang kuat untuk membangkitkan budaya partisipatif digital dan gerakan sosial (Velasco, 2020). Hal ini juga memungkinkan seseorang untuk “lebih mudah” menyerang, memaki, dan menjatuhkan orang lain tanpa harus menunjukkan identitas asli mereka. Terlebih, media sosial menjadi ruang aman untuk menembus berbagai aspek masyarakat. Tidak peduli bagaimana latar belakang mereka. Intinya, mereka bisa melakukan “canceling” dengan bebas. Lebih lanjut, cancel culture bahkan bisa menyerang seseorang yang belum benar-benar dipastikan bersalah.
Dengan melihat hal tersebut, bisa dibayangkan bahwa cancel culture sangat berdampak bagi korban maupun masyarakat. Dari segi psikologis, korban cancel culture bisa mengalami stres dan gangguan psikologis lain karena terisolasi secara sosial. Pola cancel culture sebagai bentuk “punishment” mungkin bisa membuat mereka belajar dari kesalahan. Namun, hal ini juga bisa menjadi bumerang apabila mereka malah cenderung melakukan “pembelaan diri” karena merasa terpojokkan. Hal ini sesuai dengan penjelasan Jamieson (2021) yang menyebutkan bahwa hal tersebut akan menghambat komunikasi dan mendorong mereka merasa menjadi “korban” sehingga mudah bersikap acuh tak acuh dan tidak belajar.
Adapun dari sisi masyarakat, hal ini dapat mengakibatkan mereka menjadi “playing the game” karena dengan mudahnya mengatasnamakan “kebaikan bersama-memberi pelajaran” dengan melakukan bullying. Apalagi, terkadang pemboikotan dilakukan kepada pihak-pihak lain yang “dianggap terlibat” sehingga yang terjadi adalah kecenderungan untuk fokus pada objek atau pelaku daripada perilaku negatif yang dilakukan. Terlebih, meskipun dengan cancel culture orang mungkin akan lebih sadar (aware) akan isu yang sedang diperbincangkan, hal tersebut lebih cenderung negatif karena self awareness dibangun dengan cara yang salah dimana sebenarnya bisa digunakan cara lain yang lebih manusiawi dan bermoral.
Dalam membahas moral, pelaku cancel culture juga beranggapan bahwa mereka melakukan hal tersebut untuk menuntut obligasi moral (tanggung jawab moral) atas pelanggaran yang dilakukan. Sebagai contoh, pelaku kejahatan seksual seperti Saipul Jamil dikhawatirkan memberikan contoh buruk bagi masyarakat karena dianggap memberikan kesan normalisasi terhadap kejahatan seksual. Hal ini dikarenakan terdapat glorifikasi berlebihan setelah dia keluar dari penjara. Glorifikasi ini berupa perilaku fans-nya yang mengelu-elukan dia saat keluar dari penjara hingga kehadirannya di stasiun televisi.
Dalam kasus tersebut, perlu digarisbawahi bahwa “glorifikasi memang seharusnya tidak dilakukan”, tetapi bukan berarti kita dibenarkan untuk membenarkan sesuatu yang buruk dengan keburukan. Untuk itu, hal yang sepatutnya dilakukan adalah canceling cancel culture dan menggantinya dengan budaya yang lebih baik dan mampu memberikan efek konstruktif. Maka dari itu, penulis mengajukan dua budaya yang bisa dikembangkan untuk mengganti cancel culture ini.
1. Compassion Culture
Seperti yang dikatakan oleh Betty Hart dalam TEDxCherryCreekWoman dengan judul Canceling Culture with Compassion, budaya cancel culture bisa diganti dengan “budaya kasih sayang” yang lebih toleran dan mengedepankan ruang konstruktif untuk belajar. Seseorang dimungkinkan untuk belajar di lingkungan yang mau merangkul mereka tanpa adanya perlakuan-perlakuan negatif. Hal ini sesuai dengan penelitian Jazaieri (2018) yang menyebutkan bahwa compassion bermanfaat untuk mendidik seseorang dengan efektif dan berjangka panjang.
2. Accountability Culture