Mohon tunggu...
Amir Idris
Amir Idris Mohon Tunggu... Lainnya - Manusia biasa

Hidupilah hobimu sebelum hobi menghidupimu | Bukan expertise. GPP (Ganti Pola Pikir) adalah sebuah mini seri “ringan” yang ditulis untuk mengupas sedikit banyak cara pandang orang awam atas isu di masyarakat (akupun termasuk dalam kategori masyarakat awam).

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Degradasi Sumber Daya Manusia di Indonesai GPP8

23 Oktober 2024   19:14 Diperbarui: 24 Oktober 2024   14:35 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagai contoh, banyak sekali masyarakat kita yang terkecoh dan tertipu dengan informasi palsu berupa hoaks, teori konspirasi, video "ai-generated", dan informasi-informasi lainnya. Mereka, yang tertipu, rasanya terlalu malas untuk melakukan verfikasi informasi yang jikalau mereka mau, mereka bisa mencarinya di internet tanpa harus riset ke perpustakaan-perpustakaan terkemuka.

Selain itu, jutaan orang yang terjerat hutang karena judi online juga menjadi bukti nyata akan matinya akal dan logika bagi sebagian masyarakat di Indonesia. Para penjudi yang kadang disebut sebagai "korban", bukannya pelaku, ini sudah hilang akal sampai-sampai bisa mempercayai janji-janji manis para bandar judi. Padahal, jikalau mereka mau berusaha menggunakan otaknya sedikit sahaja, mereka harusnya tahu jikalau tidak akan pernah ada penjudi yang menang melawan bandar. Apalagi sistemnya online.

Penyebab dan Solusi

Degradasi sumber daya manusia ini disebabkan oleh banyak hal, seperti kemajuan iptek yang mulai tidak bisa diikuti oleh kebanyakan orang, individualisme dan narsisme yang menjadi trend masa kini, dan konten di media sosial yang tidak ter-filter dengan bijak. Tapi, ini semua harusnya bisa dikendalikan jikalau kualitas pendidikan yang ada di Indonesia tidak seburuk yang ada saat ini.

Banyak yang bilang, pendidikan di Indonesia hanya fokus ke iptek, tapi lupa menguatkan landasan moralnya. Dan ini bukan cuma di Indonesia, lho, tapi di seluruh dunia. Nah, lucunya adalah, pengembangan terhadap ilmu pengetahuan yang seharusnya menjadi prioritas utama kita, nyatanya tidak menghasilkan output yang sesuai pula. Entah itu nilai akademik maupun moral, keduanya sama-sama gagal. Ini terjadi karena biasnya tujuan dari sistem pendidikan itu sendiri, yang lebih mengutamakan "tampaknya" daripada realitas yang ada di lapangan.

Sebenarnya, solusi dari permasalahan ini sungguhlah cukup sederhana. Kita harus mengingat kembali untuk apa pendidikan itu ada. Apakah demi membuat kita "terlihat" pintar atau membuat kita mengerti akan cara kerja dunia dan seisinya? Daripada mengedepankan teori hafalan, mengapa tidak membuat bagaimana siswa bisa mengerti kenapa a-b-c ini bisa ada? Jikalau hal ini diterapkan dalam sistem pendidikan kita, rasanya kita tidak perlu khawatir cita-cita "Indonesia Generasi Emas 2045" tidak akan tercapai.

Selain itu, pemerintah juga harus menggandeng semua elemen masyarakat untuk bersama-sama membenahi dan mengembalikan kultur beradab yang seharusnya menjadi jati diri dari Bangsa Indonesia. Tidak bisa, kita, jikalau hanya mengandalkan para guru di sekolah dalam mendidik budi pekerti anak-cucu dan generasi penerus kita. Bukan karena tidak kompeten, tapi karena budi pekerti itu merupakan sebuah pembiasaan yang harus dibiasakan setiap menit-detiknya.

Kesimpulan

Degradasi sumber daya manusia di Indonesia semakin hari semakin memprihatinkan. Banyak orang yang mulai mengabaikan hak dan kewajiban orang lain dan mengedepankan keegoisan diri sendiri. Selain itu, tidak sedikit pula di antaranya yang tidak dapat berpikir secara logis, apalagi kritis, dalam menanggapi sebuah hal atau isu. Hal ini tentu harus menjadi perhatian bersama karena bisa mengancam terwujudnya "Indonesia Generasi Emas 2045". Sebagai permasalahan utama, sistem pendidikan di Indonesia haruslah dikembalikan sesuai dengan fitrahnya. Tentu sahaja, pemerintah haruslah bahu-membahu bersama rakyat untuk dapat merealisasikannya, demi Indonesia yang aman, nyaman, dan layak untuk ditinggali generasi yang akan datang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun