Kampung adat cireundeu terletak di Cireundeu, Leuwigajah, Kec. Cimahi Sel, Kota Cimahi, Jawa Barat. Nama cireundeu sendiri memiliki arti yakni ci adalah "air" dan reundeu adalah "jenis tumbuhan". Kedatangan kami dari kelompok Modul Nusantara Pertukaran Mahasiswa Merdeka UPI ke Desa adat Cireundeu ini ialah untuk mengenal lebih dalam adat dan budaya dari  salah satu kebudayaan Sunda selain itu juga untuk menjalin silaturahmi sesama manusia yakni masyarakat disana.Â
Sesampainya kami di tempat kami disambut oleh tokok adat/pemandu yakni salah satu masyarakat dari desa adat tersebut, disana kami berkumpul di Balai dan di jelaskan terkait sejarah Desa Cireundeu beserta adat dan budaya yang masih dijaga oleh masyarakat didesa tersebut. Masyarakat kampung adat cireundeu sendiri masih melestarikan dengan kuat adat dan budaya dari leluhurnya, mereka memiliki kepercayaan yang disebut sunda wiwitan yakni kepercayaan terhadap leluhur atau nenek moyang yang ajarannya terkait kemanusiaan dan kebudayaan namun mereka tetap percaya bahwasanya Tuhan itu 1. Namun dengan kuat dan tetap berpegang teguh akan adat dan budaya leluhur/nenek moyang masyarakat Desa Cireundeu tidak lepas atau tidak ketinggalan akan perkembangan zaman mereka tetap masih dan mau mengikuti perkembangan teknologi.
Kampung adat cireundeu memiliki tata wilayah hutan yang telah diwarisi dari leluhurnya dahulu yakni :
- hutan larangan yakni hutan ini tidak boleh dimasuki sembarangan karena harus memiliki alasan jika ingin memasukinya dan didalamnya juga masih banyak tumbuhan yang asri dan hewan langka, masyarakat berpendapat bahwa biarlah hutan itu tumbuh dan berkembang sendirinya tanpa ada campur tangan manusia
- hutan tutupan yakni hutan reboisasi yang digunakan masyarakat pepohonannya namun mereka kembali menanam pepohonan yang telah mereka tebang/gunakan
- hutan baladahan yakni hutan pertanian yang digunakan oleh masyarakat untuk berkebun
Masyarakat kampung adat cireundeu juga memiliki tradisi dari pangannya yakni sejak tahun 1918 masyarakat disana menjadikan singkong sebagai sumber pangan utama dan dari nenek moyangnya terdahulu mereka tidak memakan nasi beras. Sejak tahun 1918 mereka mengkonsumsi singkong dan seiring berjalannya waktu mereka pernah mencoba untuk mengkonsumsi jagung, tawas dan yang lainnya namun pada tahun 1924 ditetapkan bahwasanya singkonglah yang menjadi sumber pangan utama masyarakat disana yakni menjadi rasi singkong. Selain menjadi sumber pangan masyarakat, singkong juga menjadi sumber ekonomi bagi mereka, berbagai macam makanan juga dihasilkan dari singkong.Â
Namun masyarakat disana tidak mengekspor hasil olahan rasi singkong dan makanan tersebut ke daerah luar sebab amanah/warisan dari leluhur dikatakan bahwa hasil pangan bukan untuk diperjual belikan, tetapi siapapun yang ingin belajar untuk mengolahnya diperbolehkan untuk datang dan mempelajarinya. Bagi mereka lebih baik membagi ilmu dari pada memperjual belikan hasil pangan yang dibuat dan telah diwarisi oleh para leluhur . Namun jika ada masyarakat luar atau pengunjung yang memesan untuk dijadikan oleh-oleh diperbolehkan namun mereka hanya mempersiapkan kg- 1kg saja.
Didesa cireundeu terdapat dua komunitas : masyarakat adat dan luar adat. Bagi masyarakat adat tetap mengkonsumsi rasi singkong dan ada masyarakat luar adat yakni mereka yang menikah dengan masyarakat luar dan mereka tidak memakannya namun tetap ada juga masyarakat luar yang memakannya. Bagi masyarakat cireundeu yang ingin berpindah pangan dari rasi singkong ke nasi beras harus memberitahu tokoh adat dan melakukan upacara adat untuk perpindahan pangan tersebut, namun jika ada salah satu masyarakat yang tidak melaksankan upacara maka tidak ada sanksi hukum namun sanksi sosial kemungkinan akan terjadi kepadanya.
Selain upacara adat perpindahan pangan tersebut, masyarakat adat cireundeu juga masih melaksanakan upacara-upacara adat lainnya seperti upacara kelahiran, pernikahan dan kematian. Bagi masyarakat cireundeu ada pantangan yang tidak boleh dilakukan setelah menikah yakni, setelah menikah mereka tidak boleh bercerai dan tidak boleh poligami bagi laki-laki dan poliandri bagi perempuan, kemudian mereka juga dilarang menikah dengan masyarakat beda bangsa. Untuk pernikahan masyarakat cireundu ijab langsung bukan dilakukan oleh laki-laki namun dengan Perempuan. Pada hal kematian pemakaman masyarakat cirendeu masih sama seperti pemakaman lainnya namun mereka menggunakan peti dan jenazahnya juga tetap dikafani namun kain kafannya berbeda potongan dan penggunaannya seperti penggunaan kain kafan biasanya. Bagi masyarakat cireundeu yang suami atau istrinya sudah meninggal namun ingin menikah lagi, setelah acara pemakaman maka dilakukan upacara cerai mati agar bisa menikah lagi.
Di kampung adat cireundeu juga masih melestarikan kesenian-kesenian dari para leluhur ataupun kebudayaan yang telah diwarisi dari zaman dahulu, contohnya seperti angklung buncis, kecaping suling, karinding, ngagondang, pencak silat, jaipongan dan juga yang lainnya. Kegiatan lainnya juga ada yaitu yang namanya amitan berarti permisi untuk memasuki wilayah tersebut. Kami dari kelompok modul nusantara juga melakukan amitan tersebut yang mana amitan tersebut dilakukan diatas puncak salam yang sebelumnya kami daki dengan ketinggian 903 mdpl.Â
Disana kami membuat lingkaran dan memejamkan mata kemudian para pemandu atau salah satu warga disana memainkan alat musik  serta yang lainnya menyanyikan lagu dengan bahasa sunda, setelah lagu itu selesai barulah kami diperbolehkan untuk membuka mata. Sebelum mendaki puncak teserbut kami diberi wejangan bahwasanya tidak boleh menggunakan alas kaki dan baju berwarna merah. Alasannya bagi masyarakat disana hutan merupakan ibu mereka yakni ibu batin ataupun gentong bumi yang mana hutan menghasilkan sumber daya alam yang dibutuhkan manusia mulai dari air, kayu, bahan pangan makanan dan lain sebagainya maka dari itu pastilah tidak ada jarak antar raga kita dengan ibu, mereka berpendapat bahwa "ketika hutannya rusak airnya habis maka masyarakatnya pun habis/punah" maka harus dijaga sebaik mungkin. Kemudian untuk baju warna merah alasannya ialah menurut mereka merah adalah lambang api dan tidak mungkin melakukan kunjungan ke tempat baik dengan gairah api yang mana itulah warna merah tersebut.
Kegiatan yang kami lakukan disana bukan hanya mendengarkan arahan terkait adat dan budaya dari daerah sunda yakni lebih tepatnya dari Desa Cireundeu tersebut, namun kami juga diajarkan beberapa hal yakni : tata cara membuat olahan rasi singkong, membuat berbagai bentuk dari janur dan juga belajar kesenian angklung buncis. Disana kami dibagi menjadi 3 kelompok dan masing-masing mempelajari dari 3 kegiatan tersebut.