Degradasi, berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah sebuah kemunduran, kemerosotan, atau penurunan terhadap kualitas dan mutu dari suatu objek tertentu. Kata degradasi sendiri sering disandingkan dengan moralitas karena banyak pihak yang menilai bahwa dewasa ini, seisi dunia sedang mengalami krisis moral yang sangat memprihatinkan.
Di Indonesia sendiri, aku merasa bahwa para leluhur kita sangatlah menjunjung tinggi moralitas dan adab. Selain itu, dalam proses terbentuknya Indonesia, metode dengan pendekatan-pendekatan yang logis juga senantiasa digunakan. Akan tetapi, dewasa ini, aku merasa bahwa telah terjadi penurunan kualitas sumber daya manusia yang tidak hanya sekadar degradasi moral sahaja. Lebih buruk dari itu, kita sedang berperang dengan sesuatu yang seharusnya menjadikan kita sebagai seorang manusia seutuhnya; yaitu empati, moral, dan nalar yang logis.
Lantas, apa penyebab dari degradasi sumber daya manusia di Indonesia dan bagaimana seharusnya kita menyikapinya?
Terkikisnya Adab dan Empati di Hati Masyarakat
Adab merupakan sebuah sikap untuk menghormati orang lain dengan segala hak dan kewajibannya. Empati, sebagai pelengkap dari adab, merupakan sebuah rasa untuk menempatkan diri sebagai orang lain. Kedua hal ini, adab dan empati, harusnya berada di dalam setiap jiwa manusia karena keduanya lah yang membedakan manusia dengan makhluk yang lain. Hewan, yang notabene tidak beradab, hanya patuh kepada pihak yang lebih kuat darinya. Sedangkan manusia, dengan adab dan empatinya, akan senantiasa memanusiakan manusia terlepas dari apapun tingkat sosialnya. Yang muda dan yang tua, si kaya dan si miskin, atasan dan bawahan, semuanya saling menghormati hak dan kewajibannya satu sama lain.
Masalahnya adalah, saat ini semakin banyak orang yang tidak memandang orang lain sebagai manusia seutuhnya. Mereka menggerogoti norma kesopanan yang sudah melekat di masyarakat Indonesia dengan dalih kesetaraan, kebebasan, perbedaan strata sosial, dan lain sebagainya.
Terlebih lagi, masyarakat kita juga perlahan lebih suka "menikmati" kesulitan orang lain atau sekadara "terlihat" membantu daripada terjun secara langsung dan memberikan bantuan nyata. Hal ini dibuktikan dengan makin maraknya orang yang lebih memilih untuk mengambil rekaman video ketika sedang terjadi musibah, entah kecelakaan ataupun bencana alam, daripada membantu korban untuk bisa mendapatkan pertolongan pertama.
Bahkan tak jarang kita dapati, semakin banyak pula orang yang "sampai-hati" mengabaikan ataupun merampas hak untuk hidup orang lain hanya demi sesuatu yang tidak berdasar seperti harta, jabatan, pasangan, ketenaran, atau bahkan ego/emosi sesaat yang tidak bisa dikontrol dengan baik. Sungguh miris dan membuat malu, sebenarnya, seakan-akan adab dan empati tidak pernah ada di bumi Indonesia ini.
Menumpulnya Logika dan Nalar Generasi Penerus
Nalar, di sisi lain, merupakan sebuah berkah dari Tuhan agar manusia bisa berpikir, berkembang, dan beradaptasi dengan segala kondisi yang ada di bumi. Berbeda dengan adab dan empati yang terhubung dengan hati/jiwa seseorang, nalar dan logika merupakan kemampuan yang dimiliki oleh otak manusia.
Sayangnya, kemampuan berpikir ini semakin hari semakin menumpul karena munculnya banyak kemudahan yang difasilitasi oleh perkembangan iptek. Artificial intelligence, internet, smartphone, dan sejenisnya, merupakan contoh kecil yang membuat kita merasa terbantu sehingga menjadi "mager" untuk bernalar dan berpikir logis. Bahayanya adalah, ketika manusia sudah tidak bisa berpikir secara logis, mereka tidak akan mampu berpikir kritis. Jika hal ini terjadi, entah kegelapan seperti apa yang akan umat manusia hadapi di masa depan.
Sebagai contoh, banyak sekali masyarakat kita yang terkecoh dan tertipu dengan informasi palsu berupa hoaks, teori konspirasi, video "ai-generated", dan informasi-informasi lainnya. Mereka, yang tertipu, rasanya terlalu malas untuk melakukan verfikasi informasi yang jikalau mereka mau, mereka bisa mencarinya di internet tanpa harus riset ke perpustakaan-perpustakaan terkemuka.
Selain itu, jutaan orang yang terjerat hutang karena judi online juga menjadi bukti nyata akan matinya akal dan logika bagi sebagian masyarakat di Indonesia. Para penjudi yang kadang disebut sebagai "korban", bukannya pelaku, ini sudah hilang akal sampai-sampai bisa mempercayai janji-janji manis para bandar judi. Padahal, jikalau mereka mau berusaha menggunakan otaknya sedikit sahaja, mereka harusnya tahu jikalau tidak akan pernah ada penjudi yang menang melawan bandar. Apalagi sistemnya online.
Penyebab dan Solusi
Degradasi sumber daya manusia ini disebabkan oleh banyak hal, seperti kemajuan iptek yang mulai tidak bisa diikuti oleh kebanyakan orang, individualisme dan narsisme yang menjadi trend masa kini, dan konten di media sosial yang tidak ter-filter dengan bijak. Tapi, ini semua harusnya bisa dikendalikan jikalau kualitas pendidikan yang ada di Indonesia tidak seburuk yang ada saat ini.
Banyak yang bilang, pendidikan di Indonesia hanya fokus ke iptek, tapi lupa menguatkan landasan moralnya. Dan ini bukan cuma di Indonesia, lho, tapi di seluruh dunia. Nah, lucunya adalah, pengembangan terhadap ilmu pengetahuan yang seharusnya menjadi prioritas utama kita, nyatanya tidak menghasilkan output yang sesuai pula. Entah itu nilai akademik maupun moral, keduanya sama-sama gagal. Ini terjadi karena biasnya tujuan dari sistem pendidikan itu sendiri, yang lebih mengutamakan "tampaknya" daripada realitas yang ada di lapangan.
Sebenarnya, solusi dari permasalahan ini sungguhlah cukup sederhana. Kita harus mengingat kembali untuk apa pendidikan itu ada. Apakah demi membuat kita "terlihat" pintar atau membuat kita mengerti akan cara kerja dunia dan seisinya? Daripada mengedepankan teori hafalan, mengapa tidak membuat bagaimana siswa bisa mengerti kenapa a-b-c ini bisa ada? Jikalau hal ini diterapkan dalam sistem pendidikan kita, rasanya kita tidak perlu khawatir cita-cita "Indonesia Generasi Emas 2045" tidak akan tercapai.
Selain itu, pemerintah juga harus menggandeng semua elemen masyarakat untuk bersama-sama membenahi dan mengembalikan kultur beradab yang seharusnya menjadi jati diri dari Bangsa Indonesia. Tidak bisa, kita, jikalau hanya mengandalkan para guru di sekolah dalam mendidik budi pekerti anak-cucu dan generasi penerus kita. Bukan karena tidak kompeten, tapi karena budi pekerti itu merupakan sebuah pembiasaan yang harus dibiasakan setiap menit-detiknya.
Kesimpulan
Degradasi sumber daya manusia di Indonesia semakin hari semakin memprihatinkan. Banyak orang yang mulai mengabaikan hak dan kewajiban orang lain dan mengedepankan keegoisan diri sendiri. Selain itu, tidak sedikit pula di antaranya yang tidak dapat berpikir secara logis, apalagi kritis, dalam menanggapi sebuah hal atau isu. Hal ini tentu harus menjadi perhatian bersama karena bisa mengancam terwujudnya "Indonesia Generasi Emas 2045". Sebagai permasalahan utama, sistem pendidikan di Indonesia haruslah dikembalikan sesuai dengan fitrahnya. Tentu sahaja, pemerintah haruslah bahu-membahu bersama rakyat untuk dapat merealisasikannya, demi Indonesia yang aman, nyaman, dan layak untuk ditinggali generasi yang akan datang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H